Bagi para pengamat jarak jauh yang melihat prosesi penyelenggaraan UN barang kali akan menyaksikan pemandangan yang keren dan hebat. Mulai dari karantina pembuat soal, pengawalan ketat polisi sampai ke sekolah, gudang penyimpanan soal yang tersegel kokoh, kertas soal yang tersegal rapih, sampai pertukaran pengawasan ketika hari H nya, seolah-olah semua berjalan dengan baik, tidak ada kebocoran.
Tetapi bagi para pelaksana lapangan, ini menjadi hiburan, penuh dagelan seperti hiburan ketoprak. Mungkin kita bisa terkencing-kencing melihat betapa lucunya negeri ini dalam penyelenggaran UN. Tidak perlu penulis sebut bagaimana trik, kiat, cara cara lihai dan licik serta di lini mana saja kebocoran itu bisa terjadi, bukan saja masih terjadi, tetapi semakin sistematis. Sekedar untuk memancing para pejabat mercusuar yang tidak mau tahu atau pura-pura tidak tahu. Sehingga persoalan TST ini, tidak perlu penulis rinci agar kita semua terangsang untuk mencari tahu, kaya apa prosesi UN ditahun-tahun berikutnya.
Sekedar memberikan satu teka-teki, sabagai suatu contoh saja ketika UN matematika bisa dikerjakan dalam waktu 30 menit, kertas buram (untuk corat coret) yang disediakan masih kosong, tidak ada corat coretnya? Ini apa artinya? Sementara siswa yang masing ingin kejujuran, mengatakan bawa waktu 120 menit rasanya masih kurang, kertas corat-coretpun tambah dari jatah yang disediakan. Adalagi kisah para siswa tidak pelu menulis jawabanya, cukup tulis nama dan data pribadinya. Adalagi yang lebih kocak ada pesantren penghafal model baru, bukan menghafal Quran, tetapi menghafal abcd kunci jawaban serta kode lembar soal karena malam sebelumnya sudah menerima kunci.
Menjadi sebuah tragedi, kesedihan dan duka cita yang sangat dalam jika ini terus menerus dibiarkan terjadi. Bagaimana tidak jika yang ikut terlibat ternyata juga guru-gurunya. Berarti kita membiarkan ikut menghancurkan moralitas anak bangsa secara masal dan masif, kita tengah menyiapkan generasi para koruptor baru, jauh lebih pandai, lihay dan lebih licik nantinya. Kita juga tengah menyiapkan pembenihan bibit Ideologi atheisme yang tidak lagi mau tahu dengan ada Yang Maha Melihat, Sudah tidak peduli akan pengawasan Allah.
Bangsa ini sedang membuat kurburan masal untuk satu kata yaitu “kejujuran”. Kalau dalam ekonomi dan politik kita juga sudah tahu begitulah keadaanya, kini benteng terakhir yaitu pendidikan ternyata juga tidak menyediakan tempat untuk “jujur” maka pertanda negara ini sudah menjelang kiamat.
Bertahun tahun kita mendidik anak dengan segala jerih payah yang sudah kita lakukan, dengan harapan lahirlah generasi yang menjunjung tinggi moralitas. Bangsa ini sudah memiliki banyak orang pintar dan trampil. Kekurangan bangsa ini hanyalah orang jujur, yang diperlukan bangsa ini adalah orang-orang yang bermoral. Hanya dengan cara ini bangsa bisa kita selamatkan. Tetapi apa jadinya jika dipenghujung masa belajar kita hancurkan bangunan yang sudah kita kerjakan bertahun tahun. Begitu beraninya tanpa beban, tanpa merasa berdosa ketika mengajak siswa untuk mengakhiri masa belajarnya dengan cara su’ul khotimah.
Bagi si guru bisa berkurang beban moralnya, atau perasaan dosanya jika mendapat intruksi dari atasannya dengan alasan menjaga nama sekolah. Seterusnya pihak sekolah merasa berkurang beban dosanya ketika mendapat isyarat (intruksi halus) dari atasanya lagi untuk menjaga nama Kota atau kabupaten dan seterusnya. Bukankah ini akhirnya jadi sistemik dan sistematis?
Sedemikian kerdil dan hina jika cuma gara-gara perlombaan nilai tertinggi antar kota atau provinsi, kemudian dibentuk “Tim Sukses UN” yang punya agenda hidden dan sudah jadi pengetahuan umum.
Lalu bagaimana jadinya jika setiap bentuk kelicikan, penipuan, ketidak jujuran menjadi supermasi dalam kehidupan berbangsa. Inilaha kiamat yang sesungguhnya.
Kita menyaksikan para siswa melakukan aksi irrasional bahkan sangat berlebihan, mencorat coret apa saja, ketika melampiaskan kegembiraannya setelah melihat hasil pengumuman UN. Tidak peduli hasil UN itu didapat dari mana yang penting hari itu menjadi hari yang paling bahagia. Jika ditanya lebih dalam, apanya yang menjadi faktor kebahagiaan, proses atau hasil? Kalau prosesnya dapat dari bocoran, maka hasilnyapun bukan dari hasil jerih payah belajar bertahun tahun. Tetapi hasil jerih payah sinterklas “Tim Sukses UN”. Semakin limbung lagi bagi yang masih punya hati nurani.