Berda’wah dengan Kepribadian

Meninggalnya Abu Thalib membuat beban hidup Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam amat berat. Beliau merasa kehilangan seseorang yang selama ini mendampinginya dengan kasih sayang, membelanya jiwa dan raga.

Maka  berangkatlah Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam ke Thaif dengan harapan mendapat sambutan dan menjalin persaudaraan dengan suku Tsaqif, sekaligus mengajak mereka berislam. Perjalanan memakan banyak energi dan  cukup melelahkan.

Di Thaif, beliau segera menemui para pemuka setempat., lalu tanpa ragu menyampaikan da’wah kepada mereka. Akan tetapi, para tokoh ini menolak kepadangan Muhammad dan memprovokasi masyarakat untuk untuk mengusirnya. Maka berdatanganlah orang-orang dari seluruh penjuru kota untuk ramai-ramai mengusir Rasulullah, melempari dan mengolok-olok dengan perkataan yang menghinakan.

Keadaan yang tidak menguntungkan ini membuat Rasulullah harus berlindung. Beliau kemudian berlindung  di sebuah kebun yang ternyata adalah milik Utbah bin Rabi’ah  dan Syaibah bin Ra bi’ah.  Para pemilik kebun ini saat itu kebetulan ada di kebun sedang menyiangi tanamannya dan menyaksikan apa yang terjadi pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke kebun itu dan duduk di bawah sebuah pohon kurma. Pemilik kebun yang merasa iba memerintahkan kepada pelayannya yang bernama Adas untuk menawarkan buah anggur kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Ambillah setangkai anggur dan letakkan di nampan ini, kemudian suguhkan kepada orang (yang duduk di bawah pohon kurma ) itu”, perintah Utbah. Adas memetik anggur dan meletakkannya di nampan, lalu menyuguhkannya  ke hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mempersilakan beliau memakannya.

Maka, Rasul un memetik satu biji anggur itu dengan mengucap satu kata yang membuat Adas takjub. Beliau mengucapkan “Bismillahir rahmanir rahim” kemudian memasukkan butir anggur ke mulut.

Adas terperanjat dan takjub atas bacaan ini, terus memandangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh keheranan. Kemudian ia mengatakan: “Demi Allah, ucapan ini bukanlah ucapan penduduk negeri ini”.

Rasulullah bertanya, “Wahai Adas, kamu berasal dari mana dan apa agamamu?”

Adas menjawab, “Saya beragama Nasrani, asal saya dari Negeri Ninawai.”

Rasulullah bertanya lagi, “Apakah dari negerinya Yunus bin Matta, hamba Allah yang shalih itu?”

Adas makin heran atas pertanyaan ini dan balik bertanya, “Apa yang kamu ketahui tentang Yunus bin Matta?”

Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia adalah seorang Nabi dan saya juga seorang Nabi.”

Mendengar jawaban ini, Adas langsung memeluk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, menciumi kepala, tangan dan kaki B eliau dengan penuh takjub. Ia merasa seperti mendapati sebuah kejaiban besar bertemu dengan seorang Nabi.

Bagaimana dengan perilaku dan kepribadian kita sebagai seorang juru da’wah?

Kita sering menjumpai orang berusaha meniru adegan antara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan Adas, tetapi dengan salah kaprah. Jika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menarik perhatian Adas dengan Bismillahir rahmanir rahim’ yang bersifat universal, agung, dan mudah diyakini (karena bangsa arab  sudah mengenal Allah bahkan sebelum islam datang), maka banyak kawan-kawan kita yang begitu bersemangat mengganti ‘Bismillahir rahmanir rahim’ dengan ujaran-ujaran yang mencerminkan identitas Ormas, Harokah, bahkan simbol tertentu, sebelum tahu sama sekali bagaimana karakter dan kadar akal orang yang mereka hadapi. Inilah kisah suram yang menjadi penyebab betapa banyak sahabat da’i tersingkir dari masyarakat, dipinggirkan, bahkan diusir.

Memperkenalkan identitas golongan saat mengawali da’wah jelas berbeda dengan peristiwa Rasulullah mengenalkan ‘bismillahirrahmanirrahim’, karena identitas golongan tidak bersifat umum, bukan bagian dari ajaran islam, dan oleh karenanya bukanlah sesuatu yang akan kita tawarkan saat interaksi dini. Sedangkan ucapan ‘bismillahirrahmanirrahim’ adalah bagian dari ummul Qur’an, dan penyebab Allah menurunkan berkah ketika seseorang membacanya setiap kali memulai amal kebaikan (kullu amrin dzibalin la yubtada’i fiihi bibismillahi fahuwa aqtha’u).

Da’wah dengan kepribadian berarti menunjukkan pribadi baik dan familiar di hadapan sasaran yang kita dekati, memberikan apa yang kita punyai, meminjamkan apa yang kita miliki, mengabarkan apa yang kita ketahui, dan memberi mereka manfaat apa yang ada dalam diri ini. Ketika sasaran da’wah kita diuji dengan musibah penyakit atau kecelakaan, maka kita sebagai juru da’wah adalah orang pertama yang menjenguknya. Ketika kita tahu ada seorang atau sekelompok ummat kelaparan, maka da’i adalah orang pertama yang memberinya makan. Ketika seorang da’i mengetahui ada berita yang besar, maka dialah orang pertama yang seharusnya mengabarkan. Da’i yang ikhlas tidak pilih-pilih menolong ummat, apakah ia termasuk golongan satu fikrah dengannya ataukah tidak.

Kini, di luar ‘bulan meriah’ Ramadhan atau Syawal, seorang da’i sejati adalah mereka yang tetap menyediakan diri menjadi pelita di masjid-masjid: memprakarasi pemakmuran masjid, memeriahkan masjid bersama ummat, berceramah dan mengajarkan ilmu kepada mereka, mendirikan majelis keummatan, serta menyumbang sebagian harta untuk kaum duafa.

Kita, para da’i, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan contoh kepribadian yang dapat menarik perhatian mereka untuk bertanya lebih jauh tentang islam, lalu bersama-sama mengmalkannya. Tetapi bukan tebar pesona, dan jauh dari sifat narsis serta riya’ yang justru menjerumuskan.