Quo Vadis Media Islam

Konferensi Media Islam Internasional ke-2 akhirnya selesai. Hasil utamanya, deklarasi Jakarta yang berisi tekad untuk menggalang kerja sama dan meningkatkan profesionalisme industri pers muslim dan wartawannya (Eramuslim, 16/12/2011). Beberapa butir penting dalam deklarasi Jakarta tersebut adalah soal perlunya kerjasama antar media dalam pertukaran konten media, memanfaatkan potensi media dalam mengkampanyekan perdamaian dan saling pengertian, perbaikan kurikulum serta fasilitas pada lembaga pelatihan media dan kampus terutama yang bersinggungan dengan jurusan media (jurnalistik), kemudian memanfaatkan internet dalam sisi positifnya untuk menyebarkan nilai-nilai Islam melalui pesan damai, cinta, kerja sama dan hidup berdampingan secara rukun.

Hasil dari deklarasi Jakarta tersebut memang cukup mewah dan ideal. Hanya persoalannya kemudian, mampukah media Islam benar-benar bisa mewujudkan secara nyata dalam kehidupan bermedia? Mungkin pertanyaan demikian terlalu sinis dan pesimis dalam membaca gerak media Islam selama ini. Namun, rasanya tetap perlu diajukan sebagai pelecut dalam rangka melakukan pemantauan dan kritik media menuju pada hasil lebih baik sesuai yang dicita-citakan.

Sebenarnya, kalau kita membaca lebih dalam tentang media Islam, permasalahan yang ada begitu kompleks dan rumit.  Kita lupakan dulu level dunia. Kita coba baca dulu di level nasional. Yang paling utama adalah soal ideologi atas media. Ketidakjelasan ideologi media membuat terombang-ambing, tidak jelas ke mana arahnya. Akibatnya, berimbas kepada ketidakjelasan dalam memainkan peran politik media pada media bersangkutan.

Belum lagi model bisnis media yang belum mapan sehingga begitu rawan dengan kebangkrutan. Beberapa media Islam  yang ditopang ”investor politik” juga tak luput dari ancaman. Ketika ”investor politik” itu tumbang atau tak sejalan lagi dalam arti kepentingannya tak diakomodir lagi, yang terjadi media tersebut akan terguncang, akan kesulitan secara operasional memutar roda perjalanan media. Karena tak ada modal cukup maka media itupun tutup.

Sebenarnya, selain masalah manajemen media, persoalan terminologi juga masih menjadi debat panjang. Apakah media Islam itu media yang didirikan dan dikelola oleh umat Islam untuk menyuarakan dan melakukan pembelaan umat Islam, ataukah media yang  hanya menyasar pangsa pasar umat Islam secara keseluruhan atau per kelompok/komunitas tertentu. Selama media tak sanggup menjawab persoalan-persoalan fundamental ini, sejauh itu pula media Islam mungkin bisa berjalan tapi sangat mungkin tanpa kemajuan yang berarti.

Kalau kita bidik lebih dalam dari segi sekmen pasar, sebenarnya akan nampak lebih jelas. Taruhlah Koran Republika. Harian ini menyasar segmen pembaca kalangan umat Islam menengah ke atas terdidik, lewat bahasa media yang universal dan menyuarakan pesan-pesan Islam moderat. Majalah Hidayatullah menyasar komunitas yang berada dalam jaringan dakwah atau pesantrennya, dengan bahasa-bahasa khas pesantren modern yang tenang. Majalah Tarbawi menyasar komunitas Tarbiyah dengan bahasa-bahasa yang santun dan kental warna ruhiyahnya. Sejauh ini media tersebut masih cukup stabil dan berjalan, walau mungkin memang tidak bisa melaju pesat karena sasaran pembacanya komunitas.

Bagaimana dengan Majalah Sabili? Media ini memang pernah berjaya di era masa lalu. Hanya, sekarang ini nampaknya belum kelihatan ke mana langkah yang mesti ditempuh. Ciri khas media ini adalah bahasa-bahasanya yang tegas. Pertanyaanya sekarang, komunitas macam apa yang akan menjadi sasaran pembaca majalah ini? Kita lihat saja perkembangannya. Itu hanya contoh pembacaan sepintas terhadap media cetak ”Islam”.

Sekarang, bagaimana dengan media online? Yang paling populer sepertinya masih Eramuslim.com. Majalah Gatra edisi khusus (September 2011) pernah membedah media ini. Konten media ini 70% berita luar negeri dan 30 % dalam negeri dengan pembaca sekitar 70% nya laki-laki dibawah usia 40 dan karakter pembaca tersebut menurut Mashadi, pemimpin redaksi media ini ”Mayoritas pembaca adalah orang yang punya komitmen Islam yang baik”. Dengan modal awal 10 juta sejak didirikan tahun 2000, media ini telah punya aset lebih dari 5 milyar. Media ini, sekarang berjalan dengan biaya operasional 100 juta/bulan. Semua itu bisa dicapai dengan ditopang para pengiklan yang 60% nya dari perbankan syariah. Sejauh ini, saya kira Eramuslim adalah media Islam yang cukup representatif dan stabil secara finansial di ranah maya.

Bagaimana dengan media Islam online lainnya? Sebagai contoh, ada Voa-Islam.com yang sudah cukup kaya secara konten. Begitu juga ada media lain yang masih coba-coba semacam Fimadani.com. Mau ke mana media ini? Apa yang akan dibelanya? Visi besar apa yang tertanam dalam benak awak medianya? Sanggupkah  media Islam ini bertahan? Pertanyaan sederhana yang perlu dijawab oleh media-media Islam tersebut.

Beberapa media yang saya sebut tersebut hanya sekedar contoh saja. Saya hanya ingin mengatakan bahwa apapun kondisi media tersebut, rekomendasi dari  konferensi media Islam Internasional ke-2 tersebut perlu segera diaplikasikan dalam kehidupan nyata bermedia. Komunikasi dan kerjasama antar media juga perlu senantiasa digalakkan, agar saling mendukung dan menopang satu sama lain. Susah memang, karena di sisi lain kompetisi antar media adalah sesuatu yang mesti ada. Satu melaju meninggal kan yang lain, yang lambat, yang tidak profesional. Singkat kata, persoalan media Islam adalah sebuah PR panjang.

Begitulah keadaan singkat media Islam. Lantas, bagaimana dengan Anda, punya pemikiran lain tentang media Islam? Kolom ini sekedar pemantik awal saja untuk diskusi lebih jernih dan menukik lagi. Ataukah, Anda malah punya keinginan untuk membuat atau mendirikan  media baru? Selamat datang, nyali Anda ditantang.

 

Oleh: Yons Achmad, Pengamat Media, Jakarta