“Jika seluruh ikhwah mati,” kata Hasan Al Hudhaibi, “Itu lebih baik daripada kita sampai di puncak kemenangan dengan jalan pengkhianatan.”
Masih dengan wajah serius, Mursyid Am kedua Ikhwanul Muslimin ini melanjutkan taujihnya, “Nahnu muslimun qabla kulli syai’. Kita adalah muslim sebelum segalanya. Jika kita menguasai dunia dengan membunuh akhlak Islam, maka kita rugi!”
Tersebab ada ikhwah yang tidak sabar dengan penindasan rezim revolusioner saat itu lalu ia berniat menghabisi tokoh-tokoh pemerintah yang menyiksa ikhwah, Hasan Al Hudhaibi menjadi marah dan menasehatinya dengan kalimat-kalimat di atas. Penerus Hasan Al Banna ini tidak menghendaki kemenangan dengan jalan pengkhianatan, membunuh penguasa muslim meskipun ia zalim, dan cara-cara lain yang menanggalkan akhlak Islam.
Karena kemenangan jamaah dakwah adalah untuk meninggikan Islam, bagaimana mungkin jalan ke sana ditempuh dengan cara-cara rendahan yang bertentangan dengan Islam. Karena kemenangan dakwah adalah untuk menebar rahmat bagi semesta alam, bagaimana mungkin untuk mencapainya ditempuh jalan yang mengundang azab Tuhan. Karena kemenangan perjuangan Islam adalah untuk menjadi soko guru kehidupan, bagaimana mungkin untuk ke sana digunakan upaya yang hina dan menyulut kebencian.
Kekuasaan yang tertunda karena berpegang teguh pada prinsip Islam sejatinya adalah kemenangan. “Sesungguhnya kemenangan dan tamkin bagi kaum mukminin,” tulis Ali Muhammad Ash Shalabi dalam Fiqhun Nashr wat Tamkin, “Memiliki berbagai macam wujud dan gambaran.” Maka dalam buku yang menjadi masterpiece itu ia memasukkan penyampaian risalah dan penunaian amanah sebagai salah satu bentuk kemenangan; meskipun sang dai syahid atau komunitas muslim dihancurkan karena mempertahankan iman dan menyebarkan dakwah. Malazamul haq fi qulubina… selama kebenaran masih bersemayam di hati kita, itulah kemenangan.
Jamaah dakwah, apapun bentuknya; harakah, ormas, LSM ataupun partai Islam, dengan demikian perlu menyadari bahwa jalan dakwah tidaklah mudah dan tidak selalu berakhir dengan diraihnya kekuasaan Islam pada zaman atau generasinya. Namun selama hati ikhlas menempuh jalan-Nya, terus berjuang di atas manhaj-Nya dan berkomitmen dengan syariat-Nya, tak peduli apapun yang terjadi; sesungguhnya ia berada dalam kemenangan.
“Jalan dakwah tidak ditaburi bunga-bunga yang harum baunya,” nasehat Mustafa Masyhur dalam Fiqh Dakwah, “Tetapi merupakan jalan sukar dan panjang.”
“Sebab antara yang haq dan yang bathil ada pertentangan nyata. Dakwah memerlukan kesabaran dan ketekunan memikul beban berat. Dakwah memerlukan kemurahan hati, pemberian dan pengorbanan tanpa mengharapkan hasil yang segera, tanpa putus asa dan putus harapan. Yang diperlukan adalah usaha dan kerja yang terus menerus dan hasilnya terserah kepada Allah, sesuai dengan waktu yang dikehendaki-Nya.”
Menyadari hakikat kemenangan dan tuntutannya, harakah Islam takkan terjebak pada sikap isti’jal; tidak sabar dengan jalan dakwah yang panjang lalu memutuskan untuk kudeta, membunuh penguasa muslim, atau bahkan melancarkan aksi-aksi terorisme.
Menyadari hakikat kemenangan dan tuntutannya, ormas Islam takkan terjebak pada kekhawatiran organisasi Islam lain lebih besar darinya, hasad dan memusuhi organisasi Islam yang lebih massif perkembangannya, atau bahkan menyediakan diri dikooptasi penguasa sekuler dengan menjadi alat politiknya.
Pun begitu, menyadari hakikat kemenangan dan tuntutannya, partai Islam takkan terjebak pada money politic dalam pemilu atau melakukan korupsi untuk menyediakan dana kampanye.