“Kau tak pernah tau kapan malaikat pemutus kehidupanmu itu datang, maka mengapa tak kau siapkan bekal amalmu sebaik-baiknya? Mengapa masih berpikir masih ada hari esok, atau sejam, atau semenit, atau sedetik? Sedangkan malaikat berjalan melebihi kecepatan cahaya, jauh lebih cepat dari hitungan sepersekian detik”
Belakangan ini kata kematian seakan tak lelah bertengger dalam pikiranku. Di suatu waktu aku akan sangat ketakutan hingga menangis sejadi-jadinya bila membayangkan malaikat maut itu akan menjemput ruh dan meninggalkan jasadku. Bagaimana tidak? Aku masih sangat ragu dengan amalanku yang mungkin jauh lebih sedikit dibandingkan dengan dosaku yang menumpuk.
Dan kemarin adalah hari yang cukup penting bagiku. Banyak pelajaran hidup berharga yang aku dapatkan. Anak dari dosenku (Bapak X) di departemen silvikultur meninggal dunia di usianya yang baru mencapai 3 minggu. Kabar kematian anak dosenku ini aku dapat 2-3 jam setelah gathering bersama dengan civitas fahutan khususnya laboratorium ekologi hutan. Dalam pertemuan itu, Bapak X menyempatkan untuk bergabung karena sudah lama sekali mahasiswa dan dosen silvikultur dari lab.ekologi hutan tidak pernah berkumpul bersama termasuk dengan para laboran. Beliau menyampaikan beberapa nasehat -yang bagiku- sangat menyentuh (berbeda dengan dosen lain yang berbicara tentang perkembangan laboratorium dan kebersamaan civitas). Beliau berbicara tentang waktu, kesempatan, rasa cinta, dan sayang kepada orang-orang terdekat dan di sekitar kita.
Kurang lebih isi nasehatnya seperti ini,
“Jangan pernah menunggu untuk memberikan perhatian kepada orang-orang terdekat kita. Karena bisa jadi kita tak akan pernah memiliki kesempatan itu di kemudian hari. Saya ingin mengucapkan terimakasih kepada rekan2 TGC yang sudah membantu juga untuk pengobatan anak saya. Saya saat ini benar-benar merasakan kebesaran Allah, bahwa Allahlah yang berkehendak atas segala sesuatu. termasuk pada apa yang menimpa pada putri saya, juga rejeki yang datangnya tak disangka-sangka. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih. Mungkin itu saja yang bisa saya sampaikan. Pesan saya sekali lagi, bersabar dan bertawakkal kepada Allah bagi kita para muslim.”
Setelah itu, kita berdoa bersama dan acarapun selesai. Setelah bubar, tadinya aku berniat untuk menyapa Bapak X terlebih dahulu sebelum meninggalkan lab, tapi sepertinya masih banyak mahasiswa yang juga mau berbicara dengan beliau. Maka aku segera pulang dengan niat akan segera menemui beliau di rumah sakit karena aku sendiri belum sempat menjenguk anaknya. Aku merasa tidak enak hati, karena selama ini beliau banyak membantu masalah akademikku hingga memotivasi untuk tetap bertahan.
Dalam perjalanan pulang aku mengirimkan sms pada teman satu departemen untuk mengajaknya menjenguk anak Bapak X di rumah sakit. Setelah beberapa kali reply, kami memutuskan untuk menjenguknya hari sabtu.
Tapi ternyata takdir berkata lain. Niat kami yang awalnya ingin menjenguk berubah menjadi melayat.
Ketika berita duka itu masuk ke dalam inbox hapeku, aku cukup kaget dan tertegun beberapa saat. Innalillahi wa innailaihi roji’un. Jika Allah telah berkehendak, maka jadilah ia. Sore itu, anak dosenku menghembuskan napasnya yang terakhir. Sesaat aku berpikir, akan tiba suatu masa nanti, nama yang ada dalam sms itu adalah namaku. Masya Allah, bekal apa yang sudah kupersiapkan?
Beberapa menit kemudian ada sms yang masuk kembali di inbox hapeku. Bagi yang mau ikut takziah, kumpul di pangkot sekarang. Wah, sebentar lagi maghrib. Kenapa g sekalian shalat dulu. Aku bingung. Ikut g ya? Aku juga mau mengikuti shalat jeazah dan pemakamannya. Mungkin dengan begitu, alam bawah sadarku akan senantiasa mengingatkan kematian yang semakin dekat. Tapi hari semakin gelap. Aman ga yah? Halah sama teman-teman ini kok. Akhirnya aku memutuskan untuk ikut takziah. Sudah lama rasanya aku tak pernah melayat bahkan melihat jenazah dikubur. Dengan segera aku bersiap dan berjalan menuju pangkot.
Sesampainya di sana, ternyata teman-temanku sudah berangkat semua. Maka aku putuskan untuk shalat maghrib terlebih dahulu di kosan teman baru kemudian menyusul dengan motor pinjaman adik kelas. Bisa dibilang aku cukup nekat, karena aku tidak tau tempatnya sama sekali. Namun, karena niat yang sudah membulat demi untuk membasahi jiwa yang terasa kering ini, maka aku pun tetap pergi. Alhamdulillah, ternyata Allah memudahkan perjalananku.
Sesampaiku di rumah duka, tetangga sudah berdatangan, namun jenazah sang bayi belum datang dari Rumah Sakit. Sembari menunggu, akupun mengirim taujih (bisa dibilang seperti itu) kepada sahabat-sahabatku tentang kematian. Akhirnya kami menunggu hingga jam 8 malam. Terlihat wajah dosenku dan istrinya begitu tampak lelah dan sedih tapi rona ketegaran itu tetap tergurat. Mereka masih tersenyum menyambut pelayat yang berdatangan. Akhirnya jam setengah 9 kami melaksanakan shalat jenazah dan dilanjutkan dengan pemakaman jenazah bayi mungil itu di areal pemakaman yang cukup jauh jika berjalan kaki.
Tiba di areal pemakaman, jantungku berdegup cukup kencang. Ya Allah, inilah masa depanku nanti, masa depan yang abadi. Bagaimana keadaan tempat peristirahatanku nanti? Kemudian kulihat lubang kubur yang sudah digali. Ya Rabb, bagaimana rupa amalku yang akan menemaniku di lubang kubur itu? Tiba-tiba salah seorang temanku menggamit lenganku dan berkata agar aku tidak jauh-jauh darinya. Mungkin karena malam hari dan berada di area pekuburan, suasananya jadi begitu menyeramkan baginya. Ya, memang menyeramkan, tapi bagiku bukan karena akan ada jin atau makhluk lain yang berbentuk dengan berbagai rupa. Tapi aku seram membayangkan siksa kubur. Aku pun berkata padanya, “Lihat, kita tinggal menunggu giliran” Temanku semakin terlihat ketakutan. Begitu juga denganku.
Setelah jenazah sang bayi dikubur, dosenku pun memberikan nasehat kepada seluruh pelayat yang ada. Nasehatnya kurang lebih sama dengan apa yang sempat disampaikan saat gathering, tapi kali ini lebih lengkap. Beliau mengingatkan kembali tentang kekuasaan Allah. Aku baru tau, ternyata anaknya memiliki kelainan. Salah satu organ tubuhnya, yakni ususnya, berada di luar tubuhnya. Aku lupa nama lengkap anaknya. Yang aku ingat hanya Rahmi, yang berarti perut dan ada kata taqin-nya yang berarti taqwa kepada Allah.
Beliau berpesan agar peristiwa ini bisa dijadikan pelajaran bagi semua orang yang ada di situ. Dan ingatlah bahwa Allah akan selalu menolong hambaNya yang selalu berprasangka baik terhadapNya. Hal ini terbukti dengan biaya RS yang bisa ditanggulangi meski harus membayar 4 juta setiap harinya. Beliau berkata, Allah selalu memberi rejeki dari arah yang tidak disangka. Ada saja orang-orang yang datang dan membantu. Begitulah kuasa Allah. Ia tak akan meninggalkan hambaNya. Kemudian beliau juga berkata bahwa Rahmi, meskipun umurnya hanya seumur jagung, ia memberikan pembelajaran yang sangat mendalam bagi beliau. Rahmi adalah guru dalam perjuangan.
Hatiku terenyuh, tak terasa, orang-orang yang hadir di sana menitikkan airmata. Semuanya sedang merenung. Ya, ini adalah ujian. Ujian bagi hambaNya yang akan dinaikkan derajat keimanannya. Semoga kita mampu meluluskan diri kita.
Setelah doa bersama, prosesi pemakaman di bubarkan jam 9 lebih 5 menit. Aku pun bergegas kembali setelah berpamitan kepada dosenku dan istrinya.
Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku berpikir tentang kematian. Bagaimana jika saat aku mengendarai motor ini, malaikat maut itu datang? atau nanti ketika aku sampai di kosan? Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamanNya,, hamba mohon, matikanlah hamba dalam keadaan khusnul khotimah Ya Rabb. matikanlah aku dalam kondisi sedang menyebut namaMu dan memikirkan kebesaranMu.