Ayat-ayat Al Qu’ran tentang Bid’ah (1)

Di antara ayat-ayat yang dimaksud adalah, “Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isinya) ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al Qur’an, dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 7)

Ayat ini adalah dalil paling utama dalam kesaksian tentang bid’ah, yang penafsirannya dijelaskan dalam hadits berikut ini: Diriwayatkan dari Aisyah RA, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang firman-Nya, ‘Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya’. Beliau menjawab, Jika kamu melihat mereka, maka kenalilah diri mereka’.”

Juga sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang ayat ini, ‘Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. ‘Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun menjawab, Jika kamu melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat, maka mereka itulah orang-orang yang dimaksud oleh Allah, ‘Berhati-hatilah kamu dan mereka’.”

Penafsiran tersebut masih samar, namun telah dijelaskan dalam hadits riwayat Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membaca ayat ini, ‘Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Diantara (isinya) ada ayat-ayat yang muhkamat’ Beliau pun bersabda, ‘Jika kamu mendapatkan orang-orang yang menentang perkara tersebut, maka mereka itulah yang dimaksud oleh Allah, ‘Berhati-hatilah kamu dari mereka’.

Hadits tersebut lebih jelas, karena menjelaskan tanda-tanda keraguan yang berupa penentangan terhadap Al Qur’an, yang dikuatkan oleh sikap mereka yang hanya mengikuti ayat-ayat mutasyabihat.

Oleh karena itu, celaan hanya menimpa orang yang menentang isi Al Qur’an dengan meninggalkan ayat-ayat muhkamat dan berpegang teguh pada ayat-ayat mutasyabihat, namun hal tersebut lebih jelas jika telah ditafsirkan maksudnya.

Diriwayatkan dari Abu Ghalib —Harur— ia berkata: Ketika itu aku berada di Syam, kemudian Al Mulahib mengirim tujuh puluh kepala orang-orang Khawarij, yang kemudian digantung di jalan-jalan menuju kota Damaskus, sementara aku berada di atap rumahku. Tiba-tiba Abu Umamah lewat, maka aku turun dan mengikutinya. Ketika ia berhenti di hadapan kepala-kepala tersebut, kedua matanya menitikkan air mata, dan ia berkata, “Maha Suci Allah, apa yang dilakukan penguasa terhadap anak Adam —diucapkannya tiga kali— anjing-anjing neraka Jahanam, anjing-anjing neraka Jahanam. Ini seburuk-buruk pembunuhan di bawah naungan langit —diucapkan tiga kali—. Sebaik-baik orang yang mati terbunuh adalah orang yang memerangi mereka, beruntunglah orang yang memerangi mereka atau mati terbunuh oleh mereka.”

la lalu menoleh kepadaku dan berkata, “Abu Ghalib! Kamu berada di daerah yang banyak orang seperti mereka, semoga Allah melindungi dirimu dari mereka.” Aku pun berkata, “Aku melihat engkau menangis tatkala memandangi mereka?” la menjawab, “Aku menangis karena kasihan tatkala mengetahui bahwa mereka adalah kaum muslim. Apakah kamu pernah membaca surah Aali ‘Imraan?” Aku menjawab, “Ya.” la lalu membaca ayat, “Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isinya) ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al Qur’an… padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” la berkata, “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang dalam dihatinya terdapat kecondongan terhadap kesesatan.” la kemudian membaca, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang kepada mereka keterangan yang jelas… maka mereka berada di dalam rahmat Allah (surga), mereka kekal di dalamnya.”(Qs. Aali ‘Imraan [3]: 105-107) Aku lalu berkata, “Apakah merekalah yang dimaksud (oleh ayat tersebut), wahai Abu Umamah?” la menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Apakah itu dari pendapatmu atau dari sabda nabi yang kamu dengar?” la menjawab, ‘Jika itu hanya dari pendapatku maka aku termasuk orang yang berdosa. Aku mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bukan hanya sekali atau dua kali — sampai ia menghitungnya sebanyak tujuh kali— la kemudian menyebutkan hadits,

“Sesungguhnya bani Isra’il terpecah menjadi tujuh puluh satu kelompok, sedangkan umat ini lebih banyak darinya satu kelompok, yang semuanya berada di dalam neraka, kecuali As-Sawad AI A’zham.”

Aku lalu berkata, “Wahai Abu Umamah, bagaimana pendapatmu atas perbuatan mereka?” la menjawab, “Maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu’.” (Qs. An-Nuur [24]: 54) (HR. Isma’il Al Qadhi dan lainnya).

Dalam periwayatan lain, seorang perawi berkata: la berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang As-Sawad Al A’zham?” Hal itu ada pada masa Khalifah Abdul Malik dan peperangan saat itu sangat nyata. la menjawab, “Maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu.” (HR. At-Tirmidzi [dengan ringkas]) Beliau mengatakan bahwa hadits tersebut hasan.

Hadits tersebut juga telah diriwayatkan oleh Ath-Thahawi walaupun ada perbedaan lafazh, yaitu, “Maka ditanyakan kepadanya, ‘Wahai Abu Umamah! Engkau telah mencaci mereka namun kamu menangisinya setelah kejadian itu’.” —yaitu perkataannya, “Seburuk-buruknya orang yang terbunuh….”— la pun menjawab, “Karena rasa kasihan kepada mereka, sebab mereka adalah kaum muslim, namun mereka kemudian keluar darinya.” Lalu ia membaca ayat, “Dialah yang menurunkan AlKitab (Al Qur’an) kepada kamu….” Merekalah yang dimaksud oleh ayat ini. Lalu ia membaca. “Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula muka yang hitam muram…” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 106) Merekalah yang dimaksud oleh ayat ini.”

Al Ajiri telah meriwayatkan dari Ath-Thawus, ia berkata, Tentang orang-orang Khawarij serta kejadian yang menimpa mereka, hal itu pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas tatkala membaca Al Qur’ an. Beliau menjawab, ‘Mereka percaya dengan ayat-ayat yang muhkamat, namun mereka tersesat pada ayat-ayat yang mutasyabihat. Allah berfirman, ” Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami’.” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 7)

Dengan penafsiran ini jelas terlihat bahwa mereka adalah para pembuat bid’ah, karena Abu Umamah RA menjadikan orang-orang Khawarij termasuk dalam keumuman ayat tersebut dan ayat-ayat itu memang diturunkan —berangsur-angsur— karena mereka.

Menurut para ulama, Khawarij adalah ahli bid’ah, baik dengan bid’ahnya itu mereka keluar dari kelompok Islam maupun tetap dalam kelompok Islam.

Abu Umamah juga menjadikan kelompok ini termasuk kelompok yang di dalam hatinya terdapat kecenderungan terhadap kesesatan, sehingga mereka benar-benar disesatkan oleh Allah. Sifat-sifat ini ada dalam diri para pembuat bid’ah, meski lafazh ayat tersebut juga berlalu bagi selain mereka yang mempunyai sifat-sifat seperti mereka.

Tidakkah Anda lihat bahwa surah ini diturunkan bagi kaum Nasrani Najran dan perdebatan mereka dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang keyakinan mereka terhadap Isa AS. Mereka menyatakan bahwa Isa adalah tuhan atau anak tuhan, atau termasuk trinitas dengan sudut pandang yang meragukan, dan mereka justru meninggalkan sesuatu yang jelas dalam peribadatan terhadapnya, sebagaimana yang telah disebutkan oleh ahli sejarah.

Para ulama dari kalangan ulama salaf lalu mengambil kesimpulan atas perkara-perkara yang para pelakunya masuk dalam kategori hukum simbolis lafazhnya (sebutannya), seperti Khawarij yang nampak secara umum.

Abu Umamah lalu membaca ayat, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka… Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 105-107) la lalu menafsirkannya seperti penafsiran ayat-ayat yang lain, yaitu sebagai ancaman dan peringatan bagi orang yang sifatnya demikian serta melarang kaum muslim untuk menjadi orang seperti mereka.

Diriwayatkan oleh Ubaid dari Humaid bin Mahran, ia berkata, “Aku bertanya kepada Al Hasan tentang perbuatan kelompok pengikut hawa nafsu terhadap surah Aali ‘Imraan, ‘ Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka‘.” la menjawab, ‘Demi Tuhan Ka’bah, mereka membuangnya di belakang punggung mereka’.”

Diriwayatkan dari Abu Umamah, ia berkata, “Mereka adalah Al Haruriyah.”

Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar Malik berkata, ‘Tidak ada ayat dalam Al Qur’an yang lebih tegas pernyataannya atas orang-orang yang berselisih (dari kelompok yang mengikuti hawa nafsu), kecuali ayat ini, “Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri… karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu’.” Malik berkata, ‘Perkataan apa yang lebih jelas dari ini? Aku melihat bahwa penakwilannya adalah bagi golongan yang mengikuti hawa nafsu’.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Qasim, dengan menambahkan: Malik berkata kepadaku, “Sesungguhnya ayat ini untuk kaum muslim.” Semua yang disebutkannya di dalam ayat tersebut telah dinukil dari beberapa orang seperti yang sebelumnya dari periwayatan Al Hasan.

Diriwayatkan dari Qatadah, ia berkata tentang firman Allah Ta ‘ala, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih.” ‘Maksudnya adalah ahli bid’ah.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —ia berkata tentang firman-Nya, “Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri dan ada pula muka yang hitam muram.”— “Wajah yang putih berseri adalah wajah Ahli Sunnah, sedangkan wajah yang hitam muram adalah wajah ahli bid’ah.”

Imam Asy Syathibi