Innamal mukminu na ikhwah. Sesama mukmin itu bersaudara. Seperti yang dijelaskan di catatan sebelumnya kenapa kok memakai kata mukmin, bukan muslim? Persaudaraan yang diikat oleh akidah atau kepercayaan, itu dapat lebih abadi kalau kita benar-benar memahaminya. Pernahkah mendengar cerita Salman Al Farisi? Seorang Majusi yang kemudian berpindah agama menjadi Kristen karena melihat cara beribadah Kristen yang sangatlah baik untuknya. Lalu berpindah-pindah pendeta karena pendeta sebelumnya sudah wafat. Namun ketika pendeta terakhir mau wafat, Salman disuruh pergi menuju tempat yang dipenuhi pohon kurma, disana telah lahir seorang Rasul yang membawa Syafaat untuk seluruh ummat di dunia.
Lalu sepeninggal pendeta itu, salman memenuhi panggilan itu, panggilan untuk mencari Rasulullah. Benar saja, Salman bertemu dengan Rasulullah lalu menyatakan keislamannya secara kaffah. Dan Salman menjadi salah satu shahabat terdekat Rasulullah. Peran Salman sangatlah besar untuk ummat ini. Ketika ummat ini hanya berada di daerah yang sangat kecil, yaitu Madinah Al-Mukarromah, musuh-musuh Islam di luar daerah itu bersatu untuk menghancurkan Madinah tempat dimana ummat muslim baru saja berhijrah. Musuh-musuh besar yang mengelilingi kota Madinah ini siap untuk meluluhlantakkan Madinah.
Bisa dibayangkan kalau sekarang seluruh negara-negara besar di dunia seperti AS, Australia, China, Jepang dan India menyerbu Indonesia. Pasti kewalahan untuk menghadapinya. Namun Salman mempunyai ide yang sangatlah tidak biasa bagi orang Muhajirin maupun Anshar. Membuat parit yang mengelilingi kota Madinah. Parit yang dibuat tidak hanya sekedar parit, parit ini sangatlah besar, bahkan kalau orang yang masuk kedalamnya, walaupun saling menjunjung agar bisa sampai ke permukaan, tidak akan sanggup. Sementara lebarnya, kuda saja tidak dapat melewatinya. Bisa dibayangkan betapa cerdiknya generasi-generasi unggul yang dilahirkan dari rahim ukhuwah. Seorang Majusi yang berubah total menjadi Kristen, namun setelah datangnya Islam dia langsung menyambutnya dengan segera dan menyatakan keislamannya.
Generasi terbaik kala itu tidak langsung dilahirkan oleh orang Islam, sama halnya dengan sekarang, hanya berbeda tipis. Generasi terbaik saat ini kebanyakan lahir dari mereka yang ketika menginjak SMA adalah orang-orang ammah, namun ketika berada di kuliah dan mengenal dakwah, mereka akan menjadi generasi-generasi pembaharu, sangat berbeda dengan orang yang sudah merasa mempunyai banyak ilmu, sehingga kebanyakan ketika kuliah susah untuk diajak berdakwah, sehingga susah juga untuk menjadi generasi pembaharu.
Padahal masa-masa kuliah adalah masa yang paling menentukan untuk ke depannya. Banyak yang ketika masih menjadi siswa adalah orang-orang yang biasa bahkan sangat jauh dari kebaikan, namun ketika kuliah, dia sangat dekat sekali dengan kebaikan. Tidak jarang juga mereka yang ketika menjadi siswa sangat dekat dengan kebaikan, tapi ketika menjadi mahasiswa, seakan-akan kebaikan itu terasa jauh. Lingkungan yang tidak mendukung disertai teman-teman yang lebih menyukai duniawi. Atau terkadang disebabkan rasa puas ketika masih menjadi siswa telah melaksanakan banyak kebaikan, lalu buah kebaikan yang dilaksanakan diambil ketika kuliah, sehingga ketika kuliah malah menjadi jauh dari kebaikan karena kepuasan tersebut.
Sangat miris ketika terjadi seperti itu. Padahal kebaikan yang kita lakukan tidak akan pernah habis, sekalipun sudah menjaid mahasiswa, atau bahkan sudah menikah. Ketika ada yang merasa capek dengan dakwah yang terlalu berat, lalu bertanya, ”Kapankah kita akan beristirahat?”. Maka jawablah, ”kita akan beristirahat ketika kaki kita sudah menginjak jannah-Nya”
Jannah, sebuah tempat yang sangat diinginkan oleh setiap orang, namun keinginan tidak sesuai dengan usaha hanya akan berakibat omong kosong belaka. Ibarat mimpi tanpa aksi, yah yang didapat hanyalah khayalan tanpa tindakan. Oleh karena, menjadi orang pintar itu wajib, tapi jangan merasa diri ini paling pintar. Menjadi ‘alim itu juga penting, namun jangan merasa diri ini paling ‘alim sehingga apa yang orang lain perbuat selalu salah dimatanya.
Kembali lagi ke konteks ukhuwah. Saling mengingatkan kondisi saudara di sebelah kita merupakan sebuah kewajiban mutlak kita, ibarat tubuh, ketika salah satu bagian sakit, maka bagian yang lain akan merasakan sakit yang sama. Sama halnya ketika mata sedang kemasukan debu, maka tangan siap untuk melindunginya. Seperti itulah ukhuwah, sangat erat, dekat, cepat, serta saling mengerti satu sama lain. Bukan berjalan sendiri-sendiri. Tidak saling menyombongkan dirinya.
Apa yang terjadi ketika jempol menyombongkan dirinya karena dia lah yang terhebat. Jempol digunakan untuk memberikan tanda dedikasi atas kehebatan seseorang. Lain jempol, lain pula dengan telunjuk, jari telunjuk digunakan untuk menunjuk, kalau tidak ada telunjuk, maka orang tidak akan tahu jalan. Yang selanjutnya adalah jari tengah, dia yang paling tinggi diantara yang lain. Yang keempat adalah jari manis, jari ini digunakan untuk menerima cincin pernikahan. Dan yang terakhir, yang paling mengenaskan adalah kelingking. Selain dialah yang paling kecil, kegunaannya yang lain salah satunya adalah untuk mengecek keberadaan telur di dalam ayam. Karena saking kecilnya lubang telur ayam, maka yang pas masuk hanyalah kelingking. Bayangkan jika jempol yang dimasukkan kesitu? Pasti keesokan harinya si ayam tidak mau bertelur lagi. Apa yang akan terjadi ketika kelima jari tersebut disuruh mengangkat kardus namun masing-masing dari mereka saling menjauh karena sangking sombongnya? Seperti itukah kita?
Kelima jari-jari tersebut memiliki keistimewaan masing-masing, apa yang dimiliki jempol belum tentu dimiliki oleh kelingking, begitu pula sebaliknya. Seharusnya kita dapat mengambil ibrah darisini. Apa yang kita miliki belum tentu dimiliki orang lain, begitu pula selanjutnya. Oleh karena itu dibutuhkan ukhuwah untuk saling mengisi.
Mengemban dakwah bukan tugas satu orang atau dua orang saja, bukan tugas satu kelompok atau dua kelompok saja, bukan tugas satu organisasi atau dua organisasi saja, bukan pula tugas satu kampus atau dua kampus saja, dan juga bukan tugas satu negara atau dua negara saja. Namun ini tugas kita semua. Meninggikan kalimat tauhid yang menyatakan bahwa Tuhan itu satu, yaitu Allah adalah tugas kita semua. Namun seperti itukah kita sekarang? Kita lebih terfokus pada ini hakku, ini hak kamu. Ini kewajibanku, ini kewajiban kamu. Kalau terus-terusan seperti itu tanpa saling menopang, bagaimana Dien ini bisa bersatu? Saling bahu-membahu menjadi peran yang paling penting dalam persaudaraan. Ketika saudara kita bersemangat, kenapa kita tidak?
Oleh: Izzur Rozabi Mumtaz, Malang
Facebook