Sabtu (21/4/2012) Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) kembali menggelar diskusi dwisabtuan spesial. Dikatakan spesial karena diisi dengan agenda bedah buku Akmal Sjafril, S.T, M. Pd.I berjudul “Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme”. Penulis yang akrab dipanggil Bang Akmal ini memang baru saja meluncurkan buku terbarunya tersebut pada tanggal 20 Maret 2012 lalu. Nama beliau sebelumnya dikenal sebagai penulis buku “Islam Liberal 101”, sebuah buku yang cukup dicari masyarakat pencinta ilmu. Hingga saat ini kabarnya buku tersebut sudah dicetak empat kali. Sehingga, ini menjadi hal yang menarik sekali jika kemudian beliau memutuskan membuat buku baru. Lalu, mengapa buku seputar Buya Hamka ini beliau tulis? Apa saja yang dibahas di dalamnya? Mari kita simak bersama uraian berikut.
Tentu H. Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981 M) atau yang akrab disapa Hamka atau Buya Hamka (karena beliau seorang Minang) merupakan figur yang luar biasa. Ulama, penulis, pendidik, jurnalis, sastrawan, politikus, dan sederet peran penting lainnya pernah beliau emban. Kredibilitas dari tiap karya ketua MUI pertama ini kesohor hingga negeri tetangga. Tak heran jika kemudian ada pihak-pihak yang berusaha menggunakan nama sosok yang baru disahkan sebagai pahlawan nasional Indonesia di tahun 2011 itu sebagai tameng untuk menyebarkan paham-paham menyimpang.
Adalah tulisan A.Syafi’i Ma’arif berjudul “Hamka tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah” yang menjadi awal permasalahan itu. Yaitu, permasalahan seputar pencatutan nama besar Buya Hamka untuk melegalkan pluralisme. Sebuah paham yang akhirnya makin santer terdengar gaungnya dewasa ini. Dalam artikel yang dimuat di rubrik Resonansi Harian Umum Republika edisi 21 November 2006 itu setidaknya mengandung tiga ‘kelalaian’ (jika tidak ingin disebut kesalahan) yang sangat fatal. Pertama, ketidakcocokan konteks yang digunakan antara tafsiran Buya Hamka dan tulisan Syafi’i Ma’arif. Kedua, tidak dijumpai penjelasan mengenai definisi Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in yang sebenarnya dibahas tuntas oleh Hamka dalam tafsir Al-Azhar karya beliau. Dan ketiga ialah Syafi’i Ma’arif tidak menyertakan bagian paragraf penting dalam tafsir Al-Azhar. Padahal, ketika kita membaca bagian paragraf tersebut secara total, akan jauh sekali dengan apa yang digambarkan Syafi’i Ma’arif dengan arah tafsir Al-Azhar.
Untuk lebih memperjelas, demikian terjemahan kedua surat dalam Al-Qur’an yang dipaksa menjadi pembenaran pluralisme tersebut:
“Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi’in, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shalih, maka untuk mereka adalah ganjaran dari sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita.” (Al-Baqarah: 62)
“Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Maidah: 69)
Sangat riskan sekali jika makna kedua ayat tersebut didekonstruksi tafsirannya. Padahal, setelah dengan panjang lebar Hamka membahasnya, di bagian akhir beliau menyatakan:
“Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak.”
Artinya, beliau sudah mengkunci mati bahwa orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in zaman sekarang tidak bisa masuk dalam kategori di dua ayat Al-Qur’an tersebut. Ayat tersebut berlaku untuk mereka yang hidup sebelum risalah kenabian Rasulullah Muhammad SAW turun. Bukankah saat ini syi’ar Islam sudah sangat mudah dijumpai di hampir seluruh belahan dunia? Belum lagi media massa yang turut andil menyuarakan dakwah Islam tak terhitung jumlahnya. Sehingga tidak logis jika masih ada anggapan mereka tidak menerima keterangan apapun tentang Islam. Kesimpulan ini yang kemudian diputarbalikkan oleh Syaf’i Ma’arif. Kesan bahwa Hamka itu pluralis pun akhirnya menyeruak ke ruang publik. Akibatnya, beberapa seminar dan simposium digelar dan dengan tanpa segan menyematkan embel-embel pluralis kepada Sang Buya. Dan tidak mustahil itu akan berlarut-larut jika tidak dihentikan. Itulah yang kemudian mendorong Bang Akmal membukukan wacana yang awalnya berupa Tesis Magister Pendidikan Agama Islam di Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor miliknya itu.
Selain karena munculnya artikel yang pernah membuat pro dan kontra di tubuh Republika tersebut, setidaknya ada tiga alasan mengapa alumnus S1 Fakultas Teknik ITB ini memutuskan menulis buku tersebut. Dari ketiga latar belakang itu, beliau menyatakan alasan sebagai pembuka wacana penggalian kembali warisan intelektual Buya Hamka ialah yang paling utama. Ya, ini tak berlebihan. Mengingat saat ini karya beliau yang sangat kaya dan ‘bergizi’ sudah sepi dibicarakan. Buku-buku Hamka pun sulit dicari di negeri tempat lahir ulama kharismatik ini. Padahal di negeri tetangga seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura kita dengan mudah kita bisa menjumpai buku-buku beliau di toko buku. Amat sayang rasanya kalau kita menyia-nyiakan warisan yang tak ternilai harganya itu. Terlebih lagi banyak karya beliau yang ternyata masih kompatibel dijadikan sebagai landasan dalam bertoleransi, memegang prinsip, dan seputar pemikiran serta aliran menyimpang yang sering menjadi wacana kekinian.
Masuk lebih dalam lagi, Bang Akmal menguliti satu demi satu aliran pluralisme yang ada. Menurutnya, ini penting dilakukan supaya di kemudian hari tak ada klaim tak ilmiah yang menyatakan Hamka itu pluralis. Di antara paham pluralisme yang dibahas ialah humanisme sekuler, teologi global, sinkretisme, hikmah abadi, dan teosofi-freemasonry. Di antara aliran-aliran tersebu, tak ada satu pun aliran yang cocok pemikirannya dengan Hamka. Justru dalam banyak tulisannya tergambar gamblang bahwa semua paham tersebut sangat berseberangan dengan apa yang Hamka yakini. Dan masih ada beberapa pembahasan seputar pluralisme dan bagaimana sebenarnya pemikiran Hamka dalam buku ini.
Usai memaparkan dasar pemikiran dan garis besar apa yang dibahas dalam bukunya, sesi tanya-jawab dan diskusi pun dibuka. Seperti biasa banyak terlihat peserta yang mengangkat jari tangannya. Satu demi satu wacana dari peserta masuk menambah seru suasana diskusi. Semua wacana tersebut semakin mengukuhkan bahwa dampak pluralisme sudah menyentuh tataran grassroot. Sehingga, ini menjadi hal yang mendesak walaupun belum tentu masyarakat paham wacana yang masih dianggap elitis ini. Akhirnya, semoga dengan kehadiran buku ini turut bisa menyadarkan masyarakat umum bahwa perkara pluralisme bukan hal remeh.
Oleh: Nur Afilin, Jakarta Selatan
Aktivis KAMMI Komisariat Madani