Kulitnya kriput. Berdirinya tak tegak. Bicaranya mulai tak jelas. Tubuhnya gemetar. Matanya buram. Dia adalah ibu Sumiati. Hanya bermodal kemauan, ia baru memulai mengeja huruf hijayyah.
Terbata-bata dan penuh susah payah, ia berusaha tuk sabar hanya satu asa, ‘bisa membaca al-Qur’an’.
Lihat tangannya, gemetar memegang iqra, gemetar menunjuk deretan huruf, namun hatinya tak pernah gemetar tuk menyerah.
Huruf “za” adalah huruf yang sangat susah beliau sebutkan, tak jelas apa yang ia sebutkan, tapi ia tak pernah merasa gengsi untuk belajar.
Rinai air mataku tak tertahan. Ia membuatku menangis tersedu-sedu. Kubertanya, “Di mana aku selama ini?”
Kusadari, orang seperti ibu Sumiati tidaklah sendiri, di sana ada jutaan muslim yang bahkan tak bisa membaca kitab petunjuknya sendiri. Mulai dari kalangan awam, sampai pada kalangan intelektual.
Ya, biarlah mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri sekarang ini, namun besar harapan, suatu saat mereka bisa seperti ibu Sumiati sebelum ajal menjemput mereka; mau belajar al-Qur’an.
Teringat dengan cerita nenekku, dahulu ia tak bisa membaca al-Qur’an. Ketika ia melihat orang membaca al-Qur’an, ia menangis tersedu-sedu dan berdoa serta berazam dalam hati, bahwa anaknya nanti dan seluruh keturunannya harus bisa membaca Qur’an.
Berawal dari doa itu, ibu dan bapakku menjadi seorang guru ngaji. Ya, walau tak dipandang manusia, tapi mereka berprinsip, mereka mulia di hadapan Tuhan manusia.
Terima kasih untuk yang sudah membantu ibu Sumiati dan kawan-kawannya memperoleh Iqra. Baarakallahu fiikum.
Irsun Badrun
Manyaran, 06 Januari 2015