Kebersungguhan Da’i pada Diri Sendiri

Seorang da’i harus menjadikan segala sesuatu dalam dirinya, jasad dan jiwanya, diliputi nuansa rabbaniyah. Dan hal ini hanya dapat dilakukan tatkala ia mampu menjadikan dirinya suci dari hal-hal yang diharamkan Allah. Yang pertama harus dilakukannya adalah membebaskan tubuhnya dari berbagai macam makanan yang haram, baik itu haram karena zatnya, haram karena asalnya, tidak baik zatnya, ataupun tidak baik asalnya.

Kemudian, ia harus menjaga penciumannya, pendengarannya, pikirannya, pergaulannya, dan penglihatannya dari hal-hal yang diharamkan Allah atau yang tidak berhak untuk dinikmatinya.

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.’” (An Nur: 30-31)

Ia juga harus menjauhi tempat-tempat yang dapat, dan mudah mendatangkan maksiat, lebih-lebih yang merupakan tempat maksiat.

Imam Hasan Al Banna berkata, “Hendaklah engkau berjuang meningkatkan kapasitasmu dengan sungguh-sungguh agar engkau dapat menerima tongkat kepemimpinan. Hendaklah engkau menundukkan pandanganmu, menekan emosimu, dan memotong habis selera-selera rendah dari jiwamu, bawalah ia hanya untuk menggapai yang halal dan baik, dan hijabilah ia dari yang haram, dalam keadaan bagaimanapun.  Hendaklah engkau jauhi khamr dan seluruh makanan atau minuman yang memabukkan sejauh-jauhnya. Hendaklah engkau menjauh dari pergaulan dengan orang jahat dan persahabatan dengan orang yang rusak, serta jauhilah tempat-tempat maksiat. Hendaklah engkau perangi tempat-tempat iseng; jangan sekali-kali mendekatinya, dan hendaklah engkau jauhi gaya hidup mewah dan bersantal-santai.”[1]

Selanjutnya, hendaklah ia banyak bertaubat untuk mensucikan dirinya dari berbagai khilaf, salah, dan dosa yang seringkalai dilakukannya tanpa disadarinya.

“Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (Az Zumar: 53)

Hendaklah ia juga selalu menyertakan niat jihad dalam dirinya, bersedekah di jalan Allah, bershabar terhadap cobaan yang menimpanya, berlaku jujur antara lidah, hati, dan badannya, memerangi dorongan-dorongan nafsu dirinya, dan tidak berlebihan dalam mengkonsumsi yang mubah.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mati (dalam keadaan) belum pernah berperang dan tidak pernah terbersit dalam benaknya keinginan berperang, maka ia mati dalam keadaan munafik.” (HR Muslim dan Abu Dawud)

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,  (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 133-134)

“Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.” (An Nisa’: 135)

Seorang da’i hendaklah mampu menata urusannya, dari urusan pribadi, urusan keluarga, urusan pekerjaan, urusan masyarakat, urusan umat, dan urusan da’wah. Dalam menata urusan pribadinya, hendaklah pertama-tama ia mampu menjalankan sepuluh fithrah (kesucian) bagi seorang muslim.

Dari Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Sepuluh perkara termasuk fithrah: memangkas kumis, memelihara jenggot, bersiwak (menyikat gigi), menghirup air ke hidung, menggunting kuku, mencuci lekuk-lekuk jari, mencabut rambut ketiak, mencukur rambut kemaluan, dan beristinja’.” Mush’ab bin Syaibah, salah seorang rawinya berkata, “Aku lupa yang ke sepuluh, mungkin berkumur.” (HR Muslim, At Tirmidzi, dan Ahmad)

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim, terdapat tambahan, yakni berkhitan.

Seorang da’i hendaknya juga berpakaian yang bersih, menutup aurat, rapi, dan indah. Hal ini untuk membangun citra da’i, citra da’wah, dan citra Islam, serta memberikan kesan yang dalam kepada obyek da’wah.

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Al A’raf: 26)

Hendaknya ia juga menata berbagai benda yang ada di sekitarnya, misalnya arsip, buku, dokumen, dan ide-ide yang muncul dari letupan pikirannya. Penting untuk menyusun, menata, dan mencatatnya karena sangat mungkin pada suatu saat, ide kreatif tersebut perlu dikembangkan menjadi sesuatu yang bernilai.

Di dalam sebuah organisasi, hendaknya ia juga memberitahukan dan melaporkan berbagai masalah yang timbul serta kejadian-kejadian tertentu kepada pemimpinnya. Hal ini untuk memperbaiki dan memberikan solusi atau tanggapan secara cepat dan tepat terhadap masalah atau kejadian tersebut. Jangan sampai di dalam sebuah organisasi muncul permasalahan besar dikarenakan tumpukan permasalahan kecil yang tidak terselesaikan.

______________________________


[1] Risalah Ta’alim, dari Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin