Belajar adalah pekerjaan yang berat, butuh waktu yang tidak sedikit, biaya selangit, serta tenaga yang ekstra dalam menjalaninya. Ada sebuah kalimat bijak yang menyatakan “belajarlah bersabar ketika belajar”. Iya bersabar, itulah kuncinya, terutama bersabar dalam mendengarkan, sebab mendengar merupakan sarana untuk menyerap informasi terbaru, berbeda dengan berbicara karena hal itu hanya mengulang informasi yang telah diperoleh sebelumnya.
Daripada sekadar berasumsi atau menarik kesimpulan sendiri yang bisa saja salah tafsir, dengan menyimak secara langsung apa yang dirasakan atau dipikirkan orang lain, akan membantu kita memahami semuanya dengan lebih baik. Dengan demikian akan lebih mudah mencari solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi.
Mendengar itu pekerjaan yang melelahkan sekaligus membosankan, dan umumnya lebih banyak yang ingin “didengar” dibanding “mendengar”. Jika semuanya ingin didengar lantas siapa yang bakal mendengar?
Mendengar adalah langkah membina keharmonisan, baik itu dalam skala rumah tangga maupun dalam tatanan sebuah negara. Dewasa ini, masalah utama yang terjadi adalah tidak ada yang mendengar, padahal diberbagai pelosok negeri berbagai rintihan dan jeritan begitu nyaring terdengar, semakin banyak tekanan yang diberi maka semakin banyak pula nyanyian2 pilu yang begitu menyayat jiwa. Mungkin, bisa jadi para anak negeri adalah sosok tuts piano yang terdengar bernada merdu ditelinga tatkala jemari kotor mereka menekan-nekannya.
Retaknya sebuah biduk rumah tangga bisa saja berawal dari hilangnya pendengaran. Ketika istri tidak lagi mendengar suaminya maka yang terjadi adalah hilangnya sosok pemimpin yang disegani, pada akhirnya anak-anak pun memberontak. Demikian juga ketika suami tidak mendengar maka sang istri akan merasa terabaikan sehingga bisa saja mencari sosok lain yang rela mendengar. Berawal dari curhat sehingga akhirnya nekat lalu terjadilah apa yang terjadi.
Mendengar itu adalah salah satu wujud syukur. Sebagai sebuah langkah nyata dalam mensyukuri nikmat, saat panggilan azan menyeru sudah seharusnya telinga menarik kaki agar segera mengayunkan langkah memenuhi undangan-Nya. Umat-umat terdahulu menjadi binasa hanya karena tidak mau mendengar seruan dakwah para Nabi-Nya.
Katakanlah: “Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”. (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur. (Al-Mulk : 23)