Hari Nahr adalah hari ‘Id , atau hari haji yang paling agung, karena di dalamnya banyak amalan-amalan yang dikerjakan, yaitu:
- Melempar Jamrah ‘Aqabah
- Menyembelih bagi yang berhaji tamattu’ atau qiran, begitu juga yang berhaji ifrad jika menginginkan untuk menyembelih juga.
- Menggundul kepala atau mencukur rambut saja
- Thawaf Haji
Seluruh amal di atas dikerjakan secara berurutan, jika didahulukan satu dengan yang lainnya, maka tetap sah, tetapi tidak sesuai dengan sunah, karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah ditanya pada hari Nahr tentang amalan apapun yang dilakukan lebih dahulu ataupun diakhirkan kemudian, kecuali beliau menjawab tidak apa-apa .
Di dalam pembahasan ini ada enam masalah:
1. Waktunya
Amalan hari kesepuluh ini dimulai sejak pertengahan malam ‘Id , yaitu ketika orang-orang lemah mulai meninggalkan Muzdalifah, mereka langsung memulai amalan-amalan Hari Nahr. Mereka memulai melempar Jumrah Aqabah. Disebut juga dengan Jumrah Kubra, letaknya paling dekat dengan Mekkah . Inilah amalan pertama pada Hari Nahr. Disebut juga dengan penghormatan kota Mina, sebagaimana thawaf merupakan pernghormatan kepada Ka’bah.
Disunnahkan baginya untuk menjadikan Mekkah disebelah kirinya, sedangkan Mina di sebelah kanannya, kemudian dia melemparnya dengan tujuh kerikil, sambil mengucapkan takbir pada setiap kerikil. Tidak boleh menggabungkan lebih dari satu kerikil dalam sekali lemparan, dan dia harus yakin bahwa kerikil tersebt masuk ke dalam lubang untuk menampung kerikil-kerikil. Untuk talbiyah hendaknya dihentikan pada lemparan pertama, karena dia sudah mulai melakukan hal-hal yang menyebabkan bolehnya tahalul.
Dibolehkan untuk melempar pada pertengahan malam ‘Id atau diakhir malamnya, atau sepanjang Hari Nahr, dan begitu juga dibolehkan melempar pada malam kesebelas, hingga terbitnya fajar.
2. Menyembelih Hewan Kurban
Menyembelih termasuk amalan Hari Nahr, maka bagi siapa yang berhaji hendaknya menyembelih hewan kurbannya setelah melempar jumrah. Hal ini diwajibkan bagi yang berhaji tamattu’ dan qiran, serta disunnahkan bagi yang berhaji ifrad.
Yang diwajibkan adalah menyembelih satu kambing perorang atau satu unta atau sapi untuk tujuh orang, bagi yang berhaji tamattu’ atau qiran. Tetapi disunnahkan bagi keduanya untuk menyembelih lebih dari kadar yang diwajibkan, karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyembelih dalam hajinya seratus ekor unta. Adapun yang berhaji ifrad disunnahkan untuk menyembelih hewan di dalam hajinya, tetapi tidak wajib baginya.
Disunnahkan baginya untuk menyembelih sendiri, karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyembelih dengan tangannya sendiri enam puluh tiga unta.
Tempat penyembelihan adalah di Mina atau Mekkah, karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مِنًى كُلُّهَا مَنْحَرٌ وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ طَرِيقٌ وَمَنْحَرٌ وَكُلُّ عَرَفَةَ مَوْقِفٌ وَكُلُّ الْمُزْدَلِفَةِ مَوْقِفٌ
“Mina seluruhnya adalah tempat penyembelihan, dan seluruh pelosok kota Makkah adalah jalan dan tempat penyembelihan. Seluruh Arafah adalah tempat wukuf, dan seluruh Muzdalifah adalah tempat wukuf.” (HR. Ibnu Majah)
Bagi yang berhaji boleh mewakilkan siapa yang dipercayainya untuk menyembelihkan, seperti lembaga-lembaga dan yayasan-yayasan yang telah mendapatkan ijin untuk itu, atau kepada orang yang telah dikenal amanatnya sehingga dia yakin bahwa dia akan mengerjakan hal itu secara sempurna sesuai dengan syarat-syarat penyembelihan yang terkait dengan umur, waktu dan lain-lainnya. Dan jangan sampai dia menggampangkan, kemudian mewakilkan penyembelihan kepada orang yang kadang tidak melaksanakannya atau ketika menyembelih tidak sesuai dengan syarat, waktu atau tempatnya.
Waktu penyembelihan berakhir bersamaan dengan terbenamnya matahari pada hari ketiga belas. Menyembelih pada waktu malam atau siang semuanya dibolehkan dan sah. Tetapi waktu siang lebih utama, dan yang lebih utama lagi pada siang pertama.
Jika dia sudah menyembelih hewan kurban, maka segera dibagikan kepada orang-orang miskin yang tinggal di Tanah Haram, baik mereka sebagai penduduk di situ atau pendatang, dan dia boleh memakan dari daging tersebut, karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memakan dari dagingnya dan tidak memberikan upah kepada penyembelihnya dari hewan tersebut, tetapi beliau memberikannya sebagai sedekah atau hadiah.
3. Menggundul atau Mencukur
Menggundul dan mencukur rambut termasuk amalan ibadah haji. Orang yang berhaji wajib menggundul atau mencukur rambutnya, sebagaimana firman Allah:
مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ
“Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya” (QS. Al Fath: 27)
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mencukur seluruh rambutnya, sedang mencukur sebagian rambutnya saja sudah cukup dan hajinyapun sah, hanya saja mencukur seluruh rambutnya lebih utama. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar:
عنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ الْمُحَلِّقِينَ قَالُوا وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ الْمُحَلِّقِينَ قَالُوا وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ الْمُحَلِّقِينَ قَالُوا وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَالْمُقَصِّرِينَ
“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semoga Allah merahmati mereka yang mencukur rambutnya ( sampai gundul) .” Lalu mereka berkata, “Dan juga bagi mereka yang menggunting rambutnya ya Rasulullah.” Beliau berdo’a lagi: “Semoga Allah merahmati mereka yang mencukur rambutnya( sampai gundul ).” Mereka berkata lagi, “Dan juga bagi mereka yang menggunting rambutnya ya Rasulullah.” Namun beliau tetap berdo’a: “Semoga Allah merahmati mereka yang mencukur rambutnya (sampai gundul).” Mereka berkata lagi, “Dan juga bagi mereka yang menggunting rambutnya ya Rasulullah.” Kemudian beliau berdo’a: “Dan juga (semoga Allah merahmati) bagi mereka yang menggunting rambutnya.” (HR. Muslim)
Sedang orang yang botak dan tidak mempunyai rambut, disunnahkan untuk ditempelkan pisau cukur di atas kepalanya untuk menampakkan syia’r ibadah haji. Mencukur tidak dikhusukan di tempat tertentu, tapi boleh dilakukan di Mina atau Mekkah atau di tempat lainnya.
Sedangkan untuk wanita disyari’atkan mencukur sebagian rambut saja, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas :
عنَ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ عَلَى النِّسَاءِ حَلْقٌ إِنَّمَا عَلَى النِّسَاءِ التَّقْصِيرُ
“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak diwajibkan bagi wanita untuk menggundul kepalanya , tetapi yang wajib atas wanita hanyalah mencukur sebagian rambut ” (HR. Abu Daud)
Cara mencukur untuk wanita adalah mengambil dari setiap kepala sekadar satu ruas dari telunjuk tangan.
4. Tahallul Awal
Jika orang yang berhaji telah melempar jumrah dan mencukur rambutnya, maka dia telah menyelesaikan tahallul awal, maka dibolehkan baginya untuk mengerjakan apa saja, kecuali mendatangi istri dan bercumbu rayu dengannya, berdasarkan perkataan Aisyah:
كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ
“Aku pernah memakaikan wewangian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk ihramnya saat Beliau berihram dan sesudah tahallul sebelum melakukan thawaf mengelilingi Baitullah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan diriwayatkan dari Sa’id:
إِذَا رَمَيْتُمْ وَحَلَقْتُمْ فَقَدْ حَلَّ لَكُمْ الطِّيبُ وَالثِّيَابُ وَكُلُّ شَيْءٍ إِلَّا النِّسَاءَ
“Jika kalian telah melempar jumroh dan mencukur rambut maka telah halal bagi kalian untuk berwangi-wangian, berpakaian, dan melakukan segala sesuatu kecuali menggauli istri.” (HR. Ahmad)
Tahallul awal ini bisa terwujud pula dengan mendahulukan atau mengakhirkan sebagian amalan pada hari kesepuluh, yaitu dengan melakukan dua dari tiga amalan yang ada ; melempar, mencukur atau thawaf. Maka barang siapa yang memulai dengan thawaf, maka dia sudah bisa tahallul awal jika sudah melempar, atau dia sudah thawaf dan mencukur. Karena sesungguhnya thawaf bobotnya lebih berat dibanding dengan melempar, maka bisa dianalogikan dengan melempar di dalam mewujudkan tahallul awal. Ini berdasarkan hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِيلَ لَهُ فِي الذَّبْحِ وَالْحَلْقِ وَالرَّمْيِ وَالتَّقْدِيمِ وَالتَّأْخِيرِ فَقَالَ لَا حَرَجَ
“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya mengenai penyembelihan hewan kurban, bercukur, dan melontar jumrah serta mendahulukan atau mengakhirkan (amalan tersebut), namun beliau bersabda: “Tidaklah mengapa.” ( HR Bukhari dan Muslim )
Disunnahkan bagi pemimpin untuk berkhutbah pada hari itu untuk mengajarkan kepada manusia hukum-hukum yang berkaitan dengan haji. Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ يَوْمَ النَّحْرِ
“Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan khuthbah pada hari Nahar, (HR. Bukhori)
5. Thawaf Ifadhah
Thawaf Ifadhah disebut juga Thawaf haji, atau Thawaf Ziarah. Dinamakan demikian, karena orang yang berhaji datang dari Mina, kemudian berziarah ke Ka’bah. Dan ini merupakan akhir amalan pada hari Nahr.
Adapun waktunya adalah dimulai beriringan dengan amalan-amalan hari nahr, yaitu sejak pertengahan malam hari nahr, setelah meninggalkan Muzdlifah . Thawaf ini tidak ada batas waktu untuk akhirnya. Tetapi yang paling utama dikerjakan pada hari Nahr pada waktu Dhuha berdasarkan apa yang diriwayatkan Jabir bahwasanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan thawaf di Baitullah Ka’bah kemudian melaksankan sholat Dhuhur di Mina.
Jika thawaf dilakukan ba’da Dhuhur atau malam hari, atau pada hari-hari di Mina, maka tidaklah mengapa. Jika terpaksa mengakhirkan Thawaf, maka tidak apa-apa dia mengakhirkannya, karena ketika Shofiyah datang bulan ( haidh ), Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apakah dia telah menahan kita “, maksudnya rombongan haji tertahan untuk menunggu Shofiyah sampai bersih dari haidh, kemudian baru thawaf, dan biasanya bersihnya dari haidh terwujud setelah selesai hari-hari di Mina.
Bagi wanita yang datang bulan (haidh) dibolehkan baginya untuk minum pil, supaya haidhnya berhenti sehingga dia bisa melaksanakan thawaf ifadhah ini. Begitu juga bagi wanita pada umumnya dibolehkan meminum pil anti haidh supaya tidak menghalanginya melaksanakan thawaf dan menyempurnakan hajinya.
Cara pelaksanaannya seperti thawaf umrah dan thawaf qudum, hanya saja tidak perlu melakukan ar-raml dan idhthiba’, berdasarkan hadits Ibnu Abbas:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَرْمُلْ فِي السَّبْعِ الَّذِي أَفَاضَ فِيهِ
“Dari Abdullah bin Abbas radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah berlari kecil pada tujuh putaran dalam thawaf Ifadhah” (HR. Ibnu Majah dan Abu Daud)
Dianjurkan untuk menggunakan wangi-wangian dan berdandan jika sudah melempar dan mencukur dan sudah bertahallul awal, sebagaimana perkataan Aisyah:
كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ
“Aku pernah memakaikan wewangian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk ihramnya saat Beliau berihram dan sesudah tahallulnya sebelum thawaf mengelilingi Baitullah.” (HR Bukhari dan Muslim )
Adapun jika dia melakukan thawaf sebelum tahallul awal, maka dia thawaf dengan tetap menggunakan pakaian ihram, tidak boleh menggunakan wangi-wangian, dan tidak boleh memakai baju yang berjahit.
Jika seseorang yang berhaji tamattu’ telah menyelesaikan thawaf, maka dia harus melakukan sa’i lagi, karena sa’i yang pertama untuk umrah, ini berdasarkan perkataan Aisyah: “ Mereka para sahabat melakukan thawaf lagi yang bukan thawaf mereka yang pertama. “
Adapun yang berhaji qiran atau ifrad, jika dia sudah melakukan sa’i setelah thawaf qudum, maka itu sudah cukup baginya, dan tidak perlu sa’i lagi. Jika belum melakukan sa’i, hendaknya dia sa’i setelah melakukan thawaf ifadhah ini, karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan sa’i setelah thawaf haji, karena beliau belum melakukan sa’i pada waktu thawaf qudum. Adapun cara melakukan sa’I, seperti cara melakukan sa’i dalam ibadah umrah.
Disunnahkan baginya untuk mendatangi air zam-zam ketika menuju tempat sa’i, dan minum darinya banyak-banyak sehingga merasa segar, hal itu pernah dilakukan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dengan minum air zam zam tersebut seseorang akan mendapatkan yang diinginkannya, seperti kesembuhan dari penyakit, mendapatkan rizqi dan lain-lainnya, sebagaimana tersebut di dalam hadits:
مَاءُ زَمزَم لمَا شُربَ لَهُ
“Air Zam- zam itu diminum sesuai dengan tujuannya.” ( HR Ahmad dan Ibnu Majah dari hadits Jabir )
Dan di dalam hadits lain disebutkan:
إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ وَشِفَاءُ سُقْمٍ
“Sesungguhnya ia air yang berbarakah dan dia makanan yang mengenyangkan dan obat dari penyakit.”
Air zam zam bukanlah air yang segar, sehingga ketika meminumnya diniatkan untuk beribadah kepada Allah, bukan untuk sekedar merasakan kenikmatannya.
6. Tahallul Kedua
Jika seorang jam’ah haji telah menyelesaikan amalan-amalan hari Nahri yang tiga: Melempar Jumrah- Mencukur dan Thawaf dan diikuti dengan Sa’i- , berarti dia telah bertahallul kedua, dan dihalalkan baginya semua hal, termasuk berhubungan badan dengan istrinya, walaupun dia belum sempat menyembelih hewan kurbannya, karena hewan kurban tidak ada hubungannya dengan tahallul. Tetapi jika dia belum thawaf, maka tetap saja dia belum tahallul kedua, walaupun tinggal selama satu bulan.
Para Jama’ah Haji Mabit (Bermalam di Mina dan Tinggal di sana
Jika seorang jama’ah haji telah menyelesaikan thawaf pada hari Nahr, maka dia mulai tinggal di Mina sesuai yang dicontohkan nabi saw, sebagaimana hadits yang menyebutkan:
أنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَاضَ يَوْمَ النَّحْرِ ثُمَّ رَجَعَ فَصَلَّى الظُّهْرَ بِمِنًى
“ Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan thawaf ifadhah pada hari Nahr, kemudian beliau kembali dan melakukan shalat Dhuhur di Mina”
Para jama’ah haji mabit ( bermalam ) di Mina pada malam kesebelas, keduabelas, dan ketiga belas, kecuali bagi yang tergesa-gesa, maka boleh bagi mereka meninggalkan mabit pada malam yang ketigabelas, dan akan diterangkan tentang hukumnya secara tersendiri.
Adapun Mabit ( bermalam ) di Mina pada malam kesebelas, keduabelas, da ketigabelas, hukumnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan oleh orang yang berhaji, kecuali ada udzur, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan keringanan bagi Abbas ( untuk tidak mabit di Mina ) karena mengurusi air di Mekkah. Maka hadits ini menunjukkan bahwa yang tidak ada keperluan wajib mabit di Mina, dan tidak ada keringan baginya.
Oleh karenanya, barang siapa yang meninggalkan mabit tiga malam secara keseluruhan, maka dia wajib membayar dam. Dan barang siapa yang meninggalkan mabit satu malam, maka hendaknya dia bersedekah ala kadarnya, seperti sepuluh atau dua pulug real. Jika Mina tidak bisa menampung semua jama’ah haji, maka dibolehkan untuk tinggal di Muzdalifah atau tempat-tempat lainnya yang dekat dengan Mina. Hendaknya jangan memaksa dirinya untuk tinggal di pinggir jalan-jalan Mina, yang membuatnya akan banyak terganggu. Sedangkan kesusahan seperti itu harus dihilangkan dalam Syari’at.
Barang siapa yang keluar dari Mina untuk melakukan thawaf, kemudian terjebak dalam kemacetan hampir semalam penuh, maka tidak ada sangsi apapun atas dirinya, karena dia belum meninggalkan kewajiban. Sedangkan meninggalkan sebagian kewajiban karena ada udzur, maka hal itu dimaafkan agar tidak menyusahkannya.