Menata Waktu bagi Da’i

Waktu adalah satu anugerah yang sangat berharga. Ia sangat berharga karena tidak akan pernah kembali, sedetik pun. Oleh karena itu, seorang aktivis harus benar-benar memanfaatkan waktu yang dimilikinya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dimilikinya.

Imam Hasan Al Banna berkata, “Ketahuilah, kewajiban itu lebih banyak daripada waktu yang tersedia, maka bantulah saudaramu untuk menggunakan waktunya dengan sebaik-baiknya, dan jika engkau punya kepentingan atau tugas, maka selesaikan segera.”

Ini bukan berarti menjadi dalil bagi seseorang untuk tidak menyelesaikan kewajiban-kewajiban yang dimilikinya, namun menunjukkan beratnya beban kewajiban yang ada, sementara waktu yang ada itu sangat terbatas. Oleh karena itu, penting baginya untuk menentukan priorotas-prioritas kewajiban yang harus dilaksanakannya, menjadwalkannya terlebih dahulu sebelum menjadwalkan hal-hal lainnya, melakukan pembaruan setiap hari, dan melakukan evaluasi terhadap jadwal yang dibuatnya.

Dr. Yusuf Qardhawi mengatakan tentang hubungan kehidupan dan waktu, “Waktu adalah hidup itu sendiri maka jangan sekali-kali engkau sia-siakan sedetik pun dari waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaedah. Setiap orang akan mempertanggungjawabkan usianya yang tidak lain adalah rangkaian dari waktu. Sikap negatif terhadap waktu niscaya membawa kerugian, seperti gemar menangguhkan atau mengulur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan. Namun, kemudian ia mengkambinghitamkan waktu saat ia merugi, sehingga tidak punya kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan.

Jika kita melihat mengenai kaitan waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar bin Khatthab kepada Gubernur Abu Musa Al Asy’ari, sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.”[1]

Hendaklah seseorang itu tidak membuang-buang waktunya untuk hal yang tidak berguna, bermalas-malasan, menganggur, dan melakukan hal-hal yang hanya bersifat konsumsi. Umar bin Khathab pernah mengatakan bahwa beliau paling benci melihat orang yang menganggur, tidak memiliki kesibukan dunia dan juga tidak memiliki kesibukan akhirat. Ia harus produktif dalam segala urusan.

Dari Abdullah bin Umar, berkata, “Rasulullah menarik kedua pundakku, kemudian beliau bersabda, ‘Jadilah kamu di dunia ini orang yang senantiasa asing  atau seorang pengembara.’” Kemudian Abdullah bin Umar berkata, “Jika kamu berada di waktu sore, janganlah menunggu waktu pagi muncul. Jika kamu berada di waktu pagi, janganlah menunggu waktu sore datang. Manfaatkanlah waktu sehatmu untuk waktu sakitmu. Manfaatkanlah waktu hidupmu untuk matimu.” (HR Bukhari, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ahmad, Ibnu Abu Ashim, Ibnu Al Mubarak, Ath Thabrani, Al Baihaqi, Abu Nu’aim, An Nasa’i, dan Al Baghawi)

“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Alam Nasyrah/Al Insyirah: 7)

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak berarti baginya.” (HR At Tirmidzi)

Imam Hasan Al Banna menceritakan tentang produktifitas da’i, ”Sedikit sekali orang yang tahu, ketika salah seorang da’i keluar dari tempat kerjanya di Kairo pada Kamis sore, tiba-tiba ia sudah berceramah di El Minya pada saat Isya’. Di hari Jumat, ia menyampaikan khutbah di Manfaluth, Jumat sorenya kedapatan ceramah di Asyut, setelah Isya’ pada hari itu berda’wah di Sohag, baru kemudian pulang. Pagi-pagi buta kesesokan harinya, ia sudah berada di tempat kerjanya di Kairo, bahkan mendahului karyawan lainnya. Empat forum dakwah secara beruntun di berbagai kota yang berjauhan bisa dijangkau oleh seorang da’i Ikhwan dalam waktu tiga puluh jam, lalu kembali ke tempat semula dengan tenang dan dengan stamina yang prima, seraya memanjatkan puji ke  hadirat Allah atas taufiq yang dianugerahkan kepadanya. Tidak ada orang yang bisa merasakannya kecuali mereka yang mendengarnya dan turut dengan langkah-Iangkahnya.”[2]

Seseorang juga tidak boleh merugikan waktu yang dimiliki oleh orang lain. Hal ini biasa terjadi karena ia tidak menepati janji pertemuan atau sejenisnya. Maka, berkomitmen terhadap janji dengan orang lain dalam soal ketepatan waktu merupakan bagian dari kekuatan karakteristik seorang da’i.

Dari Abdullah bin Abi Khansa, ia berkata, “Aku melakukan transaksi jual beli dengan Nabi sebeum beliau diutus, dan ada sisa barang yang belum aku berikan kepadanya, lalu aku menjanjikan kepadanya untuk memberikannya di tempat itu. Di hari yang telah ditentukan itu dan hari setelahnya ternyata aku lupa mendatanginya, aku dating pada hari ketiga, aku dapati beliau telah datang ke tempat itu. Beliau berkata, ‘Wahai pemuda, kau telah menyusahkan aku, aku telah berada di sini selama tiga hari menunggumu.’” (HR Abu Dawud)

_______________________________


[1]  Qimatul Waqti Fil Islam

[2] Risalah Muktamar Kelima, dari Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin