Sungguh heran, apa sesungguhnya yang dicari orangtua yang berlomba lomba memasukkan anak-anaknya usia 3-14 tahun, di sekolah swasta yang mahal atau berebut di sekolah negeri favorit dengan uang pangkal atau sumbangan sampai puluhan juta rupiah. Demi siapakah sesungguhnya? Demi anak atau demi gengsi, prestise, trend? Atau malas dan tidak percaya diri? Atau panik dan obsesif? Atau tidak sempat mendidik?
Bagi orang tua yang mampu memasukan anak-anaknya ke sekolah mahal itu kemudian menjadi bangga, menjadi prestis dan merasa tanggungjawab pendidikan anaknya tuntas. Yang tidak mampu kemudian menjadi sedih dan merasa minder karena anaknya cuma bersekolah di sekolah negeri biasa, murahan dan kampungan. Bagi yang pas-pasan akan mati-matian “berjihad” cari uang demi bisa mereguk pendidikan yang menurutnya terbaik dari sekolah termahal.
Sungguh heran juga dengan para pembuat sekolah, apa maksudnya membuat sekolah mahal mahal padahal banyak hal yang tidak mampu dilakukan sebagai tanggungjawab pendidikan anak-anak yang menjadi siswanya.
Apa sih sebenarnya yang diberikan sekolah terhadap anak-anak kita? Coba kita kaji secara sederhana.
Pertanyaan pertama. Apakah sains atau akademik yang diberikan sekolah lebih baik?
Tidak juga. Kalau cuma mau “content” sains dan akademik, guru-guru bimbel jauh lebih hebat dari guru sekolah. Asal tahu saja, 90% siswa sekolah favorit ikut kursus di bimbel atau bimbingan tes. Lalu apa kerja sekolahnya? Lihatlah, jika cuma mau kreatif dan pandai akademis, klub-klub sains di luar sekolah justru lebih kreatif dan kaya, tidak terpaku kurikulum dsbnya. Anak2 yg berbakat sains jauh lebih berkembang.
Belum lagi dunia maya, menyajikan begitu banyak sains dengan video yang bagus dan lengkap, gratis pula.
Sejujurnya kehebatan ilmu hari ini bukan lagi ada di tangan guru-guru sekolah dan sekolah, tetapi ada di dunia maya dan di tangan orang-orang hebat di bidangnya. Kita tinggal antar anak-anak kita untuk berguru kepada ahlinya.
Dunia belajar sangat luas, ada museum, ada taman, ada kebun binatang dan lain-lain yang kosong dari Senin sampai Jumat. Ada pasar, ada stasiun, ada terminal, ada kantor layanan publik, ada sanggar sanggar yang ramai dan bagus untuk tempat belajar. Ada situs situs keren dan gratis untuk belajar apapun.
Yang terpenting bagi kita, orangtua sesungguhnya adalah bagaimana fitrah belajar anak-anak kita terus ditemani dan diinspirasi sehingga tumbuh subur dan paripurna. Anak kita yg tumbuh fitrah belajarnya, akan selalu belajar sepanjang hayatnya bahkan gemar menjadi inovator dan membangun peradaban belajar, walau kita sudah wafat kelak.
Pertanyaan kedua. Apakah sosialisasi yang diberikan sekolah lebih baik?
Tidak juga. Apakah disebut sosialisasi jika mengurung anak kita dalam ruang dan gedung sempit mirip perkantoran selama hampir seharian dengan teman-teman yang seumuran? Sekolah adalah tempat bersosialisasi terburuk dalam pendidikan. Bukankah gedung-gedung sekolah sangat mirip dengan penjara? Sosialisasi adalah aktifitas bermasyarakat dengan beragam usia dan beragam tempat.
Bagi orangtua sesungguhnya yang terpenting adalah menumbuhkan fitrah sosial anaknya justru dengan melibatkannya dalam realitas sosial yang sesungguhnya, bukan imitasi dan ilusi semata. Anak kita yang telah tumbuh fitrah sosialnya akan memiliki tanggungjawab sosial yang baik, memiliki karya2 solutif bagi ummatnya, sepanjang kehidupannya kelak.
Pertanyaan ketiga. Apakah sekolah bertanggungjawab terhadap perilaku dan akhlak anak-anak kita?
Sudah pasti tidak. Jika anak kita nakal, tawuran, dibully, narkoba, dilecehkan secara seksual sebagaimana terjadi, ramai ramai beli contekan atau bocoran dll, apakah sekolah bertanggungjawab? Ya tidak, kitalah orangtuanya yang disalahkan. Padahal kebanyakan kita menyerahkan anak kita sepenuhnya pada sekolah, sepenuh hari, sepenuh tanggungjawab. Trauma yang diderita anak kita jelas membekas sepanjang hayatnya.
Sekolah umumnya tidak sempat memberi pendamping Akhlak untuk anak2 kita. Ukuran keshalihan seringkali menjadi ukuran akademis, berupa nilai pelajaran agama dan jumlah hafalan al Quran. Saya tidak menolak anak untuk menghafal al Quran, itu bagus namun janganlah keshalehan diukur dari status dan jumlah ilmu, tetapi dengan amal dan manfaat.
Jujurlah, benarkah status shaleh itu ukuran akhlak? Sesungguhnya keshalihan itu bukan status sholeh tetapi amal sholeh. Bukan seberapa banyak yang diketahui tetapi seberapa banyak yang manfaat.
Sesungguhnya yang terpenting bagi orangtua adalah menghadirkan sosok keteladanan yang sholeh pribadi dan sholeh sosial pada anak-anaknya. Ajak anak berkunjung ke pribadi-pribadi yang sholeh personal dan sholeh sosial, orang-orang yang diakui track record dan karya sosialnya di masyarakat, inapkan anak kita secara berkala pada mereka sebagai sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam-nya. Keshalihan itu ditularkan dan diteladankan sehingga fitrah keimanan anak-anak kita tumbuh subur paripurna.
Anak-anak yang telah tumbuh fitrah keimanannya, maka nurani kebenarannya akan terus ada sepanjang hayatnya.
Pertanyaan keempat. Apakah bakat dan potensi keunikan anak anak kita dikembangkan di sekolah?
Sudah pasti tidak. Bakat hanyalah diletakkan sebagai ekstra kurikuler dan disediakan seadanya. Bakat hanya dianggap bidang-bidang terkait keterampilan fisik seperti olahraga, menari, menyanyi, dan lain-lain.
Padahal bakat terkait peran ada sebanyak setidaknya 34 tema. Sekolah dan kurikulumnya adalah cerita tentang penyeragaman dan penstandaran ala pabrik, dimana diujungnya ada Quality Control bernama Ulangan dan Ujian, saringan yang menentukan lulus dan tidak lulus.
Dipastikan potensi fitrah bakat anak-anak kita hilang, kecuali mungkin mereka yang berbakat akademis. Berapa banyak sih anak yang berbakat akademis? Generasi millenium hari ini kelahiran 2000 ke atas adalah generasi yang umumnya berbakat non akademis.
Sesungguhnya bagi orangtua yang terpenting adalah menemani dan memfasilitasi fitrah bakat anak2nya dengan memberikan beragam wawasan dan aktifitas lalu memagangkan anak2 kita kepada orang hebat atau pakar atau praktisi yang sesuai bakat anak anaknya sehingga mencapai peran peradabannya kelak. Jika anak kita, dirinya telah “kutahu yang kumau”, maka dia sudah “on the right track” menjalani misi spesifik nya sebagai khalifah di muka bumi dengan peran peradabannya.
Pertanyaan kelima. Apakah penjenjangan persekolahan menjamin fitrah perkembangan anak anak kita?
Jelas tidak. Penjenjangan TK, SD, SMP, SMA dan seterusnya nya saja sudah tidak memiliki landasan ilmiah dan syariah. Menyalahi kaidah Aqil Baligh dalam Islam, dimana Baligh dan Aqil semestinya tiba bersamaan. Dalam sistem persekolahan hari ini, pembocahan berlangsung terus sampai anak kita selesai perkuliahan.
Penyimpangan perilaku, penyimpangan seksual, kenakalan remaja, kegalauan dan depresi dan lain-lain terjadi akibat senjangnya usia dewasa biologis di usia 13-15 tahun dan dewasa psikologis dan sosial di usia 23-25 tahun. Bagaimana bisa ketika beban syariah sudah jatuh ketika anak-anak kita mencapai ihtilam (mimpi basah) dan haidh di usia 13-15 tahun, sementara kedewasaan psikologis, sosial, finansial baru dicapai di usia 23-25 tahun?
Sistem penjenjangan persekolahan ini sesungguhnya telah merusak tatanan sistem sosial dalam syariah, mensegregasi masyarakat menjadi kelas-kelas yang lambat produktif dan konsumtif, seperti kelas ABG dan remaja. Kelas ABG dan remaja adalah kelas yang tidak pernah dikenal Islam dan bahkan dunia sampai abad 19.
Bagi kita orangtua, yang terpenting adalah memastikan bahwa fitrah perkembangan anak anak kita berjalan sesuai sunnatullah, jangan terlalu senjang antara baligh dan aqil, karena setiap yang menyalahi sunnatullah pasti akan ada banyak mudharat dan bencana di dalamnya.
Pertanyaan terakhir adalah, kalau begitu, sebenarnya kebanyakan kita hanya kecanduan saja dengan persekolahan, lalu kepada siapakah semua potensi fitrah anak anak kita kita serahkan?
Salam Pendidikan Peradaban!
Praktisi Homeschooling