Sekarang tentang Apriyani Susanti, semua pasti kenal. Sebelumnya, ia adalah wanita shalihah, rajin ikut pengajian di sekitar rumahnya. Kondisi berubah seratus delapan puluh derajat saat sang ayah Apriyani meninggal. Ia yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara berubah fungsi. Mencari uang untuk kelangsungan hidup keluarga. Sebuah pilihan wajib bagi keberlangsungan hidup. Setelah bapaknya meninggal itu, kata tetangganya, “ Ia tak lagi rajin mendatangi pengajian.”
Publik pun dibikin kaget bukan kepalang. Saat ia menjadi pelaku sekaligus korban pada peristiwa mematikan di Tugu Tani, jakarta.
Ia yang mengemudi Daihatsu Xenia bersama ketiga temannya “berhasil” merenggut 9 nyawa dari total 12 orang yang ditabraknya. Sedangkan ketiga korban lain terluka parah dan dirawat di Rumah Sakit. Mengenaskan bukan?
Bagi keluarga korban, tentunya tidak ada tawar menawar. Apriyani harus diberi ganjaran serupa. Nyawa dibayar dengan nyawa. Sebuah pilihan sulit tentunya. Meski secara nalar, ada bebarapa hal yang mungkin bisa diajukan untuk membela Apriyani.
Alasan inilah yang membuat saya mengatakan bahwa Apriyani sesungguhnya korban juga.
Setelah diperiksa, ia dan ketiga temannya itu pulang dari kafe. Di sana, mereka membeli dua pil ekstasi seharga Rp 600.000,-. Jumlah yang fantastis. Dua pil itu tentunya mempunyai khasiat yang mujarab, sesuai dengan harganya. Asal tahu saja, uang sejumlah itu sangat saya butuhkan saat ia dan kawannya hanya menggunakannya untuk membeli pil haram itu. Bahkan, ada jutaan warga di negeri kaya ini yang tidak bisa makan kala itu. Sebuah ironi, memang. Tapi, apa mau dikata?
Empat orang, dua pil. Jadi, pil itu dibagi empat. Masing-masing menenggak setengah. Wajar jika kemudian keempatnya mabuk. Enak kali ya? Mereka tak sadarkan diri, meski dampaknya sangat berbahaya. Bahkan, setelah kejadian dan digadang-gadang ke Polda, dari keempat orang itu tak ada sedikitpun ekspresi bersalah. Hampa.
Selain empat pil haram itu, ditemukan juga tiga botol minuman haram. Sebuah kombinasi yang tepat. Kata teman saya yang mantan pemabuk, “Wah, kayaknya dia haus, Mas. Saya aja dulu rame-rame cuma satu botol. Itupun sudah tidak ingat apa-apa.”
Lantas, mengapa saya katakan bahwa dia adalah korban?
Pertama, pemerintah lah pelaku sesungguhnya. Masih ingat tentang pelarangan Perda Miras beberapa waktu lalu? Inilah salah satu dampaknya. Bahkan, pemerintah bisa leluasa menggunakan tangan bajanya untuk menutup perusahaan yang memproduksi barang-barang haram itu. Entah apa alasannya jika kemudian pemerintah mengijinkan perusahaan jenis ini beroperasi. Bisa jadi, benarlah kata seorang sahabat, “Ya, biasa Mas. Mereka dapat setoran.” Ah, entahlah. Itu bukan urusan saya.
Kedua, bisa jadi Apriyani hanya dibujuk oleh teman-temannya itu. Dan saya pastikan, yang paling getol dalam membujuknya adalah teman keempat dari ketiga temannya itu. Ia adalah SETAN. Al Qur’an menyebut setan dengan bahasa lembut, fasa’a qariina, teman yang paling buruk. Jadi, Apriyani adalah korban dari rayuan gombal setan. Jika kita bisa melihat, saya yakin sekali, sesaat setelah ia dan ketiga kawannya itu berhasil mengkonsumsi barang-barang haram itu, setan tertawa terbahak-bahak tanda kemenangan. Sayangnya, kita tidak bisa menyaksikan itu.
Ketiga, awalnya Apriyani hanya ingin melepaskan diri dari beban keluarganya. Dia sadari ataupun tidak, semua kita pasti bermasalah. Yang membedakan hanyalah cara kita dalam menyelesaikan masalah itu. Ada yang mengunakan cara yang benar, ada pula yang salah mengambil jalan. Dan Apriyani, adalah contoh kedua.
Akhirnya, semua kita harus bertanggung jawab atas tindakan kita. Baik di dunia maupun di akhirat. Karena ketika kita menuntut pemerintah yang melegalkan miras dan sejenisnya, pastinya mereka bisa berkelit, “Ada uang negara yang masuk lewat pajak miras. Banyak pengguna lain yang tidak mengalami nasib setragis itu, dan seterusnya.” Ketika kita menggugat setan sebagai pemicu utama, maka jelas sekali jawaban mereka, “Siapa suruh lo mau ngikutin bisikan gue? Bukankah Rasulullah dan Al Qur’an telah mengingatkan agar menjauhi bisikan gue?”
Nah, lho ?
Dan kita selayaknya mengambil hikmah dari kejadian ini. Karena sejatinya, apa yang menimpa orang lain, bisa pula menimpa kita. Entah cepat atau lambat. Karena posisi kita sama dengan dia. Sama manusianya, sama digoda setannya. Yang membedakan adalah kadar keimanan yang bisa membentangi kita. Semoga Allah melindungi kita dari Setan yang terkutuk. Aamiin.