“…bagaimana lagi Dia tidak membuat izzahmu layaknya pakaian yang compang-camping, sedangkan “rutinitas vertikal” mu terseok-seok, merangkak di batas tanah kering.” Malaqbi
Apa yang orang lain pikirkan tentang seorang aktifis dakwah pasti tidak jauh dengan yang namanya shalih, teladan dan kebaikan. Tapi ada juga sisi yang menarik untuk dijadikan sebagai bahan renungan. Renungan tentang fenomena aktifis dakwah kini. Tidak semuannya.
Sepertinya menjadi suatu aib yang sangat besar, bahkan bisa jadi menyesakkan dada ketika seorang qiyadah/senior (secara angkatan) telat datang saat rapat/syuro. Aib karena malu kepada staf. Di dalam hati berkata “Apa kata staf-staf saya kalau saya telat datang? Tentu saya sebagai seorang “senior” malulah.” Maka, ketika akan mulai rapat seorang qiyadah atau senior akan selalu melihat waktu dan bergegas, jangan sampai datang telat.
Tapi menarik karena perasaan sang qiyadah/senior tidak malu bahkan merasa sebagai aib. Ketika ia telat untuk shalat jamaah di mesjid, merasa biasa saja ketika panggilan-Nya datang, tidak bersemangat dan mau bergegas seperti berangkat rapat/syuro. Lantas manakah yang patut kita malu? Kepada staf kita atau kepada Rabb kita?
Begitu pula, seorang staf ketika memperoleh informasi tentang rapat/syuro di organisasinya, maka akan diagendakan dengan baik, bahkan dipasang reminder di handphone. Dia takut. Takut bahwa “apa anggapan ketua bidang saya kalau telat datang syuro? Tidak enak kalau saya telat datang.”. Termasuk begitu khawatir dengan cibiran sesama kawan.
Lantas kenapa berbeda kemudian ketika waktu shalat tiba. Seolah gampang saja, telat tidak masalah. Bukankah aktifitas ini semuanya harusnya untuk Dia? Lantas kenapa yang didepan manusia seolah-olah lebih berharga?
Ditempat yang lain, beberapa aktifis begitu aktif berdiskusi, membahas permasalahan umat, kondisi kampus kata yang mereka kini semakin jauh dari warna nilai-nilai islam. Solusi-solusi mereka sampaikan, gagasan-gagasan yang selanjutnya mereka susun sebagai langkah praktis pemecahan. Hebat!
Tapi kenapa, entah mungkin lelah dengan aktifitas dakwahnya atau pikiran yang terforsir begitu besar memikirkan umat. Shalat subuh kesiangan, lagi-lagi biasa saja. Padahal bukankah ini juga bagian dari masalah umat saat ini. Baru beberapa waktu lalu bergelut dengan ide dan gagasan, maka benar tinggal ide dan gagasan saja. Sebatas wacana.
Ada pula para aktifis dengan gagahnya berjalan memakai jaket kebanggaannya. Menunjukkan identitas dirinya sebagai bagian dari lembaga dakwah. Seharusnya, orang akan melihatnya sebagai sosok yang damai, membuat orang lain ingin semakin dekat padanya. Ketika didekatnnya maka tidak lain ketenangan yang dirasakan, maka tak pelak semakin banyak yang akan mengikuti jalan dakwahnya.
Namun beberapa orang mulai gerah. Gerah dengan mereka yang berjaket itu. Karena wajahnya yang tidak pernah menunjukkan keramahan kepada orang lain. Ketika membuat janji dengan yang lain dia tidak pernah tepat janji, diberikan amanah kemudian lari lepas tanggung jawab.
Tapi tetap saja. Setiap mengenakan jaket itu, dan berjalan. Karena akhlaqnya maka orang lain semakin antipati terhadapnya, tak lama selanjutnya terhadap lembaganya. Kasihan.
Hari ini berkumpul para pemuda, aktifis dakwah. Mereka bercengkrama. Kepada para junior mereka memotivasi tentang semangat pemuda dengan gaya bicara tentu berapi-api. Sejenak membuat kagum, sangat menginspirasi.
Besok subuh. Dimana para aktifis itu? Kenapa mesjid yang begitu dekat dengan tempat tinggalnya hanya diisi oleh jamaah yang dominan beruban, berpakaian kusut dengan kulit yang keriput? Ternyata dia masih sibuk menikmati pembaringannya, dikalahkan oleh dinginnya subuh. Lantas kemana semangat yang baru kemarin dikobarkan? Lantas siapa sebenarnya yang pantas jadi pemuda itu? Sepertinya lebih pantas bapak-bapak itu.
Teringat juga disuatu rapat di suatu organisasi Islam. Menyisakan beberapa hari lagi -katanya- puncak acara. Sang pimpinan tak henti-hentinya mengingatkan tentang ruhiyah panitia. Amalan-amalan yaumiah selalu dievalusi, targetan yang besar. Dan hampir semuanya memenuhi targetan. Dahsyat!
Hingga akhirnya acara yang dibuat selesai dilaksakan. Maka sepertinya sejalan selesainya juga amalan-amalan itu. Tidak ada targetan lagi, seadanya saja. Maka lebih layak itu disebut ritual belaka. Tapi masih tetap saja dianggap sesuatu yang biasa saja.
Ada apa ini?
Ini semua bukan sesuatu yang sederhana. Bukankah seorang da’i itu dicintai karena akhlaqnya yang indah, dan bukan sebaliknya? Apa guna semua ini kalau hanya karena menjaga izzah di depan junior atau malu kepada pimpinan? Dalih profesional kepada manusia tapi tidak kepada Dia? Bukankah itu sia-sia?
Bagaimana dengan subuh yang sepi itu. Bukankah sejarah kejayaan umat Islam terdahulu tercatat karena para pejuangnya yang selalu menjaga kedekatan mereka kepada Rabbnya? Menjaga shalat-shalat malamnya, apalagi menjaga shalat subuh jamaah mereka?
Tidakkah kita takut, aktifitas dakwah yang dikerjakan ini tidak mendapat ridho dan berkah dari-Nya? Maka jangan heran, mungkin hal yang sama pulalah kenapa kemudian para pengusung dakwah begitu diremehkan dan tidak dianggap oleh musuh-musuhnya. karena barisan pengusungnya memiliki ciri munafiq. Semoga tidak terseret dilubang kehinaan. Mari berbenah..!
Ya Allah jangan jadikan kami menjadi orang-orang munafiq..! aamiin.
Oleh : Fardan (Kader KAMMI ITTELKOM), Bandung
Facebook