Balitbang Kemenag dan Syiah: Kompromi Akhir Tahun?

Oleh: Ustadz Henri Shalahuddin, M.A.

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Ya Allah, laknatlah kedua berhala Quraisy, yaitu Abu Bakar dan Umar, Jibt dan Thaghut, kawan-kawan, serta putra-putri mereka berdua. Karena keduanya telah membangkang perintah-Mu, mengingkari wahyu-Mu, mengkufuri Nikmat-Mu, mendurhakai Rasul-Mu, membolak-balikkan agama-Mu, merubah kitab-Mu, mencintai musuh-musuh-Mu, mengingkari anugerah-Mu, mengabaikan hukum-hukum-Mu, mendustai kewajiban-kewajiban yang Engkau perintahkan, mendurhakai ayat-ayat Mu, memusuhi para kekasih-Mu…”

Kutipan doa di atas biasa disebut doa Dua Berhala Quraisy (Shanamai Quraisy). Sebuah doa yang berisikan pelaknatan terhadap Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘Anh. Melaknat Sahabat Nabi di kalangan Rafidhah (yakni Syiah Duabelas dan Isma’iliyah) diyakini sebagai ritual yang berpahala. Maka seringkali pelaknatan itu dikemas dalam bentuk doa dan sangat dianjurkan untuk dibaca setelah shalat fardhu. Kaum Syiah meyakini bahwa doa di atas memiliki derajat yang tinggi dan lebih utama daripada menjawab salam. Barang siapa yang membaca doa ini maka akan dicukupkan kebutuhannya dan dikabulkan cita-citanya. Di samping itu, keutamaan membaca doa Dua Berhala di atas ibarat seperti para pemanah yang menyertai Nabi di perang Badar dan Hunain dengan 1.000.000 anak panah. Sebelum melantunkannya, dianjurkan memukul paha kanan 3 kali dan mengucapkan: “Ya Maulaya, Ya Sahibazzaman”.

Doa pelaknatan Sahabat di atas dapat dijumpai di kitab-kitab Syiah, misalnya kitab “al-Misbah” yang ditulis oleh Syeikh Al Kaf’ami (828-905H). Al Kaf’ami merupakan salah satu ulama Syiah terkemuka asal Lebanon. Sehingga tidak mengherankan jika Syeikh Al Kaf’ami bertabur sanjungan dari para pemuka ulama Syiah, misalnya: a) Syeikh Al Hur Al ‘Amili (w. 1104H). Beliau menyatakan bahwa Syeikh Al Kaf’ami adalah ulama yang memiliki banyak keutamaan, tsiqah(terpercaya), penyair, ahli ibadah, zuhud dan wara’. b) Sayyid Muhammad Baqir Al Khunsari menyebutnya sebagai seorang syeikh yang alim, rajin, wara’, terpercaya dan kuat. c) Syeikh Abdullah Al Ishfahani memujinya sebagai seorang yang alim, sempurna, fadhil dan faqih.

Tradisi melaknat Sahabat yang tertulis dalam kitab-kitab Syiah senantiasa dihidupkan oleh keberadaan makam Abu Lu’luah yang dibangun megah. Sebagaimana diketahui, Abu Lu’luah adalah pembunuh Khalifah Umar bin Khattab r.a. yang digelari pahlawan pemberani. Makam Abu Lu’luah adalah simbol ritual pelaknatan. Oleh karena itu, makamnya sangat diagungkan, diziarahi, serta diadakan perayaan tahunan secara khusus. Kaum Syiah memberinya gelar “Bapak agama yang berani.” Di atas kuburannya tertulis kalimat-kalimat penghinaan terhadap sahabat-sahabat Nabi yang mulia: “Kematian untuk Abu Bakar, Kematian untuk Umar, Kematian untuk Utsman”.

Inilah secuil gambaran tentang ajaran Syiah rafidhah yang sesungguhnya. Klaim bahwa Syiah adalah pencinta Ahlul Bait, tidak lebih dari upaya pencitraan diri untuk mencari market. Sekiranya Syiah benar-benar mencintai Ahlul Bait, tentunya mereka akan mencintai orang-orang yang dicintai Ali Radhiyallahu ‘Anh., dan keturunannya. Kecintaan Ali Radhiyallahu ‘Anh., terhadap tiga pemuka Sahabat itu diabadikan dengan memberikan nama beberapa putranya dengan nama mereka. Ali menamai satu putranya dengan Abu Bakar, dua putranya dengan nama Umar dan dua lagi dengan nama Utsman. Bahkan Ali mengambil Umar bin Khatab sebagai menantunya. Namun kenapa kaum Syiah tetap saja berkeras hati melaknati orang-orang yang sangat dicintai Ali itu?

Laknat adalah lawan dari rahmat. Melaknat seseorang berarti menghilangkan dan menjauhkan rahmat (cinta kasih) Allah darinya. Sebab laknat adalah simbol ungkapan dendam dan kebencian. Kebencian adalah bencana terbesar diantara penyakit-penyakit yang menggerogoti tubuh manusia. Kebencian menyerang manusia dari sisi jiwa, pikiran, hati dan perasaannya. Ia menghisap nilai-nilai keindahan dan ketinggian budi, memadamkan cahaya nurani, spirit dan kejernihan diri, serta mengeringkan sumber-sumber potensi kebajikan.

Oleh karena Rasulullah saw., secara tegas melarang umatnya melaknat. Sebab beliau tidak diutus sebagai pelaknat, tapi sebagai penebar kasih sayang. Beliau bersabda: “Jika seorang hamba melaknat sesuatu, maka laknat itu akan naik ke langit, dan tertutuplah pintu-pintu langit. Kemudian laknat itu akan turun lagi ke bumi, namun pintu-pintu bumi telah tertutup. Laknat itu kemudian bergerak ke kanan dan ke kiri, jika tidak mendapatkan tempat berlabuh, dia akan menghampiri orang yang dilaknat, jika layak dilaknat. Namun jika tidak, maka laknat itu akan kembali kepada orang yang melaknat.” (HR. Abu Daud)

Maka tradisi melaknat menurut ulama Ahlussunnah merupakan salah satu sifat penghuni neraka pada hari kiamat kelak. Sebab mereka telah yakin akal kekal di dalam neraka dan telah berputus asa dengan Rahmat dan Ampunan Allah.

Di samping itu, melaknat berdampak buruk terhadap kesehatan jiwa pelakunya, apalagi jika ditanamkan terus-menerus dan menjadi tradisi turun temurun yang dipandang sebagai ibadah berpahala. Tidak diragukan bahwa melaknat adalah perilaku yang senantiasa memancarkan aura negatif. Melaknat adalah skor terendah dan ekspresi minimal dalam sebuah rentang skala tindakan yang dimotivasi oleh kebencian. Sebab dendam dan kebencian bila terlahir dari seseorang yang lemah akan menghasilkan pelaknatan. Tetapi jika terlahir dari orang yang memiliki kekuatan dan kesempatan, niscaya akan mengekspresikan tindakan yang lebih buruk lagi, seperti merampok, menganiaya bahkan sampai tindak pembunuhan.

Hal ini terungkap dalam kitab ulama kenamaan Syiah, Muhammad Baqir Al Majlisi dalam karya monumentalnya, Bihar Al Anwar. Ia menukil sebuah doa pelaknatan yang diriwayatkan dari ‘Ali ibn ‘Ashim Al Kufi bahwa tatkala malaikat mendengar doa si pelaknat, malaikat pun berkata: “Ya Allah berilah salawat atas ruh hamba-Mu ini yang telah mengeluarkan suaranya untuk menolong para kekasihnya, sekiranya dia mampu untuk berbuat lebih dari itu pastilah dia akan melakukannya”. (vol. 50, 1983: 316)

Ajaran Teror

Bermula dari tradisi melaknat yang dimotivasi perasaan penuh dendam dan kebencian terhadap para Sahabat Nabi, beberapa ulama Syiah yang mu’tabar melangkah semakin jauh dengan menghukumi kafir kepada kaum muslimin yang memuliakan ketiga khalifah sebelum Ali. Dengan menyematkan label kafir ini, mereka menghalalkan darah, harta dan kehormatan umat Islam non-Syiah, terutama kepada Ahlussunnah dan Syiah Zaidiyyah. Mungkin hal ini terkesan provokatif dan pastinya penulis akan dituduh menyebarkan kebencian atau memecahbelah umat Islam. Namun fakta dalam beberapa kitab Syiah akan menepis kesan tersebut. Berikut beberapa pendapat ulama Syiah terkemuka perihal ajaran yang menakutkan ini:

  1. Syeikh Al Shaduq dalam ‘Ilal Al Syarai’ menyatakan: “Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah as:  Bagaimana pendapat anda mengenai membunuh Al nasib (sunni)?” Beliau menjawab: “Halal darahnya, tetapi aku khawatir terhadapmu. Maka (lebih baik) jika kamu mampu untuk merobohkan tembok kepadanya, atau menenggelamkannya kedalam air, sehingga tidak seorang pun yang menyaksikan (perbuatan) mu, maka kerjakanlah!” Aku bertanya (lagi): “Bagaimana pendapat anda tentang hartanya?” Beliau menjawab: “Ambillah hartanya sebisamu! (1408H: 326). Riwayat ini juga terdapat dalam karya Syeikh Yusuf Al Bahrani, “al-Hadaiq Al Nadhirah”, vol. xviii, hal. 156.
  2. Pemimpin Revolusi Republik Islam Iran, Ayatullah Imam Khumaini dalam kitabnya Tahrir Al Wasilah, menegaskan: “Dan (pendapat) yang terkuat bahwa Al nashib (sunni) didudukkan sebagai ahlul-harb (lawan dalam peperangan) dalam hal kehalalan diambil ghanimah-nya (harta rampasan perang) dari mereka dengan menyisihkan seperlimanya. Bahkan jelas kebolehan mengambil hartanya di mana pun berada, dengan cara apapun serta kewajiban mengeluarkan seperlimanya”. (vol. I, hal. 352).
  3. Mirza Muhammad Baqir Al Musawi Al Khunsari dalam karyanya, “Raudhatul Jannat fi Usuli l-‘Ulama wa l-Sadat (vol. I, hal. 300-301) memuji-muji Al Thusi. Al Thusi adalah tokoh Syiah yang menjadi menteri dalam pemerintahan Daulah ‘Abbasiyah dan berkhianat sehingga menyebabkan kekalahan umat Islam di tangan tentara Tartar. Kekalahan Daulah ‘Abbasiyah diiringi dengan pembantaian umat Islam besar-besaran oleh tentara Tartar. Peran pengkhiantan Al Thusi itu justru mendapat penghormatan dari Al Khunsari dan menyebutnya sebagai pahlawan. Pembantaian dan penghancuran yang dilakukan Holako justru digambarkan sebagai langkah untuk membangun Baghdad, melenyapkan kezaliman dan kediktatoran. Al Khunsari secara detail mengisahkan bagaimana Holako membantai para pengikut Thaghut dan mengalirkan darah mereka yang kotor seperti aliran sungai. Dikisahkan bahwa Holako telah mengalirkan darah sunni itu ke sungai Dajlah, dan sebagiannya lagi langsung dialirkan ke neraka, tempat orang-orang sengsara dan jahat. (vol. I, hal. 300-301). Pujian terhadap peran Al Thusi ini juga datang dari Ayatullah Imam Khumaini (al-Hukumah Al Islamiyyah, hal. 142).

Dalam uraian di atas, istilah nashib (jamaknya nawashib) dalam literatur klasik Syiah bermakna semua pengikut Ahlussunnah. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Syeikh Ni’matullah Al Jazairi (al-Anwar Al Nu’maiyah, vol. II, 1404H: 307), Syeikh Muhammad Tijani (al-Syiah hum Ahlussunnah, cet. x, 1423H: 161), dan Syeikh Husain Ali ‘Ashfur Al Darazi Al Bahrani. Bahkan Syeikh Al Bahrani menyebutkan secara jelas bahwa kaum Sunni adalah yang dimaksud dengan Al nasib dan mereka ini lebih najis dari pada anjing dan lebih kafir dari Yahudi dan Nasrani. (al-Mahasin Al Nafsaniyah fi Ajwibati l-Masa’il Al Khurasaniyah, cet. I, 1399H: 147).

Menyikapi aliran Syiah yang sudah eksis ratusan tahun memang tidak sesederhana yang dibayangkan dan diperlukan ekstra kehati-hatian. Jika memang penganut Syiah di Indonesia yang mengenalkan dirinya dengan Mazhab Ahlul Bait ini berpaham Syiah Itsna ‘Asyriyah (Duabelas) dan memegang teguh ijtihad para ulamanya, maka fatwa ulama Sampang dan Jawa Timur tentang sesatnya ideologi Syiah bukan saja akurat, tetapi fatwa itu perlu ditambahi bahwa Syiah adalah aliran sesat dan membahayakan stabilitas NKRI.

Balitbang Kemenag Tidak Sensitif

Dari informasi yang diperoleh dari penulis, Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang Kementerian Agama RI pada 17 Desember nanti berencana membedah buku IJABI yang berjudul ”Empat Puluh Masalah Syiah”. Rencananya Balitbang Kemenag akan menggelar acara itu di Hotel Millineum Tanah Abang Jakarta. Jika informasi ini benar adanya, maka patut disesalkan sekali keputusan ini. Bagaimana pun acara bedah buku Syiah yang dilakukan oleh Balitbang Kemenag ini secara tidak langsung merupakan bentuk pengakuan terhadap ajaran Syiah yang sering menyulut kekacauan di berbagai negara-negara Islam. Terlebih jika komunitas Syiah mulai beranjak besar, maka bisa dipastikan akan membentuk pasukan di luar pemerintahan seperti Hizbullah di Lebanon.

Kemenag sebagai alat negara yang dibiayai dari pajak rakyat yang mayoritas Ahlussunnah wal Jama’ah sepatutnya tidak diselewengkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mempromosikan buku-buku dan ajaran Syiah yang sesat dan membahayakan negara. Di samping itu, buku tersebut juga sangat tidak layak dibedah di lembaga ilmiah setingkat Kemenag. Sebab secara akademik, buku yang ditulis oleh istri Jalaluddin Rakhmat itu jauh dari standar karya ilmiah, misalnya tidak menggunakan catatan kaki, banyak melakukan mutilasi teks dan konteks terhadap ayat, hadits dan sirah, serta menyebarkan fitnah kepada penganut Ahlussunnah.

Para pembesar ulama Ahlussunnah telah memperingatkan untuk tidak dekat-dekat dengan golongan Syiah. Imam Syafi’i bahkan mengatakan: “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang mana aku benar-benar bersaksi akan kebohongannya melainkan dari kaum Syi’ah Rafidhah”. (Manaqib asy-Syafi’i, 1/468. Siyar A’lam an-Nubala’, 10/89). Imam Malik, ketika ditanya tentang Syi’ah Rafidhah, maka beliau berkata: “Janganlah kamu berbicara dengan mereka dan jangan kamu meriwayatkan hadis dari mereka, karena mereka adalah pendusta.” (Ibnu Taimiyyah, Minhajus Sunnah, 1/26). Sedangkan Imam Fudhail ibn ‘Iyadh (w.187H) berkata: “Jangan kamu beri kepercayaan kepada ahli bid’ah dalam urusan agamamu, jangan kamu bermusyawarah dengannya dalam urusanmu, dan jangan kamu duduk-duduk dengannya. Barang siapa yang duduk dengan ahli bid’ah, Allah akan mewariskan baginya kebutaan, yaitu (kebutaan) di hatinya.” (al-Laalikaa’i, Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, 1/138, no. 264).

Sedangkan para ulama terkemuka yang mengkategorikan kafirnya Syiah Rafidhah di antaranya adalah Imam Malik (w.179H), Syeikh Abdul Qahir Al Baghdadi (w.429H), Ibnu Hazm, Imam Al Asfarayaini (w.471 H), Imam Al Ghazali (w. 505H), Al Qadhi ‘Iyadh (w. 544H), Fakhruddin Al Razi (w.606H), Ibnu Katsir (w.774 H), Imam Syaukani (w.1250 H), dan masih banyak lagi. Bahkan di antara pemuka ulama tersebut juga melarang shalat di belakang Imam yang beraliran Syiah Rafidhah, seperti Imam Bukhari, Imam Syafi’i, dan lain-lain. (lihat misalnya: http://www.alserdaab.org/articles.aspx?article_no=463, http://www.syiah.net/2012/08/fatwa-dan-pendirian-ulama-sunni-terhadap-aqidah-syiah-bag-4.html#edn64, http://www.1aqidah.net/v2/syiah-cerca-sahabat/).

Jika informasi bedah buku tersebut benar, maka tindakan Balitbang Kemenag sangat tidak sensitif dan menyakiti mayoritas umat Islam di Indonesia. Sebab tindakan tersebut terlalu rumit untuk dibenarkan, baik dari sisi akademis maupun moral etis. Bahkan secara terang-terangan berseberangan dengan pendapat mayoritas ulama sepanjang zaman. Sebagai lembaga negara yang dipenuhi oleh para cendekiawan, saya yakin acara tersebut tidak digelar untuk menghabiskan anggaran yang tersisa. Namun kenapa Balitbang yang dipimpin seorang profesor nekad mengadakan bedah buku itu? Adakah agenda tersembunyi atau mungkin semacam kompromi akhir tahun antara Balitbang Kemenag dan Syiah di balik acara itu? Wallahu a’lam, tapi tentunya kita semua tidak berharap demikian.