Tak sedikit biduk pernikahan yang karam dalam hitungan hari. Penyebabnya bukan soal materi, tapi lebih pada pemahaman, visi dan kebesaran jiwa. Hati-hati, sebab bisa menyapa siapa saja.
Beberapa kali saya pernah mendengar cerita seputar proses menuju pernikahan dari para aktivis dakwah. Biasanya mereka menikah dengan proses melalui guru ngajinya, meminta kepadanya untuk dicarikan pasangan. Bila sudah ada calon, maka akan langsung menikah. “Cinta bisa muncul di tengah jalan” begitu prinsipnya. Maklum, aktivis dakwah, begitu yang saya dengar.
Ada sebuah kisah tentang seorang aktivis yang gamang dengan pilihannya. Padahal pernikahan baru seumur jagung. Masalahnya sepele, cuma gara-gara gigi. Setidaknya itu alasan yang dikemukakan sang ikhwan. Dia tak tahan melihat penampilan istrinya yang jauh dari harapan. Padahal masih banyak kelebihan lainnya, istrinya cerdas, pribadinya baik, aktivitas dakwah lumayan keceng, dan keluarganya menerima sang ikhwan dengan terbuka. Cuma satu yang kurang, hanya gara-gara gigi seri sang istri ompong dan setiap senyum selalu terlihat, menjadikannya ingin menceraikan istrinya.
Sebelum terjadinya akad, sang ustadz sudah menceritakan kondisi sang calon dari A sampai Z, dan sang ikhwan diberikan keleluasan untuk menentukan sendiri sikapnya. Tak apalah giginya ompong asal dakwahnya hebat. Demi dakwah juga sekaligus menghormati usaha sang ustadz. Ikhwan tersebut menerima tapi sebetulnya keluarganya keberatan. “Keluarga insyaAllah bisa dikondisikan” pikirnya. Dan memang sedikit demi sedikit keluarga ikhwan itu akhirnya luluh, namun sekarang malah berbalik ikhwan tersebut yang emoh melihat penampilan istrinya. Perselisihan mulai terjadi, ada saja alasan untuk memarahi sang istri, bahkan sering disakiti. Sang istri terus berusaha melayani suaminya habis-habisan, dan meski sering disakiti, sang istri tetap berupaya mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Tapi apa boleh buat, Allah berkehendak lain, biduk rumah tangganya kandas di tengah jalan.
Ada juga cerita lain yang tak kalah mengenaskannya. Ada seorang lelaki pendiam, yang sejak remaja jauh dari pergaulan muda-mudi umumnya. Usianya memang terbilang dewasa, tapi pengetahuan tentang pernikahan sangat minim. Maka ketika dia dijodohkan dengan seorang perempuan, ia gembira, namun sesaat kemudian bingung. Apa yang dilakukannya seandainya ia benar menikah.
Ia tak pernah membayangkan seperti apa idealnya sebuah rumah tangga, tentang wanita juga tidak terlalu tahu banyak. Jangan kaget kalau umur pernikahannya hanya dua puluh empat jam. Tragedi ini dimulai ketika malam pertama tiba. Lelaki itu membayangkan bahwa istrinya masih prawan ting ting, sehingga kalau menyetubuhinya akan ada bekas darah di spreinya. Itu yang dia yakini. Namun kenyataan berbicara lain, tak ada darah di sprei, maka tanpa ba-bi-bu lelaki itu langsung meninggalkan sang istri dan pulang dengan membawa segumpal kekecewaan.
Berbagai kasus di atas sebenarnya tak perlu terjadi seandainya setiap pasangan mengenal calonnya deangan baik. Kondisi calon yang akan dinikahinya, baik nasab (keturunan), agama, kecantikan, dan juga kondisi ekonominya harus diketahui oleh masing-masing. Dan yang tak kalah penting adalah faktor orang tua. Musyawarahkan pernikahan dengan orang tua. Artinya semua pihak harus gembira dengan pernikahan itu. Jangan sampai ada pihak-pihak yang keberatan, apalagi orang tua. Ridha Allah terletak pada ridha orang tua. Jika orang tua tidak ridha dan kita nekat dengan pilihan kita, maka bisa dipastikan bahwa perjalanan ke depan akan ada hal-hal yang mengganjal dan menyusahkan, dalam hal apapun, meski di kehidupan awal mungkin berlimpah “kenikmatan”. Serta jangan lupakan shalat istikharah. Bertanya kepada Allah, apakah pernikahan ini membawa maslahat ataukah hanya menimbulkan mudharat, tak hanya bagi kehidupan kita, lebih jauh bagi agama. Setelah semuanya beres, barulah khitbah.
M. Fauzil Adhiem menilai, pendeknya umur pernikahan umumnya dilatar belakangi oleh minimnya persiapan, baik ilmu maupun mental. Pemahaman tentang pernikahan ini penting, sebab ia akan melahirkan sikap toleransi terhadap pasangan, saling memahami, dan memaafkan. “Ketika kita menikah hendaknya berpikir bahwa kita membuka ladang amal shalih” ujar Fauzil.
Masa ta’aruf sebelum pernikahan memang sulit memberikan informasi yang lengkap tentang pasangan, kecuali memang untuk hal-hal yang prinsip. Pada kasus tertentu ta’aruf justru bisa menjadi “jebakan”. Seringkali kenyataan tidak sesuai harapan yang diperoleh ketika masa ta’aruf. Karena itu yang paling penting justru adalah proses setelah menikah.
Di sinilah letak pentingnya menjaga niat suci bagi masing-masing pasangan. Karena niat ini akan membimbing kita dalam orientasi rumah tangga. Gagalnya pernikahan dua aktivis dakwah boleh jadi karena faktor ini, tekad yang menggebu di saat ta’aruf tapi lunglai setelah melewati akad nikah. Hanya karena masalah sepele, visi besar pernikahan belok di tengah jalan. Alih-alih ingin berdakwah, malah merusak citra dakwah. Persiapan yang tak kalah penting dimiliki oleh pasangan yang akan menikah ialah pengetahuan tentang seks.
Namun di atas itu semua harus dibingkai dengan keikhlasan dan visi bahwa pernikahan merupakan bagian dari dakwah. Sebagai jalan untuk membesarkan Islam, prinsip ini harus dijaga. Sebab bila goncangan datang menerpa, jika prinsip ini yang dijadikan pegangan, maka goncangan sebesar apapun tak akan menghancurkan rumah tangga. Sebab yang dikejar bukanlah materi, atau kebutuhan seksual semata, tapi jauh lebih tinggi dari itu semua, yaitu ridha Allah.
Memang ada banyak faktor yang akan menjadi penentu langgengnya sebuah pernikahan. Namun bila sejak awal kita sudah menanam benih-benih kasih sayang dan cinta dengan benar, kenangan itu tak mudah lekang sampai kapanpun.
Wallahu a’lam