“The Ohio Mafia”. Frasa itu ditadaruskan oleh Rizal Mallarangeng dalam kata pengantar terjemahan disertasinya, “Mendobrak Sentralisme Ekonomi” (judul asli: “Liberalizing New Order Indonesia: Ideas, Epistemic Community, and Economic Policy Change, 1986-1992”), yang terbit pada 2002 silam. Istilah itu digunakan untuk menyebut dia dan kawan-kawannya yang pernah belajar di Ohio State University (OSU) dan menjadi murid William Liddle. Kalimat lengkap Rizal itu berbunyi: “Saya harap sahabat-sahabat kental ini menyadari bahwa dalam beberapa tahun mendatang akan ada satu atau dua orang di Indonesia yang menyebut mereka, termasuk juga saya, sebagai ‘the Liddle Mafia’, atau paling tidak ‘the Ohio Mafia’.”
Jika kita baca dengan seksama, kalimat itu sebenarnya lebih merupakan sebentuk proklamir, dimana Rizal ingin agar dia dan kawan-kawannya, alumni OSU dan bekas murid-murid Liddle itu, diperhitungkan sebagai salah satu kelompok “mafia” baru di Indonesia, setelah sebelumnya kita hanya mengenal The Berkeley Mafia. Jadi, ini adalah label yang sengaja diproduksi oleh Rizal sendiri. Dan ini berbeda dengan istilah “The Berkeley Mafia”, misalnya, ataupun istilah “Chicago Boys” di Amerika Latin, yang pertama kali ditulis oleh pengamat.
Sebenarnya, kalau kita membaca dengan teliti, disertasi yang ditulis Rizal secara keseluruhan juga sebenarnya merupakan sebentuk proklamir dari sebuah kelompok yang disebutnya sebagai “Komunitas Epistemik Liberal” Indonesia. Di sana ia mengumpulkan nama-nama seperti Goenawan Mohamad, M. Sadli, Fikri Jufri, Nono Makarim, atau Marie Pangestu, sebagai Komunitas Epistemik Liberal. Bersama dengan sejumlah teknokrat ekonomi, komunitas ini disebutnya menjadi agen gagasan liberal di masa Orde Baru. Konteks yang dibahas Rizal dalam disertasinya adalah liberalisasi ekonomi di paruh terakhir kekuasaan rezim tersebut.
Label “liberal” itu sebenarnya sangat lemah argumentasinya, karena selain nama-nama yang telah disebut, di dalamnya Rizal juga, misalnya, memasukan nama Sumitro Djojohadikusumo dan Kwik Kian Gie. Apakah kritik terhadap dominannya peran negara, sebagaimana yang berlangsung pada masa Orde Baru, secara otomatis bisa menjadikan pemikiran seseorang jadi segolongan dengan “Thatcher-nomics” atau “Reaganomics”?! Atau, apakah seorang pengkritik sosialisme otomatis adalah seorang kapitalis, dan juga sebaliknya?!
Ada banyak hal yang diabaikan Rizal ketika menyusun taksonomi itu. Pendek kata, setiap pengkritik kebijakan ekonomi Orde Baru secara simpel dirampatkannya sebagai “liberal”. Dan secara menggelikan dia membuat kesimpulan bahwa Hatta dan pendiri Republik lainnya cenderung memilih sosialisme sebagai haluan ideologi ekonominya hanya karena pada awal abad ke-20 sosialisme sedang menjadi trend di Eropa. Sebuah cara analisis yang dangkal.
Makanya, sejak awal membaca terjemahan disertasinya, saya selalu berkesimpulan bahwa Rizal sebenarnya sedang menuliskan sejenis “manifesto” daripada sebuah “analisis”. Ya, tentu saja, manifesto dari “Komunitas Epistemik Liberal Indonesia”, dimana ia menjadi proklamatornya.
Satu dekade terakhir ini panggung politik Indonesia memang menjadi arena pentasnya “The Ohio Mafia”. Selain Rizal, siapa tak kenal Eep Saefullah Fatah, Saiful Mujani, atau Denny J.A.?! Di era politik liberal dan di tengah rezim pemilu yang berlangsung sejak 2002, dekade ini memang seolah menjadi panggungnya mereka. Wabah lembaga survei dan konsultan politik sepenuhnya merupakan monopoli murid-muridnya Bill Liddle ini.
Mereka memang bukan alumni OSU generasi pertama. Jauh sebelumnya telah ada Mohtar Mas’oed, Makarim Wibisono, atau Ishadi S.K. Tetapi, mereka berkiprah sebagai pribadi-pribadi, tak seperti generasi Rizal yang, meski mungkin dengan nada seloroh, mendaku dirinya sebagai “korps mafia”.
Rizal, menurut saya, adalah tokoh dengan intensi ideologis tinggi. Dia memposisikan dirinya sebagai penjahit bagi kelompok epistemik liberal yang sebelumnya terpencar dan bekerja sendiri-sendiri menjadi (tentunya dengan banyak penyederhanaan) sebuah “korps”. Pada generasinya Rizal, dan di tangan Rizal sendiri, para ekonom, sarjana politik, aktivis keagamaan, atau aktivis kebudayaan yang mengusung gagasan “liberal”, hadir seolah sebuah inkorporasi. Naiknya Boediono sebagai wakil presiden pada 2009 silam, jika kita simak orang-orang yang bekerja di belakangnya, bisa dicatat sebagai success story mereka sebagai sebuah komunitas.
Tidak berhenti sekadar menjadi korps intelektual, sebagian dari mereka kemudian menjadi bagian organik dari lembaga politik. Rizal, misalnya, kita tahu sebelum berkongsi dengan Bakrie merupakan penulis pidato kepresidenan Megawati. Denny J.A., sebelum berhasil memenangkan SBY satu putaran pada 2009 silam, dan sebelum kini menjadi konsultannya Jokowi, adalah konsultannya Bakrie dan Mega. Jika kita mengecam rezim pemilu dan pemilukada sebagai menyimpan cela, Rizal dan kawan-kawannya menjadikannya sebagai celah, kesempatan, dan panggung.
Saya tadinya mengira, setelah ramai-ramai Century mendelegitimasi Boediono dalam empat tahun terakhir, terperosoknya duo Mallarangeng di Hambalang, rencana pengembalian Pilkada kepada DPRD, dipanggilnya Saiful Mujani oleh KPK pada 2013 silam (meskipun sebagai saksi, terkait jasa konsultannya kepada seorang tersangka korupsi), serta berakhirnya rezim neoliberal Yudhoyono, The Ohio Mafia akan semakin kehilangan panggung dan berhenti membuat bising layar kaca dan halaman media. Tapi ternyata saya keliru.
Setelah lima tahun silam, melalui buku “10 Tahun Reformasi, Enam Ikon Pembawa Tradisi Baru”, yang ditulis oleh stafnya, Denny J.A. mengangkat dirinya sendiri sebagai ikon perubahan, bersanding dengan nama-nama seperti Amien Rais, B.J. Habibie, Mahkamah Konstitusi, KPK, dan Kontras, anggota The Ohio Mafia yang satu itu ternyata masih belum berhenti berikhtiar menjadikan dirinya sendiri sebagai “tokoh”.
Di awal tahun 2014 silam, kita disuguhi tontonan bahwa Denny J.A., sang tokoh itu, juga ingin ditokohkan di lapangan kesusastraan. Dan ikhtiarnya saya kira tak bisa dianggap main-main. Paling tidak, puluhan buku berisi puisi esai yang beredar di pasaran atas sponsornya, serta belasan sastrawan dan budayawan yang dibayarnya untuk menulis kajian tentang puisi esai, menunjukkan betapa seriusnya Denny ingin dianggap sebagai seseorang dalam dunia kesusastraan kita.
Jadi, kiprah The Ohio Mafia sepertinya masih jauh dari ufuk senjakala, Pemirsa. Dan sastra, seperti halnya demokrasi, bagi mereka tak lain memang cuma komoditi.
Tarli Nugroho
*) Ini adalah posting ulang dengan perbaikan dari tulisan saya pada Januari 2014. Diposting kembali untuk mendukung perlawanan Sastrawan Saut Situmorang yang sedang dikriminalisasi karena kritik-kritiknya pada Denny J.A. dan kawan-kawannya. Pada hari Minggu, 26 Oktober 2014, pukul 19.00 WIB, akan diadakan acara “Denny J.A.: Stop Penipuan Sastra Indonesia” di Bunderan UGM. Acara itu akan dihadiri oleh berbagai komunitas seniman, sastrawan, dan para pencinta sastra.