Berhati-hati Dalam Memberikan Prasangka

Bus Sumber Kencono kala itu begitu sesak. Namun mau bagaimana lagi, itulah bus pertama yang saya temui dan tak ada yang menjamin bus selanjutnya tak kalah sesak dengan bus ini. Kursi  kosong tinggal satu, dan saya adalah orang beruntung yang mendapatkannya. Tapi tidak untuk orang di sebelah saya. Kebiasan saya dalam bepergian adalah menyapa atau sekedar basa – basi dengan orang yang ada di samping saya. Namun, tidak untuk kali ini saya pikir.

Bapak di samping saya berpenampilan kurang rapi. Celana jeans belel dan sobek-sobek, baju juga jauh dari rapi, rambut acak2an, yang jelas orang ini dengan mudah dikenali dan saya sebut sebagi preman. Menurut saya, dia adalah orang yang seram, menakutkan, kurang bersahabat dan alasan–alasan  lain yang mendukung saya untuk tidak mengajak bicara denganya. Sepatah kata pun. Hingga sekitar 2,5 jam hanya saling diam, dengan wajah si bapak yang makin seram. Tak ada kursi kosong selain ini. Kalau saja ada, niat saya sudah bulat untuk pindah ke kursi lain dan menghirup sedikit nafas ketenangan.

Dalam lelahnya perjalanan, kaki saya luruskan dan “thak”. Kaki saya menyenggol kaki bapak ini dan diikuti si bapak yang tiba-tiba meringis kesakitan. Ahh.. ternyata kakinya digips. Buru–buru saya minta maaf atas ketidaktahuan saya yang telah  membuat bapak ini makin sakit. Hinga akhirnya si bapak bercerita bahwa kecelakaan baru saja menimpanya. Dia dan istrinya yang mengendarai sepeda motor dari Blora jatuh dari motor, dan mengharuskan kakinya digips karena patah. Istrinya sekarang masih dirawat di rumah sakit karena ada pendarahan di kepala. Saat  kecelakaan terjadi, mereka langsung dibawa ke rumah sakit di Solo dan belum pernah pulang ke rumah. Beliau belum bertemu anak semata wayangya, dan juga belum mau mengabarinya. Saat itu, dengan kaki kanan digips, bapak ini harus pulang ke Blora untuk mengambil uang untuk pengobatan istrinya. Dengan segenap kerinduan pada anaknya, dengan segala asa dan harapan atas kesembuhan istrinya, dengan sedikit mengabakan rasa sakit yang dialaminya..

Jadi, celana jeans belel dan sobek2 itu karena kecelakaan yang menimpanya. Baju yang agak lusuh dan kotor itu karena belum sempat pulang sejak kecelakaan yang dialaminya. Wajah yang “tidak bersahabat” itu karena kecemasannya pada kondisi istrinya. Jadi, dia bukan preman yang seperti saya sangka. Malu rasanya, ketika di awal saya sudah mencap bapak ini preman. Maafkan prasangka saya pak…

Ahh, teryata masih sependek itulah pikran saya, yang telah termakan paradigma bahwa orang dengan “dandanan” seperti itu bukan orang biasa. Masih seceroboh itulah perasaan saya, yang menganggap orang layak untuk ditakuti. Serta masih sedangkal itulah prasangka saya, yang sok tahu dan memberi label pada manusia. Padahal, bukankah sebagian prasangka itu adalah dosa? Bukankah Allah lah yang paling tahu dan paling tahu derajat ciptaanNya dalam pandanganNya?

Karena itulah kawan, jangan terjebak pada prasangka. Selalu budayakan cross check (tabayun) atas segala persangkaan pibadi, terlebih bila ini berkaitan dengan saudara seiman kita sendiri. Termakan jebakan prasangka adalah bencana yang akan merugikan diri kita sendiri, sekaligus orang lain yang bersangkutan. Karena itulah, cross check (tabayun) haruslah menjadi jalan yang ditempuh setelah prasangka hadir di fikiran.

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. (QS. Al Hujurat : 12)

 

Oleh: Yuana Purnama Sari, Yogyakarta

Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada
FacebookBlog