Bijak Menghukum Anak

Anak berbuat salah itu biasa, terkadang cukup dengan menegurnya ia pun mengerti dan membuatnya bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun adakalanya sebuah kesalahan yang diperbuat oleh anak menjadi tidak dapat diterima karena bersifat fatal sehingga kita pun berpikir untuk memberinya hukuman dengan maksud agar ia jera dan tak mengulangi kesalahan yang sama di masa mendatang. Adalah hal yang wajar jika sebuah kesalahan diganjar dengan sebuah hukuman, meskipun sebetulnya memaafkan itu lebih baik. Memberi hukuman kepada anak yang berbuat salah dapat menjadi sebuah pilihan di kala tujuan kita adalah untuk memberinya pelajaran, bukan untuk menyiksanya. Namun hati-hati, alih-alih membuat anak jera, jika caranya tidak tepat justru membuat anak trauma psikis, bahkan dendam kepada orang tua.

Sebelum berpikir untuk memberikan hukuman kepada anak, hendaklah memperhatikan hal-hal berikut:

Pertama, Buatlah kesepakatan bersama dengan anak tentang hal-hal yang boleh dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Hal ini dapat menjadi dasar yang kuat bagi anak untuk berjuang dan berusaha melakukan apa yang telah disepakati bersama. Penanaman karakter sejak dini akan membantu anak mematuhi norma-norma keluarga meskipun tanpa harus tertulis hitam di atas putih, ia tertanam kuat di dalam jiwanya, sehingga inilah yang akan membuat karakter positif di dalam dirinya memancar sangat kuat. Pahamkan kepada anak tentang konsekuensi logis alamiah dari setiap kesalahan yang dapat dilakukan, misalkan jika bangun terlambat otomatis ia akan ketinggalan bus, terlambat sampai di sekolah, dan seterusnya. Jika ia menghamburkan makanan ringannya, ia akan kehilangan kesempatan menikmati snack pada hari berikutnya karena Ibu tidak akan menambahkan snack dalam daftar belanja bulan ini, dan seterusnya.

Kedua, Jika anak terlanjur berbuat kesalahan, konfirmasikan tentang kesalahan yang telah anak perbuat, seperti mengapa ia melakukan hal tersebut, bisa saja ia melakukan bukan karena sengaja ingin membangkang kepada orang tua, tetapi lebih karena ia penasaran terhadap suatu hal atau terpengaruh oleh teman-temannya. Hal yang wajar jika usia anak hingga remaja memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap sesuatu yang baru. Hal ini mendukung sistem komunikasi terbuka antara anak dan orang tua, anak terdorong untuk menceritakan yang sebenarnya karena percaya kepada orang tuanya.

Ketiga, Agar anak mengerti bahwa orang tua sangat marah dan kecewa atas apa yang telah dilakukannya, maka kemukakan apa yang dirasakan kepada anak. Ini membantu anak untuk mengerti bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak dapat diterima dan membuat kecewa, sehingga timbul perasaan tidak enak dalam diri anak. Katakanlah, “Ibu sangat marah dan kecewa dengan apa yang kamu lakukan”, “Ayah kecewa kamu melakukannya”, dan sejenisnya. Biarkan anak memikirkannya sejenak, tentang apa yang telah diperbuatnya dan juga perasaan anda sebagai orang tuanya.

Keempat, Hendaknya suasana tidak enak seperti itu jangan sampai terbawa lama-lama, artinya, ekspresikan bahwa meskipun anak Anda telah berbuat kesalahan, Anda tetap mencintai dan mendukungnya. Ungkapan ini tidak mesti berupa untaian kalimat, “aku sayang kamu” atau “aku tetap mencintaimu”. Pelukan hangat, senyuman yang tulus dan sebuah ide makan malam bersama di warung/restoran favorit akan menunjukkan bahwa anda tetap mencintainya.

Kelima, Apakah boleh menghukum anak? Kalau saja kita dapat memilih, tentu saja kita akan memilih untuk menghindari hukuman dalam mendidik anak-anak kita. Namun ada beberapa konflik yang sifatnya kasuistik yang tak mampu kita hindari. Dan dalam hal ini rujukan kita adalah kisah-kisah nubuwwah yang Rasulullah wariskan kepada umatnya. Diriwayatkan dari Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al Hakim bahwa Nabi SAW bersabda, “ Suruhlah anak-anakmu melakukan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun; dan pukullah mereka (karena meninggalkannya) ketika mereka berusia sepuluh tahun; dan pisahkanlah tempat tidur mereka”. Dari hadits tersebut apa yang kita pelajari? Ya, dari hadits tersebut Rasulullah secara tersirat menyampaikan bahwa didiklah anak untuk mendirikan shalat sebelum menghukum mereka karena meninggalkannya. Waktu 3 tahun dari tujuh menuju sepuluh tahun bukanlah waktu yang pendek untuk mendidik anak kita tentang kewajiban shalat, maka perhatikanlah, bahwa Rasulullah mendahulukan pendidikan penuh kelembutan dan kasih sayang dan mengakhirkan hukuman, yaitu ketika anak tidak melaksanakan apa yang telah kita ajarkan. Dan pukulan yang dimaksud pun bukanlah pukulan yang menyakiti, bukan pukulan yang meninggalkan bekas hitam kemerah-merahan pada tubuhnya, bukan pukulan yang tujuannya menyiksa, namun sebuah pukulan yang memberikannya pelajaran/hikmah bahwa Meninggalkan shalat adalah sebuah perkara besar yang membuat murka Allah SWT, dan jua orang tua yang telah mendidiknya.

Hendaklah dipahami bahwa hukuman yang dilaksanakan dapat memberikan pelajaran bagi anak, dan melatihnya tentang berpikir sebab-akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Hukuman sebenarnya tidak berlaku jika kita sudah berdiskusi dengan anak tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, namun jika ia melanggarnya itu berarti ia sudah siap dengan konsekuensi yang telah ada. Hukuman keras seperti membentak, mencaci, atau pukulan di pantat seringkali tidak efektif dan justru menjauhkan anak dari sikap patuh dan penyesalan atas apa yang diperbuatnya. Apakah berarti hukuman fisik dapat mempengaruhi hubungan anak-orang tua atau harga diri sang anak? Mungkin saja tidak, namun banyak ahli yang merasa tidak nyaman untuk merekomendasikannya sebagai alat pendisiplinan anak, lagipula hukuman fisik sebenarnya tidak perlu kita terapkan selama masih ada cara efektif yang lain.