Book Now, Reality Later
First Song, Then Behavior
Keluarga kami suka sekali menyanyi. Saya ingat satu kejadian waktu saya masih SMP di Magelang. Waktu itu pulang sekolah, kami berempat berkumpul di kamar mama. Bernyanyi segala macam lagu, kadang diselingi adik laki-laki saya baca puisi, puisi kesukaannya Gunung Galunggung. Kami bukan keluarga dengan suara yang pelan, jadi kalau bernyanyi, bayangkan saja kerasnya. And I really did enjoy those moments. Sekitar setengah jam kami bernyanyi, tiba-tiba ada suara orang di garasi, yang lokasinya dekat sekali dengan kamar mama. Ternyata yang datang kakak kelas saya.
Bernyanyi adalah aktivitas favorit di keluarga kami hingga sekarang, selain membaca buku dan bertukar cerita di meja makan. Ya, dari dulu sejak saya kecil, pulang sekolah adalah waktunya bertukar cerita. Seru, sambil makan siang, cerita-cerita. Setelah itu, istirahat siang sambil baca buku. Kami berempat punya favorit buku yang berbeda. Saya suka sekali Lima Sekawan. Adek saya Ino paling suka buku? Kalau Iya favoritnya Hawkey & Collins. Cicis masih terlalu kecil waktu itu. Saya dan Iya juga suka serial Mallory Towers.
Hampir setiap hari Minggu kami pergi ke toko buku. Begitu sampai Gramedia, kami bertiga ditambah mama dan papa berpencar. Masing-masing sibuk dengan raknya sendiri-sendiri. Di akhir waktu yang sudah disepakati, masing-masing dari kami membawa beberapa buku pilihan ke mama. Mama yang memutuskan serial mana yang boleh kami baca dan serial mana yang tidak boleh. Soal judul, kami bebas memilih yang mana saja, yang penting serialnya sudah di-approve dulu oleh mama. Waktu itu saya heran, karena saya tahu, teman-teman saya sering pergi ke toko buku tanpa orang-tuanya, dan buku-buku yang mereka beli, beda sekali dengan buku-buku yang di-approve mama saya.
Kemudian saya berkenalan dengan NLP. Hypnosis. Metaphor. Kemudian saya berpelukan dengan kehangatannya sub-conscious communication. Metaphor, sebut saja cerita, cerita apa pun, memiliki super power dalam menanamkan value pada anak-anak. Perhatikan saja. Anda dengan mudah menemukan contohnya pada anak Anda kan?
Metaphor -metafora- atau cerita memiliki kekuatan dahsyat membangun pondasi moral anak-anak. Mengapa? Karena anak berkomunikasi langsung dengan tokoh-tokoh yang emotionally attach dengan mereka. Pada usia berapa pun, individu ingin meniru perilaku role modelnya. Dan pada anak-anak, bacaan-lah yang jadi role model terdekat mereka atau dalam kasus yang lain digantikan TV, video dan bahkan play-station. Lepas dari orang-orang di sekeliling mereka, tokoh-tokoh dalam buku itu, berwujud 3 dimensi dalam alam pikiran anak-anak, dan dalam film pribadi mereka, tokoh itu berbicara langsung dengannya.
Bayangkan anak Anda sedang membaca Cinderella. Tepat pada adegan,
”Dan upik abu pun bersedih. Dia menangis karena tidak bisa pergi ke pesta. Dia menangis karena tidak memiliki baju pesta seperti putri-putri lainnya.”
Sekarang bayangkan adegannya diganti,
”Dan upik abu pun bersedih. Dia tidak bisa berkumpul dengan teman-temannya di pesta. Namun tidak lama. Dia lalu berdiri di depan kaca dan berkata, ”Aku tetap putri yang cantik. Dengan atau tanpa gaun.” Cinderella kemudian memutuskan untuk berpesta sendiri di kamarnya.”
Bagaimana menurut ayah dan ibu? Terasa bedanya kah? Pada bacaan yang pertama. Anak Anda belajar tentang menghubungkan perasaan sedih, menangis dan tidak adanya baju pesta. Sementara pada adegan yang terakhir, anak Anda tenggelam dalam pemahaman tentang ”cantik” tanpa dihubungkan dengan gaun. Nah, sekarang Anda yang pilih adegannya.
Saya teringat juga pada lagu-lagu masa kecil saya, “Kakak Mia”, “naik kereta api”, “balonku ada 5”, “Amrin”, “Si kancil”, belakangan saya nyanyikan lagi buat Genta. Sambil bernyanyi, saya baru sadar ternyata ada kata-kata yang kurang pas rasanya. Coba yuk kita berselancar.
Kakak Mia, kakak Mia, minta anak barang seorang. Kalau dapat, kalau dapat, hendak saya suruh berdagang.
Naik kereta api, tut tut tut. Siapa hendak turut… Marilah naik dengan percuma.
Balonku ada 5… Meletus balon hijau, hatiku sangat kacau.
Amrin membolos. Kata bu guru, jangan membolos. Nanti…
Si kancil anak nakal, suka mencuri ketimun. Ayo lekas dikurung, jangan diberi ampun.
Sejak saat itu, saat saya menyanyikan lagu-lagu itu dengan sadar, saya memutuskan, beberapa lagu anak tidak akan saya nyanyikan lagi. Saya ingin Genta tumbuh dengan pemahaman yang berbeda dengan yang diberikan lagu-lagu itu. Bisa jadi secara melodi, lagunya menyenangkan. Namun saya belajar, kata-kata yang disampaikan terus menerus, dipercaya kebenarannya oleh anak. Dan saya mau Genta naik kereta setelah membayar tiketnya.
Sekarang saya sering menyanyikan lagu ”You are special, you’re the only one, you’re the only one like you. There isn’t another in this whole wide world who can do the things you do. Cause you are special. Special. Everyone is special. Everyone in his or her own way…”
Jelas, saya mau Genta merasa dirinya spesial. Dan saya mau Genta bisa melihat keunikan setiap orang. So, the song is right for me. Ayah, bunda, silakan pilih lagu yang sesuai ya?
Soal cerita? Saya suka buku-buku tentang kemandirian. “Aku bisa mandi sendiri”, juga buku tentang kasih sayang, “aku sayang Mio”, “aku sayang bibi”. Buku pengetahuan tentunya juga, tentang recycle, robot, badan manusia, dll. Intinya, sekarang saya bertindak seperti mama saya waktu itu. Saya harus meng-approve dulu buku-buku yang bakal dibaca Genta. Sampai kapan? Sampai saya yakin Genta bisa memilih sendiri bukunya.
Siapa bilang pendidikan tanggung jawab pemerintah?
Pendidikan ya tanggung jawab orang tua dong.
Oleh: Fanny Herdina, Jakarta.
Blog