Bahkan Bidadari pun Cemburu Karenanya

Dia yang tak pernah lepas dari sholat malam, tilawah, dan ma’tsurat pagi petang, lalu sangat mendadak dipanggil tanpa tanda, dengan ucapan akhir ketauhidan.

Dia yang menghabiskan hari-harinya untuk dakwah, hingga semalam jam 23.00 masih di luar rumah untuk dakwah.

Dia yang hampir tidak pernah menolak jika dimintai bantuan, selalu ringan tangan membantu sesiapa.

Dia yang di akhir-akhir hidupnya selalu berdoa sangat panjang di tiap usai sholat, hingga pernah ditanya kawan,”Kenapa?’

Dia yang setiap pergi kemana pun menyempatkan berhenti sejenak, hatta untuk sholat dhuha, “berhenti dulu ya teh,.. kita dhuha dulu”

Dia yang sebentar lagi akan meminang seorang muslimah, ternyata memilih menjemput bidadari surga.

Saat melihat teduh wajahnya dalam jasadnya yang terbujur kaku, mataku pun membasah. Betapa aku iri melihatnya, meskipun aku tak mengenalnya dengan baik. Hanya lewat cerita sekilas-sekilas dari kakaknya, Yuli, yang setiap pekan datang mengaji ke rumahku. Abduh yang juga sering mengantarkan Yuli kesana kemari, cukup kuhafal wajahnya, meski aku belum pernah berbicara dengannya. Tapi aku tahu, dia, Abduh, adalah orang yang baik.

Maka, tak salah jika salah satu sahabatnya pun, bercerita dengan pilu, tentang kesehaerian Abduh, juga tentang detik-detik terakhirnya. Pak Lutfi, tetangga Abduh, yang juga sesama orang tua murid dari anak-anak kami, bercerita:

* * *

20 Maret 2012 pukul 03.30 dini hari. Saat itu aku sudah terjaga, dan sedang mengerjakan sesuatu yang sementara ini menjadi jalan ma’isyahku di depan laptopku. Sebelumnya aku menyempatkan diri untuk shalat malam beberapa rakaat saja. Aku bekerja di atas tempat tidur ditemani isteriku yg sedang berbaring di sebelahku sambil menjaga anak bungsuku dari ‘serangan’ nyamuk.

Tiba-tiba terdengar dering esia istriku. Isteriku meraih esia-nya dan menjawab salam dari seberang telepon. Mendengar permulaan dialog, aku segera mengenali bahwa yang menelepon adalah mbak Yuli. Aku memang selalu memanggil akhwat yang sudah dewasa, yang sebaya dan dibawah usiaku, dengan menambahkan panggilan ‘mbak’ di depan namanya, tidak lain untuk rasa hormat dan penghargaan kepada seorang perempuan. Isteriku memanggil mbak Yuli dengan sebutan ‘teteh’ tanpa nama di depannya – jadi seperti adik memanggil kepada kakaknya. Sementara mbak Yuli memanggil isteriku dengan sebutan Bunda, panggilan anak-anakku pada isteriku. Usianya sebaya dengan isteriku, tetapi karena ikatan persaudaraan yang sangat erat, mereka saling memanggil dengan panggilan keakraban dan kasih sayang.

Tiba-tiba isteriku sedikit terkejut, “Kenapa Abduh teh..?”

Aku tidak lagi mendengar sahutan dari mbak Yuli di seberang telepon, tetapi yang jelas setelahnya isteriku meminta tolong untuk segera diantarkan berangkat ke rumah Yuli dan keluarganya. Aku segera bergegas, menghentikan pekerjaanku dan membawa apa yg kuingat untuk dibawa.

Aku dan isteri segera berkendara menuju rumah Yuli di Villa Pamulang. Sambil bertanya-tanya dalam hati.. “Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi dengan Abduh?”

Aku karena panik malah sempat lupa mengarahkan motor kemana arah rumah mbak Yuli.

Sedang dalam perjalanan, esia-pun berdering lagi. Isteriku menjawab sambil memandu memberi pertolongan pertama sebatas pengetahuan isteriku. Kebetulan, isteriku pernah bekerja di sebuah klinik kesehatan alternatif, jadi sedikit banyak tahu beberapa hal tentang tindakan pertolongan pertama. Lalu berdering lagi, mbak Yuli menanyakan, “Sudah sampai dimana?”

“Sudah dekat”, jawab isteriku, “Sudah di mesjid teh..” lanjutnya.

Sedikit panik, aku pun mempercepat laju motor dan saat tiba, mbak Yuli sudah menunggu di mulut blok Villa di mana rumahnya berada.

Aku dan isteri segera masuk ke kamar di mana Abduh tidur. Terlihat dia sedang (seperti) tidur. Isteriku langsung memeriksa denyut nadi di pergelangan tangannya. Kemudian memeriksa denyut di lehernya. Tiba-tiba isteriku menangis.

“Bagaimana Bunda..?”, tanyaku.

“Denyut nadinya tidak teraba ayah..”

Aku pun memegang badannya, masih terasa hangat dan berkeringat.

Berharap masih bernyawa dan mendapat pertolongan, segera dini hari itu aku meminta pada Iqbal, adik mbak Yuli, kakaknya Abduh, untuk segera membawa ke rumah sakit terdekat. Yang paling dekat adalah RS Sari Asih. Dengan motor aku mendahului mereka menuju RS Sari Asih. Meminta pada security perumahan membuka portal. Dan sesampai di rumah sakit segera meminta pada petugas mempersiapkan kamar darurat. Semua keluarga, mbak Yuli, Iqbal dan Mama bersama ke rumah sakit. Isteriku tinggal di rumah menjaga dua anak kecil mbak Yuli yang masih terlelap.

Sesampainya dalam kamar di ruang darurat (IGD), dilakukan tindakan dengan membuat nafas bantuan dan menekan rongga dadanya. Dan ternyata Abduh memang sudah meninggal sejak di rumah, di tempat tidurnya. Innalillahi wainna ilaihi rooji’un.

Menurut Iqbal, sekitar lewat jam tiga itu, dia terbangun oleh deringan jam. Dan ketika terbangun sekonyong-konyong melihat Abduh sedikit kejang. Bola matanya mengarah ke atas sebentar lalu ke arah bawah kembali. Iqbal dan mbak Yuli segera mencoba membangunkan, tapi tidak bangun juga, hingga akhirnya menghubungi kami.

Baru setelahnya kami menyadari, bahwa saat itu-lah Izrail sebenarnya sedang mencabut nyawanya. Mencabutnya adalah pada saat-saat Abduh terbiasa bangun pada jam itu untuk shalat malam.

Dan memang ketika malam itu Abduh pulang ke rumah hampir jam 12 malam, sebelum beranjak istirahat, terlebih dahulu sempat berpesan pada Ibunya untuk dibangunkan jam tiga guna shalat malam. Sang ibu-pun mengiyakan. Karena kasih sayang ibu, sang ibu berniat membangunkan sedikit lewat dari jam tiga untuk memberi waktu agak lama untuk Abduh beristirahat, karena pulangnya juga sudah larut.

Ternyata Allah SWT menentukan lain. Jam dimana Abduh terbiasa terbangun untuk shalat malam menghadap Rabb-nya, saat itu ternyata menjadi saat di mana dia menghadap Rabb-nya lebih dekat.. lebih dekat dari biasanya.

Mbak Yuli memang tegar. Walaupun ada kesedihan di hati, tidak terdengar tangisnya. Bicaranya pun terlihat sangat tenang. Aku tahu, hal itu karena dia harus menenangkan ibunya setelah sebelumnya memberitahu tentang meninggalnya Abduh. Setelah berkoordinasi secara kilat tentang dipulangkan kemana jenazah almarhum, akhirnya diambil keputusan untuk disemayamkan di komplek Peruri, tempat tinggal saudaranya. Tempat yang juga sudah menjadi tempat tinggal bagi mereka.

Saat itu baru saja subuh. Dengan sisa sedikit pulsa, aku memberitahu isteri dan meminta pada isteriku untuk menghubungi dua orang teman di markas untuk datang di rumah duka di Peruri, agar bisa mempersiapkan segala sesuatunya bersama keluarga di Peruri.

Pak Kusnadi menunggu kedatangan jenazah, berkoordinasi dengan keluarga sambil memberitakan duka ini kepada lainnya. Pak Mukhlis segera menghubungi Amil dan membeli bahan-bahan yang diperlukan dalam penyelenggaraan jenazah. Aku sendiri kembali ke rumah mbak Yuli di Villa Pamulang untuk menjemput isteriku dan anak-anak mbak Yuli. Menyiapkan pakaian ganti dan semua perlengkapan yang kira-kira diperlukan untuk mbak Yuli, Iqbal, anak-anak dan ibunya untuk dibawa ke Peruri.

Bersamaan dengan kedatanganku di rumah mbak Yuli, saat itu datang juga Eka, seorang teman dari markas juga. Eka memang diminta datang oleh isteriku subuh itu juga, karena isteriku mengira aku langsung ke Peruri dan tidak menjemputnya.

Sesampainya dekat rumah sakit, ternyata mbak Yuli dan keluarga masih berada di sana. Akhirnya kami tidak langsung ke Peruri, dan segera masuk ke halaman rumah sakit. Akhirnya ambulance yang membawa jenazah almarhum-pun siap berangkat. Anak-anak bersama ibu, Iqbal dan Eka bersama mobil menuju Peruri. Mbak Yuli dan isteriku ke Peruri dengan Ambulance. Aku sendiri pergi dengan motor. Karena kunci motor terbawa isteri, aku berkendara dengan motor Eka. Untungnya, kunci motornya belum kuserahkan padanya saat tiba di rumah sakit, karena untuk naik angkutan umum, sepeser uang-pun tidak terbawa olehku karena begitu bergegasnya, sehingga terlupakan.

Tiba di Peruri, aku menunggu bersama pak Kusnadi. Ketika jenazah almarhum tiba, pecahlah tangis sanak saudara. Tetangga dan teman yang berdatangan-pun terlihat berduka, nampak terkejut dan tidak percaya. Usianya baru 27 tahun. Tidak sakit apapun. Tidak ada riwayat sakit jantung, bahkan dari riwayat keluarganya sekalipun. Bahkan malam itu, sebelum tiba di Villa pamulang, Abduh menyempatkan diri ke Peruri, karena memang juga sudah menjadi tempat tinggalnya sejak lama. Sempat berbincang-bincang dan shalat Isya’ berjamaah di masjid Al-Ikhwan di depan rumahnya. Sampai jam 23 malam masih menyempatkan diri membantu salah seorang ikhwah menyelesaikan sebuah tugas, sebelum akhirnya pergi pulang.

Silih berganti warga dan kerabat berdatangan untuk takziah. Aku melihat kedatangan mereka sambil mengenalinya di hati. Tentu saja, sangat banyak dari mereka yang merasa ditinggal. Abduh yang dikenalinya selama ini adalah orang yang mudah dimintai tolong. Hampir tidak pernah mengelak ketika diminta bantuan. Selalu bersikap baik dengan semua orang. Tidak pernah membicarakan aib orang lain. Ketika bercanda, hanya seperlunya dan sewajarnya. Tidak pernah melibatkan diri dalam perdebatan yg dapat menimbulkan permusuhan. Kami-pun di markas, juga mengenali beliau sebagai kader yang selalu siaga ditempatkan dimana saja. Mungkin Abduh bukan siapa-siapa dalam struktur jamaah dakwah ini. Tetapi tanpa keterlibatannya, bisa jadi agak terasa kesulitan dalam merealisasikan agenda. Oleh karenanya, biasanya dalam kepanitiaan biasa dimasukkan dalam seksi pembantu umum ataupun akomodasi dan transportasi.

Aku dan keluarga seringkali juga meminta beliau mendampingi dan mengantar kami menjenguk anak pertama kami di sebuah boarding school di Subang. Sehingga, kami memiliki kesan yang mendalam tentangnya.

Bila waktunya mengantar kami ke Subang, selalu dia menyempatkan berhenti di rest area. Aku tahu, hal itu tidak dilakukan untuk semata-mata mengisi bahan bakar, tetapi alasan sebenarnya adalah agar bisa terlebih dulu menjalankan shalat dhuha. Aku memang selalu meminta diantar pagi-pagi hari, agar masih terbilang pagi saat sampai di Subang. Saat-saat menunggu kami sekeluarga-pun, tidak terlepas dengan mushaf yang selalu dibawanya.

Sepanjang pengetahuanku, aku mengenalinya sebagai orang yang selalu menjaga dhuha, shalat malam, al-ma’tsurat dan tilawahnya. Kami juga mengenalinya sebagai orang yang sayang dan hormat dengan kakak dan saudara-saudaranya. Selalu mengiyakan nasehat kakaknya. Terlebih kepada ibunya. Bahkan suatu ketika, ketika terasa sakit dan tidak merasa kuat untuk meneruskan puasa ayyamul bidh-nya, Abduh masih menyempatkan diri menghubungi ibunya meminta ijin lebih dulu untuk berbuka dan membatalkan puasanya.

Sambil mengenali satu-persatu kerabat yang datang takziah, begitulan kesan dan kabar kebaikan Abduh ‘bercerita’ dalam pikiran dan hatiku. Sampai akhirnya mataku teralihkan oleh kedatangan akhwat. Berdua. Yang satu berusia paruh baya. Yang satu masih muda dan cantik. Akhwat ini menangis. Sempat tidak kuasa melangkah mendekati jenazah almarhum. Akhwat yang satu yang rupanya adalah murabbinya, mengajaknya untuk mendekat dan melihat. Semakin pecah tangisnya. Aku bertanya-tanya, “Ini siapa..? Kenapa terlihat begitu sedih dan terpukul..?”

Sedari tadi, kesedihan di hati hanya membuat mataku sesekali berkaca-kaca. Kaca itu semakin menebal ketika kemudian aku mengetahui bahwa akhwat ini adalah calon yang rencananya menjadi pendamping hidup almarhum. Dan akhirnya, bendungan itu tidak bisa kutahan lagi. Air mataku mulai menyudut dan mengalir, saat melihat drama sang akhwat menangis tersedu-sedu sambil berpelukan dengan mbak Yuli, kakak Abduh. Berpelukan sangat erat dan lama. Erat dan lama. Eratt sekali. Lamma sekali.

Dan aku memandangi adegan itu. Rupanya, almarhum sedang menjalani proses ta’aruf dengan akhwat tersebut, dan sedang berlanjut dalam proses khitbah.

Dari Murabbinya Abduh, aku mengetahui ternyata Abduh sudah yang ke empat kalinya menjalani proses ta’aruf. Bahkan dari kakaknya, mbak Yuli, kami mengetahui dan pernah diminta bantuannya saat beranjak akan berangkat meminang dan akhirnya tiba-tiba batal justru sehari dari rencana datang meminang akhwat tersebut (pada proses sebelumnya). Sampai saat ini aku belum mengerti alasan akhwat itu tiba-tiba membatalkannya. Dan dengan akhwat yang sekarang, adalah proses ta’aruf yang keempat, setelah tiga sebelumnya gagal.

Sekilas, mengenal akhwat yang sebelumnya tidak saya kenali tersebut, memang terlihat pantas sebenarnya jika pada akhirnya berjodoh. Kecantikan yang sempurna dan terlihat shalihah.

Tapi rupanya Allah SWT lebih menyukai almarhum. Semoga akhwat ini mendapat ganti yang sepadan atau bahkan mungkin yang lebih baik, dan mudah-mudahan menjadi hikmah yang sangat besar baginya bahwa jodoh hanya di tangan Yang Maha Kuasa, bukan di tangan kita. Dan semoga menjadi ujian yang kesabaran dan keikhlasannya menjadikan akhwat ini menjadi penghuni surga.

(Ya, sempat kujabat dan kupeluk akhwat itu. Mengajaknya bicara pelan-pelan, meski kami baru kenal. Sangat kupahami rasa terpukul dan sedihnya, karena proses pernikahan, ah, tepatnya proses khitbah yang sebentar lagi, harus batal, bukan karena digagalkan, tapi karena calon mempelai laki-laki mendadak meninggal. Rabbi.. terbayang perih rasanya. Kuusap bahunya pelan, dan kusarankan agar ia membaca Qur’an dengan perlahan, agar hatinya lebih tenang-red)

Saat aku mengantarkan jenazah dari rumah sakit menuju rumah duka, mbak Yuli sempat bercerita kepada isteriku hikmah di balik gagalnya proses ta’aruf adiknya. Mbak Yuli merasa, mungkin ini adalah hikmah di balik semua kegagalan itu. Dan dalam tangisnya yang akhirnya pecah saat di ambulance bersama isteriku, mbak Yuli mengakhiri curahan hatinya dengan harapan dan merasa yakin sekali bahwa memang Abduh hanya untuk bidadari di surga, bukan untuk yang lainnya.

Aku sendiri berdoa di akhir tulisan ini, walaupun Abduh terpaut cukup jauh usianya di bawahku. Aku memohon kepada Allah SWT agar diberi kemampuan dan kesempatan meneladani seluruh kebaikan Abduh. Bagaimana mungkin aku tidak butuh meminta seperti itu, sedangkan bidadari di surga-pun cemburu karenanya..?

* * *

Dan aku selalu cemburu, pada orang sukses sepertimu, dek.

Yang senantiasa menabung amal sholeh, hingga pancaran wajah saat akhir hayatmu..

Begitu tenang, begitu damai, seperti tidur..

Selamat jalan dek Abduh, kami semua menyaksikan bahwa kau lelaki sholeh.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu.

Ya Rabb, mampukan kami agar dapat menjadi orang sukses saat menghadapMu, seperti saudaraku ini.

 

Pamulang & Ciputat, 22 Maret 2012
Tulisan kolaborasi dengan pak Lutfi