Akal

‘Manusia modern’ memang biasanya tergila-gila dengan akal. Menurut mereka, manusia senantiasa berkembang maju dalam sejarah peradabannya. Oleh karena itulah mereka menyebut dirinya modern, sedangkan generasi sebelumnya itu primitif, sedangkan orang yang mengacu pada generasi sebelumnya disebut kolot, kuno, ortodoks, atau paling bagus konservatif. Ironisnya, ketika generasi berikutnya datang, maka merekalah yang akan menyebut dirinya modern, sedangkan yang sekarang mengaku modern suatu saat akan dibilang primitif juga.

Kata orang, keistimewaan manusia adalah pada akalnya; selebihnya sama dengan hewan. Dalam ‘euforia intelektual’ ini, sulit bagi orang untuk percaya bahwa ada makhluk lain yang lebih pintar daripada manusia. Tentu saja, pendapat ini pun bungkam seribu bahasa ketika menyaksikan adanya hewan-hewan tertentu yang memiliki kecerdasan setara dengan manusia, demikian juga ketika mereka menyaksikan manusia yang kecerdasannya tidak lebih tinggi daripada hewan.

Sekarang ada juga yang menyanjung-nyanjung dirinya sebagai pihak yang ‘berakal sehat’, ‘berakal bebas’ atau ‘berakal merdeka’. Menurut mereka, akal harus dimerdekakan, bebas dari segala belenggu intelektual. Biarkan manusia menentukan nasibnya sendiri, dengan asumsi manusia memang bisa menentukan nasibnya sendiri. Yang lebih berani di antara mereka mengatakan bahwa agama harus ditafsirkan ulang dengan akal, karena akal manusia jaman sekarang jauh lebih maju daripada akal manusia empat belas abad yang lampau. Golongan yang paling jujur di antara mereka pun berani mengatakan bahwa pada akhirnya akal yang menghakimi agama; mana aturan agama yang masih bisa dipakai dan mana yang sudah bisa disimpan dalam rak sejarah masa lalu.

Umat semakin kebingungan ketika ada sebagian orang yang membalas sikap ekstrem liberal tadi dengan pernyataan lantang, “Agama tidak ditafsirkan dengan akal!” Muncul penafsiran macam-macam, karena mereka yang sudah goyah imannya semakin yakin saja bahwa agama memang bertentangan dengan akal, bahkan agama akan mematikan akal. Apalagi guru-guru dan dosen-dosen agama mereka sudah banyak yang berani mengatakan bahwa agama itu adalah kebutuhan jiwa manusia, bukan kebutuhan akalnya. Oleh karena itu, ada pula yang menyimpulkan bahwa dzikir adalah pelarian dari masalah hidup yang tak kunjung tuntas. Artinya, mereka yang hobi dzikir adalah mereka yang akalnya tidak mampu menemukan solusi dari permasalahan hidupnya masing-masing.

Sekarang muncul pula sebuah ‘proyek ambisius’ yang difokuskan pada usaha-usaha membuktikan keberadaan Tuhan dengan sains dan teknologi. Sebagian di antara mereka masih asyik mencari, sedangkan sebagiannya lagi sudah ketuk palu: Tuhan, kalau pun ada, tidak bersahabat dengan sains. Bagi mereka, Tuhan tidak beda dengan obyek penelitian lainnya yang harus terbukti secara empiris, yaitu dapat diamati atau teramati (observable), dapat diulang atau terulang pembuktiannya (repeatable), dapat diukur atau terukur (measurable), dapat diuji atau teruji (testable), dan dapat diramalkan atau teramalkan (predictable). Kaum ateis pun berteriak lantang, “Kalau Tuhan memang ada, panggil Dia ke sini!” Kerusakan logikanya sama saja dengan Bani Israil yang menghardik Nabi Musa ‘alaihissalaam dan para pengikut setianya dengan kata-kata “Fadzhab anta wa rabbuka faqaatilaa” (Pergilah engkau dan Rabb-mu, kemudian berperanglah!). Mereka pikir Tuhan bisa disuruh-suruh.

Banyak umat Muslim yang ikut-ikutan gamang memahami akal. Begitu banyak dan komprehensifnya ajaran Islam tidak lagi nampak sebagai sebuah keunggulan dan hujjah atas otoritas agama, melainkan justru dipandang sebagai kelemahan. Mau begini ada aturannya, mau begitu ada aturannya. Mau tidur ada aturannya, bangun tidur pun ada aturannya. Dari naik kendaraan sampai buang air besar ada aturannya. Tidak ada tempatkah untuk ‘kreasi akal bebas’ manusia? Apakah agama memang mengekang akal manusia?

Inilah hasil dari penyerapan kata yang tidak sempurna dari Bahasa Arab, sehingga katanya diserap, tapi maknanya tidak. Dalam Bahasa Indonesia, bisa saja kita merangkai frase “akal merdeka” atau “akal bebas”, padahal secara konseptual, ‘aql (yang diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “akal”) memang tidak pernah merdeka dan bebas. Akar katanya sendiri justru bermakna “tali pengikat” atau “tali kekang”. Sejak tataran konseptual, akal memang tidak pernah membebaskan manusia. Sebaliknya, justru akal itulah yang mengekang manusia.

Fungsi akal persis seperti tali kekang, yaitu mengendalikan arah perbuatan. Manusia disebut berakal karena ia menggunakan akalnya untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, kemudian akal itu juga yang ‘memaksa’ manusia untuk memilih yang benar. Kebenaran itu memang ada (tidak relatif seperti kepercayaan kaum relativis, atau absurd seperti keyakinan kaum nihilis), dan akal memastikan manusia untuk memilih kebenaran. Ini tidak berarti bahwa apa pun yang dipilih oleh manusia adalah kebenaran, karena pemikiran seperti ini ujung-ujungnya bermuara pada pemikiran antroposentris yang pada akhirnya akan merelatifkan kebenaran.

Akal yang rusak senantiasa merasa kesulitan menemukan kebenaran, apalagi berkomitmen padanya. Kalau akal sudah kehilangan hak untuk memegang kendali, maka bisa dipastikan hawa nafsulah yang mengambil alih. Ketika hawa nafsu mendominasi, maka batas-batas kesantunan dan kewajaran bisa lenyap saja. Sebaliknya, manusia itulah yang kemudian menipu dirinya sendiri hingga seolah-olah ‘mabuk kekuasaan’. Mereka menyangka nasibnya ditentukan oleh dirinya sendiri, padahal orang yang punya rasio sedikit saja pasti tahu bahwa dalam hidup ini ada begitu banyak ketidakpastian. Saking merasa hebatnya, mereka pun merasa yakin bisa membuktikan ada atau tidak adanya Tuhan dengan teknologi. Padahal, jangankan mengobservasi Tuhan, menolak virus flu atau meramal gempa bumi saja manusia masih jauh dari mampu.

Pada kenyataannya, banyak orang berotak tapi tak memenuhi kualifikasi untuk disebut berakal. Perbuatan kaum Bani Israil yang telah disebutkan di atas (QS. 5:24) adalah salah satu contohnya. Mereka menghardik Nabi Musa ‘alaihissalaam yang telah memimpinnya dalam operasi penyelamatan paling kolosal dalam sejarah peradaban manusia. Mereka juga menghardik Allah yang telah menurunkan seabrek-abrek mukjizat kepada Nabi-Nya demi menolong mereka. Bahkan mereka telah menggunakan kata “Rabb-mu” dalam hardikan itu, seolah-olah Rabb-nya Nabi Musa ‘alaihissalaam bukanlah Rabb mereka. Mereka diselamatkan dari balatentara Fir’aun dengan pertolongan Allah, tapi mereka masih saja meragukan-Nya ketika diperintahkan untuk memasuki sebuah negeri yang dihuni oleh kaum yang gagah perkasa. Tentu saja, kesalahan paling fatalnya, sekali lagi, adalah mengira bahwa Allah bisa disuruh-suruh pergi begitu saja.

Kaum Bani Israil melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana lautan terbelah dan menelan Fir’aun. Mereka menyaksikan secara langsung kepemimpinan Nabi Musa ‘alaihissalaam dan keberaniannya dalam menghadapi Fir’aun secara langsung. Tapi akalnya tidak mampu menahan lisannya dari kedurhakaan. Pada saat itulah akalnya menjadi tidak relevan lagi.

Banyak orang yang tahu kebenaran tapi memilih jalan yang menyimpang. Mereka lihat lampu merah, tapi diterobos juga. Ada tempat sampah sepuluh meter dari tempat berdiri, tapi sampah dilempar saja ke selokan. Sudah tahu (dari pengalaman masa kecil dahulu) bahwa anak-anak menderita hatinya jika diperbanding-bandingkan dengan anak lain, tapi hal yang sama dilakukan juga kepada anak-anaknya sendiri. Mereka yang menerobos lampu merah, membuang sampah sembarangan dan menyakiti hati anak-anaknya dengan sengaja adalah orang-orang yang berotak, tapi sayang seribu sayang akalnya tidak berfungsi. Akibatnya, perilakunya pun ‘bebas’, tidak mengindahkan aturan, tidak mempedulikan kebenaran. Kepada mereka inilah al-Qur’an mengarahkan sindirannya: “afalaa ya’qiluun” (apakah kamu tidak berakal?).

Mereka yang benar-benar berakal pastilah berkomitmen pada kebenaran. Ini bukan masalah kebebasan.