Adalah wajar, untuk mengingatkan anggota keluarga kita agar mendirikan sholat. Ibu yang mengingatkan anaknya, suami yang mengingatkan isterinya, atau anak yang menyadarkan orang tuanya. Kendati tak setiap peringatan itu diindahkan, meskipun kadang peringatan-peringatan itu justru di mentahkan, namun adalah wajar untuk mengingatkan anggota keluarga kita agar bersholat.
Demikian pula, sama wajarnya ketika kita mengingatkan keluarga kita untuk berzakat dan bersedekah, menyisihkan harta yang menjadi bagian saudara yang diuji dengan kekurangan. Meskipun terkadang ada anggota keluarga kita yang tak rela, yang tak mampu akalnya untuk mencerna perhitungan kebaikan yang ditambah sepuluh kali lipat itu, namun tetap saja kita masih diberi kemudahan untuk mengingatkan tentang kewajiban itu.
Tak mudah meluruskan anak gadis, atau isteri, serta seorang bunda yang sudah terlanjur terdidik dengan budaya pop, atau budaya lain yang asing dengan syariat untuk merapikan auratnya. Namun masih wajar jika kita mengingatkan untuk menutupkan jilbab bagi auratnya, melonggarkan pakaiannya. Walaupun penolakan dan pengacuhan yang terjadi, seringnya kita tak menyerah untuk mengingatkan.
Dan beruntunglah kita, menjadi seorang pengingat, menjadi da’i bagi keluarga. Bagaimana dengan mudahnya kita mengingatkan dan memperingatkan ketentuan-ketentuan syariat kepada insan-insan terkasih, keluarga kita. Ketika kita lidah tak lagi kelu untuk berucap kebenaran – meski tak selamanya diterima dengan suka cita oleh keluarga kita, maka bersyukurlah atas kemudahan itu.
Namun ternyata, di tengah ringannya lidah untuk membincang syariah itu, masih ada hal penting yang sering terlewat oleh banyak da’i di lingkungan keluarga. Entah mengapa budaya yang kuat menghujam serta preseden yang buruk begitu menutup pintu-pintu pembicaraan tentang syariat yang satu ini, waris!
Syariat yang terlanjur dibingkai dalam sebuah kata “tabu”. Waris, sebuah hal yang sulit diperbincangkan, meskipun dengan keluarga yang terdekat. Membincangkannya bisa memunculkan banyak arti: konspirasi, keserakahan, ketamakan, dendam, perebutan harta, dan lain sebagainya. Paling tidak itulah yang terjadi pada manusia zaman ini.
Seorang anak yang membincang waris dalam keadaan ayahnya yang kurang sehat, bisa jadi dicap sebagai anak durhaka yang sedang menanti kematian sang ayah demi harta yang melimpah. Seorang isteri yang membincang waris kepada suaminya yang lanjut usia, bisa saja dicap sebagai pemburu harta, yang mingkin akan langsung menikah dengan berondong begitu habis umur sang suami tua.
Seorang anak yang membincang tentang warisan ayahnya kepada ibunya yang baru saja menjadi janda, kemungkinan besar akan mendapat murka dari sang bunda, “Kuburan bapakmu saja belum kering!” Lantas beberapa masa setelah masa iddah, sang bunda menikah, menjadikan seluruh warisan suami terdahulunya menjadi harta bersama suami yang baru. Ia lupa untuk membagi bagian-bagian putera dan puterinya. Anak yang membincang tentang warisan itu pun tak dapat bagian, dan lagi masih saja dicap anak durhaka.
Warisan jelas posisinya, ia berada dalam bingkai syariat islam. Pembagiannya bahkan jelas sekali diatur dengan perhitungan matematis yang pasti oleh Allah dalam Al Quran (An Nisa 11,12,176). Rincinya perhitungan waris yang matetamis itu menunjukkan betapa pentingnya hukum yang satu ini. Hukum waris adalah hukum yang bersifat memaksa, sebagaimana syariat-syariat yang lain dalam islam yang kadar hukumnya adalah wajib. Melanggar atau tidak melaksanakan kewajiban dalam syariat tanpa uzur tentu saja memiliki implikasi berupa dosa.
Ketika melihat sebuah perecahan dalam sebuah keluarga di luar keluarga kita karena warisan, – perebutan harta, permusuhan, bahkan pembunuhan maka dengan bijaknya kita memilih untuk bersikap santun. Ya, berapa banyak muslim yang berakhlak justru mengabaikan warisan karena kenyataan tentang pembagian warisan pada keluarga lain nampak pahit. Diam tanpa membincang warisan dirasa lebih menentramkan kondisi keluarga, daripada harus menyampaikan sebuah ketentuan dari langit, dari Allah. Bukankah syariat itu lebih utama? Maka harusnya santun bukan pilihan!
Hukum waris dalam islam seolah menjadi sebuah bagian yang tertutup kabut kelabu yang menggulung tebal dalam sebuah kitab suci yang penuh cahaya. Sebuah syariat yang memaksa lisan untuk senyap, dibanding syariat-syariat lain yang begitu mudah untuk dieksekusi dalam dakwah sehari-hari. Memanglah, Rasulullah pun telah memperingatkan, “Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid (waris) dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. ” (HR Daruquthni).
Maka jelaslah dari hadits Nabi, waris adalah ilmu yang akan hilang dari muka bumi. Dan tanda tanda kehilangan ilmu itu telah tertampak pada hari ini. Hari-hari dimana manusia, bahkan diantaranya da’i-da’i tak lagi mampu membincang waris kepada ahli keluarganya. Lalu relakah kita, jika seandainya peringatan Rasulullah tentang hilangnya ilmu itu terjadi pada masa kehidupan kita, pada zaman kita?
Ayahanda, Ibunda, Isteri dan anak-anak kita. Bincangkan kepada mereka apa yang seharusnya berlaku atas harta yang akan mereka tinggalkan nanti. Utarakan kepada mereka bagaimana seharusnya mereka memperlakukan harta peninggalan kita nanti.
Sampaikan kepada isteri tercinta, bukan seluruh harta kita yang akan terwaris baginya, ada bagian-bagian lain sesuai ketentuan dien. Paparkan kepada anak kita, bahwa alqur’an adalah pedoman utama. Katakan secara perlahan kepada ayah atau bunda, agar tak sakit perasaannya, agar tak tersalah memahami perkataan anaknya. Bukan harta yang ananda mau, namun semata-mata agar Allah tak murka atas syariat yang tak terlaksana oleh ayah dan bunda.
Mari kita membincang waris, agar tak lekas terangkat ilmu ini. Agar tunai kewajiban kita menyampaikan syariat. Supaya orang-orang terkasih yang telah mendahului kita tak mendapat azab sebab mempusakakan harta tak sejalan dengan perintahNya.
Bincanglah selancar kita membincang hijab, zakat, shalat, puasa, dan segala hal yang biasa kita sampaikan kepada keluarga terdekat kita.
Wallahua’lam bisshowwab