Perisai dan Pedang Umat Muslim (5)

Teruntuk kita yang masih jauh dari rasa ikhlas

Ikhlas berarti Lillahi ta’ala

Keheranan sempat menyelimuti umat Muslim ketika Khalid bin Walid radhiyallahu ’anhu mau-maunya bertempur di bawah komando orang lain, sementara ia diturunkan dari jabatannya sebagai panglima oleh Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu. Andai kita jadi Khalid dan diminta berperang dengan kondisi seperti itu, mungkin kita akan berkata, “Lha kok enak!”. Namun Khalid punya jawaban lain, “Aku berperang bukan karena Umar. Aku berperang karena Allah!”. Itulah jawaban seorang Mujahid yang meninggal di atas ranjang, bukan di medan perang. Ikhlas dan berjiwa ksatria.

Ketika seorang Muslim ikhlas menjalani suatu pekerjaan, pastilah langkah yang ia ambil terasa sangat ringan. Sampai-sampai ia merasa tiada sesuatu pun yang menghalangi langkahnya. Pada saat ia mendapatkan dorongan untuk berbuat sesuatu, yang diharapkan hanyalah ridha Allah semata. Jika orientasinya sudah lillahi ta’ala, hal apa yang bisa menghalanginya? Tidak ada!

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.’” (QS. Al-An’am [6]:162)

Ada contoh lain. Tentu kita bertanya-tanya, bagaimana pelaku teroris mau mengorbankan jiwa mereka untuk menjadi ‘bom hidup’, sedangkan nyawa adalah taruhannya? Bukan berarti saya setuju dengan tindakan mereka. Hanya saja kita perlu tahu bagaimana jiwa mereka terbentuk, sampai niat mereka bisa terealisasi.

Sebagaimana kita ketahui, di benak mereka telah ditanamkan doktrin bahwa tindakan pengeboman itu akan diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan bisa membuat mereka mati syahid. Dengan doktrin ini mereka tak ragu lagi ketika harus melakukan ‘eksekusi’ pada target. Sekali lagi bukan berarti saya setuju dengan tindakan mereka. Saya hanya memberikan contoh.

Maaf, kalau contohnya terlalu ekstrim. Tetapi setidaknya dengan mengambil contoh nyata di sekitar kita, pembaca akan lebih paham dengan maksud yang ingin saya sampaikan. Sebenarnya saya ingin mengambil Palestina sebagai model. Namun takutnya kalau saya mengambil contoh jihad di sana, pembaca malah sulit membayangkan. Padahal sejatinya, medan jihad di sanalah yang lebih layak untuk dijadikan contoh keikhlasan seorang Muslim dalam menjalani hari-hari penuh masalah dan cobaan. Sehingga kita bisa belajar, bahwa ikhlas berarti lillahi ta’ala.

Bersambung