Seorang yang dipanggil “Buya” berasal dari ranah ini, tertawa mendengarkan ada yang mengharamkan ucapan “Selamat Natal” bagi kaum Muslimin.
Saya juga tersenyum membacanya, karena memang itu yang bisa dilakukannya: tertawa, mencemooh dan melontarkan cap “picik” kepada orang yang berbeda dengannya.
Karena tak ada bahan baginya untuk menganalisa kajian fiqh apalagi tafsir. Setiap persoalan agama, hanya dipandang dari sudut sosial dan politik yang berlandaskan kepada penyerahan diri kepada realita walaupun menyimpang. Itu lah yang mereka sebut realistis!?
Tak usah heran! Bagi mereka, konsistensi dalam bersikap tidak akan ditemui. Yang mereka miliki hanya ilmu bersilat lidah yang tak pernah terhambat sedikitpun walaupun mencederai persoalan yang prinsip dalam syari’at Islam.
Lihatlah! Bagaimana mereka menyorakkan pemisahan politik dan kekuasaan dengan agama tapi mereka pergunakan kekuasaan itu untuk menancapkan kuku berbisa pluralisme, liberalisme, relatifisme dan isme-isme lainnya ke dalam tubuh umat Islam.
Kalau dibantah, mereka akan mengelak dengan, “Bukan itu yang kami maksud”, “Anda tidak mengerti dengan istilah tersebut,” dan mereka akan mulai membawa kita ke area perdebatan ilmiah ala mereka seolah-olah kita ini buta tidak bisa melihat apa yang mereka lakukan dalam realita sebenarnya.
“Bersilat lidah” melakukan pembenaran terhadap selera mereka, terus terlihat dengan jelas. Untuk membolehkan ucapan “Selamat Natal”, mereka tak segan berlindung di balik nama besar Yusuf Al Qaradhawi, Wahbah Az Zuhaili, Musthafa Az Zarqa, dan lainnya.
Menggelikan sekali sikap mereka ini. Sikap kritis mereka jadi tumpul bila pernyataan ulama itu sesuai dengan selera mereka namun mereka akan berapi-api membantah bila ulama-ulama itu berfatwa “demokrasi itu bertentangan dengan syura’ yang dijelaskan oleh Islam”. Ulama besar akan kecil bila berbicara tak sesuai selera. Begitu lah sikap para cendikiawan yang berpayung liberalisme dan pluralisme tersebut.
Seharusnya umat ini sudah menyadari bahwa mereka bukanlah orang-orang yang menghormati ulama yang mereka sebutkan itu dan mereka bukan pula orang-orang yang mau berhujjah sebenarnya dengan landasan ajaran Islam. Mereka tak lebih adalah orang-orang yang tunduk kepada realita walupun menyimpang dari kebenaran yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mungkin akan ada pula berkomentar ketika membaca tulisan ini, “Itu tendensius”. Mungkin akan ada yang muncul dengan pernyataan seperti orang bijak, “Saatnya berbicara ‘kita’ bukan berbicara ‘kami’ dan ‘mereka’ karena itu akan memperlebar jurang perbedaan.”
Saya hanya akan menanggapinya dengan “bila hilang keberanian untuk berbeda dalam hak dan bathil maka hilanglah pegangan dalam kehidupan dan jadilah orang hanyut dan lenyap dalam pusaran kehidupan itu. Sekarang memang zamannya seseorang harus berani menyatakan perbedaan walupun akan dituduh aneh bahkan dungu oleh mereka yang merasa pintar”.
Tak perlu berlindung di balik nama besar Al Qaradhawii dan lainnya! Tak perlu pula segan untuk mengatakan tidak setuju dengan pernyataan Al Qaradhawi dan lainnya! Bukankah itu sikap kritis yang Tuan-tuan ajarkan, wahai kaum pluralis!?
Kalau pandangan yang merujuk kepada para imam-imam madzhab saja Tuan-tuan cemoohkan dengan istilah “berfikir fiqh orientik”, kenapa pernyataan Yusuf Al Qaradhawi dan Az Zarqa menjadi azimat bagi Tuan-tuan untuk mengatakan yang sesuai dengan selera Tuan-tuan? Kemana sikap kritis Tuan-tuan selama ini?
Oh ya maaf, saya lupa bahwa Tuan-tuan tak akan mau mengkritisinya atau mungkin tidak mampu karena bagi Tuan-tuan, landasan kritik itu hanya realita dan kepentingan. Mana ada analisis ushul fiqh? Ushul fiqh kan kurungan berfikir yang membuat picik menurut pandangan Tuan-tuan.
Terserah Tuan-tuan lah dalam menggunakan cercaan. Kami tetap akan mengurai simpul fatwa ulama tersebut dengan ilmu alat yang selama ini menjadi kerangka berfikir para ulama. Semoga Tuan-tuan bisa merenungkannya !
Pendapat yang membolehkan ucapan Selamat Hari Natal yang merupakan perayaan atas kelahiran Isa sebagai anak tuhan, biasanya dilandaskan kepada firman Allah Subhanahu wa Taala ayat 8 surat Al Mumtahanah yang tidak melarang seorang Suslim memperlakukan Non Muslim dengan baik selama mereka tidak memerangi kaum muslimin.
[arabtext]لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ[/arabtext]
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”(QS. al-Mumtahanah 60:8)
Penafsiran yang digunakan untuk menguatkan pendapat mereka , biasanya bergerak dari perbedaan antara “al-birr” dalam kalimat تَبَرُّوهُمْ pada ayat di atas dengan kalimat “al-wudd” dalam kalimat يُوَادُّونَ pada ayat 22 surat al-Mujadilah. Penjelasan Imam Al-Qarafiy dalam kitab Al Furuq, juga digunakan sebagai pembenaran kesimpulan mereka yang berujung kepada, “Mengucapkan selamat Natal hanyalah sekedar basa basi (mujamalah) dan merupakan bagian dari “al-birru”(bersikap baik) asal tidak ada rasa kasih sayang atau “mawaddah” dengan mereka.”
Namun sayang, mereka melupakan bahwa al-birru adalah wasilah yang sangat dekat kepada “mawaddah” dan “mawaddah” merupakan perbuatan hati yang tidak bisa dibaca melainkan dengan sikap zhahir. Dengan demikian, maka “mawaddah” tidaklah bisa menjadi ‘illat hukum karena tidak terukur bila kita merujuk kepada kajian Ushul al-Fiqh (madzhab al-mutakallimin). Karena itulah makanya Allah Subhanahu wa Taala menyebutkan dua sabab zhahir yang menjadi alasan boleh bersikap baik yaitu “tidak memerangi” dan “tidak menyingkirkan” kaum Muslimin.
Nah di sini, perlu dijawab oleh Tuan-tuan yang mendapat gelar cendikiawan dan juga panggilan keulamaan, “Apakah non muslim di Indonesia, termasuk dalam kategori tersebut?”. Jawablah dengan mata terbuka! Bagaimana setiap saat mereka mengintai titik lemah umat ini untuk dimanfaatkan? Pemurtadan, perang urat syaraf, perusakan aqidah dan serangan dalam bentuk politik kekuasaan kepada umat ini mereka lancarkan bertubi-tubi di bawah payung yang tuan-tuan sediakan yaitu “pluralisme”. Bahkan kalau kita mau merenung, seperti tidak ada nilainya kemayoritasan umat di negara ini!
Alangkah jauhnya tathbiq (penerapan) fatwa para ulama seperti Al Qaradhawiy, Wahbah AzZuhaili, dan lain-lain untuk kasus indonesia. Dan malah secara khusus, saya sangat tidak sependapat dengan para ulama itu, bila itu berlaku secara muthlaq di negara yang mayoritas Muslim. Bila fatwa itu digunakan di tengah umat Islam yang minoritas sebagai salah satu uslub dakwah, itu mungkin masih bisa diterima walaupun tetap bukanlah pendapat yang kuat.
Kemudian perlu dipertimbangkan juga sabab turun ayat 8 surat al-mumtahanah itu. Kasus Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anha dengan Ibunya yang musyrik, membuat sebagian ahli tafsir memahami bahwa makna تَبَرُّوهُمْ itu adalah shilatur rahim. Jadi tidak bisa diberlakukan secara umum.
Alasan berikutnya dari Tuan-tuan yang membolehkan mengucapkan “selamat natal” atau sejenisnya kepada orang kafir adalah mengeluarkan ucapan selamat Natal dari makna “tasyabbuh” yang terdapat dalam hadits:
[arabtext]من تشبه بقوم فهو منهم[/arabtext]
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum itu”. (HR. Abu Daud, Ahmad dari Ibnu ‘Umar ra)
Suatu istinbath yang aneh dan terkesan sekali mencari pembenaran, bukan kebenaran. Bagaimana pengecualian seperti itu datang begitu saja tanpa dalil ? Itulah yang dinamakan dalam ilmu ushul al-fiqh dengan:
[arabtext]التخصيص بغير مخصص[/arabtext]
“Pengkhususan tanpa ada (dalil) yang mengkhususkan”
Karena itulah, kita lihat para ulama menafsirkan ayat itu tanpa ada pengecualian “tasyabbuh” baik perbuatan maupun perkataan. Apalagi larangan bertasyabbuh dalam perkataan telah dinyatakan oleh firman Allah:
[arabtext]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ[/arabtext]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih”. (QS. al-Baqarah 2:104)
Lihatlah penjelasan Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat tersebut!
[arabtext]نهى الله تعالى عباده المؤمنين أن يتشبهوا بالكافرين في مقالهم وفعالهم [/arabtext]
“Allah ta’ala melarang hamba-hambanya yang beriman untuk menyerupai orang-orang kafir dalam pembicaraan dan perbuatan mereka “. (Lihat juga Al-Mishbah al-Munir fi Tahzibi Tafsir Ibn Katsir – al-Syaikh Khalid Ibn ‘Utsman al-Sabt)
Nah, tinggallah alasan “realita yang terjadi saat ini” menjadi tameng terakhir untuk membolehkan ucapan selamat Natal.
Untuk menjelaskan itu, saya cukup bertanya saja, apakah perlunya ucapan selamat natal itu bagi kaum Nashrani? Apakah tanpa ucapan itu dari kaum muslimin, orang-orang Nashrani merasa kurang asyik dalam menikmati hari raya mereka? Apa untungnya untuk umat Islam? Apakah tanpa itu, hubungan sesama anak bangsa akan rusak?
Dan ada lagi alasan yang sangat lucu yaitu: Tidak masalah mengucapkannya asal tidak meyakini dan membenarkan maknanya. Semenjak kapan seorang muslim disuruh demikian kalau tidak ada alasan yang dharurat? Tak perlu berhujjah dengan hadits mujamalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena itu tidak terkait dengan perayaan ibadah yang tegak di atas keyakinan syirik!
Renungkanlah wahai umat Islam, betapa jauh kita sudah terseret dengan mengikuti cara-cara mereka. Bukankah dahulu mulanya dari ucapan selamat kemudian perayaan seremonial negara kemudian do’a bersama kemudian natal bersama kemudian atribut santa dan seterusnya.
Apa yang mereka tuju dari semua itu? Dengarkan peryataan mereka melalui salah seorang Kristen yang menjadi manager suatu peruahaan makanan cepat saji: “Karyawan muslim yang mau memakai atribut Natal tidak perlu dipermasalahkan dan tak bisa dilarang. “Kalau dari hatinya welcome, ya gak apa-apa pakai atribut natal. Masa saya larang?” ujarnya”. (Islam Pos 29 Shafar 1436 H)
Dan perhatikan pula sikap umat Islam! Mulai dari ucapan selamat-selamat kemudian ikut acara-acaraan dan bahkan terseret jadi penggiat kegiatan. Itulah yang terjadi pada acara tahun baru, valentine dll.
Alangkah naifnya seseorang yang telah diingatkan oleh pernyataan pahit di hadapannya tapi belum juga terperingatkan. Apakah karena ghairah terhadap Islam yang telah hilang sehingga semua perbuatan orang kafir harus di lihat dengan husnuz zhann dan penyataan ulama yang mengingatkan, harus dihadapi dengan cercaan.
Apakah tidak cukup berbagai kenyataan itu untuk mendorong berlakunya dalil sad al-dzari’ah (سد الذريعة)? Apakah tidak cukup yang terjadi di lapangan menjadi alasan untuk menggunakan kaedah menolak kemafsadatan lebih didahulukan dari meraih kemashlahatan (درء المفاسد مقدم على جلب المصالح)?
Kalau belum juga, berarti Tuan-tuan bukanlah orang yang bertasamuh (bertoleransi) tapi adalah pecundang yang telah kehilangan jati diri sebagai muslim.
Akhirnya, saya hanya bisa mengingatkan, bukalah mata tuan-tuan untuk merenungkan bukti kebenaran sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
[arabtext]عن أبي سعيد الخدري قال ، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لتتبعن سنن الذين من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا في حجر ضب لاتبعتموهم ، قلنا : يا رسول الله ، اليهود والنصارى؟ قال : فمن[/arabtext]
“Dari Abu Sa’id al Khudri ra, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Kalian akan mengikuti jejak langkah umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga jikalau mereka masuk ke lubang biawak pun kalian akan mengikuti mereka.”
Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Yahudi dan Nasrani yang engkau maksudkan?”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab,“Siapa lagi kalau bukan mereka?” ( HR. Muslim)
Ala.. qad ballaghtu, Allahumma fasyhad.
Saya tutup dengan:
[arabtext] إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلاَّ بِاللّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ[/arabtext]
“…Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali”. (QS. Hud 11:88)