Saya adalah pembaca Alkitab (Bibel) versi Bahasa Indonesi, kitab suci Kristiani. Saya bisa temukan puluhan bahkan mungkin ratusan kosakata bahasa Arab di dalamnya.
Bahkan penamaan “Alkitab” pun itu Bahasa Arab. Nama kitab-kitab di dalamnya seperti “Imamat”, “Tawarikh”, “Wahyu”, dan lain-lain itu juga berasal dari Bahasa Arab.
Adakah rekan-rekan Kristiani yang ketika membaca kitabnya merasa ke-Arab-arab-an?
Tidak ada!
Karena memang realitasnya, Bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia memang menyerap bahasa Arab dengan kuat. Tidak mengherankan jika dalam kosakata bahasa Indonesia terdapat kosakata arab. Dan saya yakin rekan-rekan Kristiani juga sadar hal ini dan tidak menjadi masalah bagi mereka.
Belakangan ini ada ide untuk meng-Indonesia-kan istilah-istilah perbankan syariah yang ke-Arab-arab-an.
Bagi saya, ide ini tidak masalah selama memang istilah tersebut memang sudah punya padanan katanya yang lebih familiar.
Namun, kalau alasannya agar tidak ke-Arab-arab-an, itu aneh. Karena bahasa indonesia seperti yang saya katakan diatas mengandung kosakata Arab yang sangat banyak.
Bahasa Indonesia itu udah ke-Arab-arab-an dari sono-nya. Dan tidak setiap istilah itu punya padanan kata dalam bahasa lainnya. Karenanya ada penyerapan bahasa ke dalam bahasa setempat. “Shalat”, “zakat” termasuk kosakata yang padanan maknanya tidak dalam satu kosakata. Dan lebih praktis diserap secara utuh. Dan tidak ada masalah kan dengan istilah istilah ini.
Yang lebih mengherankan lagi, yang punya ide ini orang Islam yang mana secara kultural lebih dekat dengan bahasa Arab. Seolah-olah ini (masalah bahasa) sangat substansial dan lebih penting daripada membumikan ekonomi syariah itu sendiri.