“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At Taubah: 111)
Dalam hadits riwayat Ibnu Jarir dikisahkan, seorang sahabat, namanya Abdullah bin Rawahah Radhiyallahu ‘Anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Apa saja kewajiban terhadap Tuhanmu dan dirimu yang kamu tetapkan atas diriku?”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Aku telah menetapkan agar selalu beribadah kepada Tuhan dan tidak syirik dengan apapun. Sedangkan terhadapku, agar selalu menjagaku sebagaimanan kamu menjaga diri dan hartamu.”
Ia bertanya lagi, “Apa balasanku, jika aku melaksanakan semuanya?”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Surga balasannya.”
Ia lalu berkata,”Itu merupakan jual beli yang menguntungkan. Kami takkan membatalkannya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, dikutip dari Dr. Ahmad Hatta, MA., 2009).
Dialog antara Ibnu Rawahah dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di atas menjadi sebab turunnya (asbabul al nuzul) firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At Taubah: 111) Potongan ayat ini menjelaskan tentang penghargaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap para syuhada. Namun bila dimaknai dalam konteks kehidupan, ayat tersebut menjelaskan proses transaksi atau jual beli antara orang-orang mukmin dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rukun jual beli dalam ayat tersebut terpenuhi.
Pertama, penjual yakni orang-orang mukmin.
Kedua, pembeli yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketiga, barang yang diperjual-belikan. Ayat di atas menjelaskan dua barang yang diperjual-belikan, yaitu diri (anfusahum) dan harta (amwaalahum).
Keempat, harganya yaitu surga (jannah). Dan Keenam, harus ada ijab-qabulnya.
Melalui ayat 111 surat At Taubah tersebut, sesungguhnya merupakan tawaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang mukmin untuk menjual diri dan harta mereka dengan rela (ikhlas).
Menjual diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan cara beribadah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. sedangkan menjual harta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maksudnya membelanjakan atau memanfaatkan harta di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti berinfak, bersedekah, dan membayar zakat. Semua amalan yang melibatkan diri dan harta ini akan mendatangkan pahala berbalaskan surga. Inilah bentuk bisnis seorang mukmin dalam hidupnya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Menariknya, dalam jual beli yang menentukan harga barang biasanya penjual dan pembeli yang menawar. Namun, jual beli dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebaliknya, pembelilah yang menentukan harga barang dan penjual tidak boleh lari dari harga yang ditawar. Mengapa? Karena pembeli yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala, telah menawar diri dan harta orang Mukmin dengan harga yang sangat tinggi di dunia dan akhirat, yaitu surga. Orang yang beriman tidak mungkin menawar harga diri dan hartanya dengan harga yang sangat murah berupa neraka.
Ingatlah, tidak semua diri dan harta manusia akan dibeli oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana tidak semua barang yang dijual di pasar akan dibeli oleh pengunjung. Diri dan harta yang akan dibeli dengan harga surga adalah, diri dan harta yang suci. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan, “Sungguh beruntung orang-orang yang mensucikan dirinya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams: 9-10).
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru: “Bersegeralah menuju ampunan Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” (QS. Ali Imran: 133).
“Dan, Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang sebenarnya.” (QS. At Tahrim: 8).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Setiap anak Adam (manusia) bersalah, sebaik-baik yang bersalah adalah yang bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Ahmad).
Sedangkan menyangkut harta, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengingatkan, ”Barangsiapa yang mengumpulkan harta haram lalu menyedekahkannya, ia tidak akan mendapatkan pahala darinya dan dosanya dibebankan kepadanya.” (HR. Ibnu Hibban).
Artinya, harta yang dikumpulkan melalui pekerjaan haram meskipun disedekahkan tidak akan dibeli atau diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab, tidak ada konsep kebatilan dicampur dengan kebajikan dalam Islam. Harta yang dibeli oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah harta yang bersih dan suci, alias halal. Halal cara mendapatkannya dan halal dalam pemanfaatannya.
Wallahu A’lam