Sebagian diantara umat Nasrani di Indonesia menyebutnya “Injil”, sebagian lagi menyebutnya “Alkitab”. Bagi umat Muslim, kedua istilah ini sebenarnya kurang tepat untuk diucapkan, karena Injil adalah nama Kitab Suci yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa as yang sepenuhnya diimani oleh setiap Muslim. Adapun kitab yang sekarang dijadikan acuan oleh umat Nasrani telah diyakini sebagai kitab yang telah mengandung perubahan di sana-sini. Klaim ini bahkan diakui sendiri oleh umat Nasrani di jaman sekarang. Adapun istilah “Alkitab” lebih sulit lagi diterima, karena ia merupakan salah satu nama yang hanya digunakan oleh umat Muslim untuk menyebut Kitab Sucinya yang masih berlaku hingga akhir jaman, yaitu Al-Qur’an. Umat Nasrani di negara-negara berbahasa Inggris menyebutnya “Bible”, dan kini sudah banyak orang Indonesia yang menyerap kata ini menjadi “Bibel”. Nampaknya istilah inilah yang secara konseptual lebih dapat kita terima. Tentu saja, ini adalah masalah yang dikhususkan bagi umat Muslim. Bagaimana cara umat Nasrani menyebut kitab sucinya, rasanya tidak terlalu signifikan untuk kita persoalkan.
Kitab Bibel ini terdiri dari dua bagian besar, yaitu Perjanjian Lama (Old Testament) dan Perjanjian Baru (New Testament). Perjanjian Lama adalah apa yang mereka anggap sebagai Taurat (dan umat Muslim tidak berhak mengakuinya sebagai Taurat), sedangkan Perjanjian Baru adalah apa yang mereka anggap sebagai Injil (satu lagi alasan mengapa istilah “Injil” tidak tepat untuk digunakan di sini). Maka, Bibel sebenarnya adalah gabungan dari dua kitab besar.
Kitab Perjanjian Baru selanjutnya terdiri dari empat kitab lagi, yang sebenarnya justru memberikan kerancuan pada konsep Bibel itu sendiri. Sebab, keempat kitab itu adalah Bibel juga, yang dalam bahasa Inggris juga disebut sebagai “Gospel”. Bibel disebut “The Gospels”, sedangkan keempat kitab di dalamnya disebut sebagai “The Gospel According to Matthew” (Matius), “The Gospel According to Mark” (Markus), “The Gospel According to Luke” (Lukas) dan “The Gospel According to John” (Yohanes). Frase “according to” menunjukkan bahwa sebenarnya Matius, Markus, Lukas dan Yohanes tengah menyampaikan sebuah kitab yang sama, namun pada kenyataannya teks yang mereka sampaikan berbeda jauh, sehingga para penerus mereka terpaksa mengakui bahwa masing-masing kitab itu hanyalah pandangan dari perspektif pribadi keempat tokoh tersebut.
Maurice Bucaille tidak perlu waktu lama untuk menyingkap kontradiksi di antara keempat ‘perspektif’ dalam Kitab Perjanjian Baru ini. Ketika meneliti garis keturunan Yesus, Bucaille langsung melihat adanya perbedaan yang sangat mencolok antara Matius dan Lukas. Matius memulai penelusuran garis keturunannya dari Abraham (Nabi Ibrahim as), sedangkan Lukas memulainya dari Adam (Nabi Adam as), dan baru pada keturunan ke-21 muncullah nama Abraham. Hingga 5 keturunan sesudahnya, Matius dan Lukas masih sepakat. Akan tetapi pada generasi-generasi sesudahnya, terdapat begitu banyak perbedaan yang begitu sulit untuk ‘didamaikan’. Sebagai contoh, menurut Matius, Yesus dilahirkan dari garis keturunan David (Nabi Daud as) dan anaknya, Solomon (Nabi Sulaiman as). Di sisi lain, Lukas mencatat bahwa Yesus berasal dari keturunan David dan anaknya yang lain, yaitu Nathan.
Kontroversi yang paling menyentak pikiran agaknya terletak tepat sebelum daftar garis keturunan itu berakhir, yaitu pada sebuah nama yang disepakati baik oleh Matius dan Lukas, yaitu Joseph (Yusuf). Nama ini merujuk pada seorang lelaki yang – berdasarkan posisinya pada daftar tersebut – dianggap sebagai ayah Yesus. Padahal, umat Nasrani secara tegas mengakui bahwa Yesus tidak memiliki ayah. Dengan demikian, terdapat berbagai cara penafsiran dari daftar ini. Bisa saja daftar ini dianggap salah keduanya atau salah satunya. Bisa saja orang kemudian mempertanyakan doktrin agama Nasrani yang menyatakan bahwa Yesus lahir tanpa ayah. Atau, bisa saja orang bersikeras bahwa Yesus memang lahir tanpa ayah, sedangkan Joseph hanyalah lelaki yang dinikahi Maria (Maryam) setelah melahirkan, dan dengan demikian, Yesus bukanlah keturunan para Raja (David dan Solomon adalah dua raja yang sangat diagung-agungkan oleh kaum Bani Israil). Tentu saja, teori bahwa Yesus bukanlah keturunan Raja akan menghantam doktrin agama Nasrani yang lain lagi.
Kontradiksi semacam ini tentu saja tidak terjadi pada perspektif umat Muslim terhadap Nabi ‘Isa as. Kita semua mengetahui bahwa Nabi ‘Isa as adalah Nabi yang berasal dari keturunan Bani Israil dan diutus juga kepada Bani Israil. Mereka yang membaca Al-Qur’an ‘sekedar lewat’ pun akan tahu bahwa Nabi ‘Isa as, Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as berasal dari garis keturunan yang sama, yaitu dari Nabi Ya’qub as (yang juga dikenal dengan nama “Israil”), Nabi Ishaq as (ayahnya Nabi Ya’qub as), Nabi Ibrahim as (ayahnya Nabi Ishaq as), dan tentu saja garis ini berlanjut hingga Nabi Adam as. Hanya saja, Al-Qur’an tidak menjelaskan garis keturunan ini secara terperinci. Menurut Bucaille, Al-Qur’an memang terbiasa menjelaskan sejarah secara ‘tidak terperinci’, namun justru ini menjadi kekuatannya. Pasalnya, pada detil-detil itulah nampak jelas kontradiksi-kontradiksi pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tentu saja, bagi umat Muslim, hal penting yang harus dicamkan dari sejarah adalah hikmahnya, bukan detil-detil ceritanya itu sendiri. Ketika umat Nasrani sedunia sempat ‘guncang’ karena film The Da Vinci Code yang menyebarluaskan teori bahwa Yesus adalah manusia (bukan anak Tuhan) yang menikah dan memiliki keturunan sebagaimana manusia lainnya, umat Islam tenang-tenang saja. Apa yang aneh dari seorang Nabi yang hidup hingga usia 30-an dan menikah, bahkan memiliki anak? Sebaliknya, jika kita pikirkan kembali, justru aneh bila ada seorang Nabi yang mengabaikan fitrahnya untuk menikah dan berkeluarga, padahal ia hidup hingga usia yang pantas untuk menikah.
Permasalahan Bibel bersumber dari isu keasliannya itu sendiri. Adanya empat gospel yang sama-sama disebut gospel namun mengatakan hal-hal yang berbeda, bahkan dalam hal-hal tertentu berlawanan, adalah suatu masalah tersendiri yang hingga hari ini begitu sulit untuk dipecahkan oleh kaum cendekiawan di kalangan Nasrani.
Dalam suatu perdebatannya yang begitu inspiratif, kristolog dunia Ahmad Deedat rahimahullaah pernah menampilkan teks sebuah ayat dalam Bibel di sebuah layar yang disaksikan oleh ribuan orang (Nasrani maupun yang bukan) dalam sebuah stadion tertutup. Dalam acara itu hadir pula para pendeta, bahkan Uskup. Ayat itu ditampilkan dan kemudian dibacakan. Salah satu ahli yang diundang mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar ayat itu sebelumnya, sehingga ia tidak bisa mengatakan dengan pasti apakah ia berasal dari Bibel atau bukan. Ahli yang lain merasa pernah mendengarnya, sedangkan rekannya yang satu lagi merasa yakin bahwa kata-kata itu memang berasal dari Bibel, namun ia tidak yakin lokasi pastinya.
Ahmad Deedat pun membuka rahasianya. Kata-kata yang ditampilkan itu memang berasal dari ayat Bibel. Hanya saja, ia telah melakukan modifikasi terhadapnya, yaitu dengan menambahkan beberapa kata ke dalamnya. Fakta bahwa kata-kata itu telah ditambahkan dan tak satupun orang Nasrani di stadion itu – baik yang awam maupun yang ahli – mampu menyadarinya menunjukkan bahwa sebenarnya tak ada satu orang Nasrani pun di dunia ini yang bisa menjamin keaslian Bibel. Jika Ahmad Deedat dapat memalsukannya dalam beberapa menit saja, bagaimana dengan Bibel yang telah beredar hampir dua ribu tahun lamanya?
Masalah yang sama tentu saja tidak dialami oleh umat Muslim, karena umat Muslim di seluruh penjuru dunia berupaya menghapalkan Al-Qur’an sesuai kemampuannya sendiri. Jumlah hafizh Al-Qur’an banyak sekali, sehingga orang tak bisa seenaknya saja mengubah isi Kitab Suci tersebut. Jangankan penambahan yang rumit-rumit, penambahan kata “wa” pada ayat “Ar-Rahmaan Ar-Rahiim” dalam Surah Al-Fatihah saja akan terasa janggal di telinga seluruh anak Muslim usia TK yang orang tuanya memiliki secuil komitmen terhadap Islam. Padahal, dengan pengetahuan seadanya saja, kita mengetahui bahwa makna “Ar-Rahmaan wa Ar-Rahiim” tidak akan terlalu mengubah arti ayat tersebut. Meski demikian, tak ada Muslim yang nekat mengubah-ubah ayat al-Qur’an. Kalau pun ada, insya Allah akan langsung ketahuan dan ditindak.