Salah satu kesenangan perempuan adalah dimanjakan dan dilayani. Mau diakui atau tidak, hal ini sudah mendarah daging di ummat ini. Dalam berbagai kegiatan ingin selalu tidak direpotkan. Menganggap apa-apa yang ‘sedikit berusaha’ adalah pekerjaan laki-laki. Padahal di waktu yang sama mengagung-agungkan toleransi dan emansipasi.
Sebut saja pada saat kuliah dikelas dan kebetulan AC-nya mati. Bukankah mengambil remote AC bukan pekerjaan yang sulit. Hanya tinggal berjalan ke admin atau tata usaha fakultas, meminjam remote AC, lalu kembali ke kelas dan menyalakan AC. Mudah dan tidak ribet. Namun seberapa seirng kita sebagai perempuan secara reflek berkata, “Eh, yang laki-laki dong pinjam remote AC”. Padahal di waktu yang sama para laki-laki sedang mempersiapkan LCD untuk presentasi.
Tidak hanya itu, pada kelas masyarakat tertentu saya pernah menemukan seorang perempuan yang tanpa ragu-ragu berkata pada teman laki-laki disebelahnya,
“Eh, kupasin jeruknya dong. Lengket nih ditangan.”
Hanya sekedar lengket saja lantas merasa berhak untuk dilayani. Contoh lain lagi, coba tengok ada berapa perempuan yang tidak mau belajar memasang selang kompor gas ke tabung gas. Mengandalkan suami, bapak, atau penjual gas untuk memasangkan. Bukankah itu hal yang sangat sepele dan bisa dipelajari?
Mari kita ambil kaca-kaca dari sejarah. Dari kisah Ibunda Khadijah RA, seorang perempuan yang piawai dalam bisnis. Menjadi saudagar yang sukses pada masanya. Mendampingi Rasulullah SAW di masa terberat dakwahnya. Menguatkan Rasul saat Rasulullah butuh dikuatkan. Menyelimuti Rasul saat beliau menggigil setelah menerima wahyu.
Atau dari kisah Ummu Sulaim yang meminta mahar keislaman dari orang yang datang kepadanya. Tidak ada keraguan. Islam atau tidak sama sekali. Sebab tidak pantas laki-laki yang tidak beriman bersanding dengan perempuan yang beriman.
Masihkah juga kisah diatas belum bisa membuat kita berhenti untuk menjadi perempuan-peremouan manja yang ingin dilayani? Ingatlah Nailah binti Al-Farafishah istri dari khalifah Ustman bin Affan. Dialah wanita cantik nan pandai yang membela suaminya saat ada pemberontak menerobos dan menyerang Utsman bin Affan yang saat itu sedang memegang mushaf. Jari-jari Nailah terputus saat merebut pedang dari pemberontak.
Dari perempuan mulia diatas, adakah kita temukan cerminan mental ingin dilayani? Dari Ibunda Khadijah RA kita belajar tentang kemandirian, sedang dari Ummu Sulaim kita belajar menjadi perempuan yang berpendirian dan tidak mudah goyah. Lalu dari Nailah kita belajar tentang keberanian. Adakah sikap manja itu diwariskan dari sejarah islam?
Maka bila kini kita muslimah yang begitu manja ingin dilayani ini itu tanpa mau belajar, sebenarnya kepada siapakah kita berkaca? Benarkah para shahabiyah Nabi sudah menjadi idola yang menjadi sarana celupan Allah atas kita?