Beliau adalah sahabat yang rumahnya terpilih untuk ditinggali oleh Rasulullah saat Hijrah ke Madinah.
Persahabatan Nabi dengan Abu Ayyub Al Ashari, beliau berjihad bersama Nabi, bepergian bersama Nabi, sampai akhirnya Nabi wafat. Abu Ayyub saat zaman khilafah dipimpin oleh Abu Bakar juga terus bersemangat jihad, semangat tadhiyahnya tidak pernah berhenti.
Begitu pula di era Umar bin Khathab juga semangat jihad dan tadhiyahnya tidak surut. Meskipun di sisi lain usia beliau bertambah. Itu pasti. Pada zaman Usman bin Affan beliau juga diberikan rizki umur panjang, ketika Usman menyiapkan tentara untuk menyerang Romawi, umur Abu Ayyub Al Anshari saat itu 86 tahun.
Beliau juga mendaftar ikut berjihad. Karena itu anak anaknya mencoba untuk menghalang halangi beliau: “Wahai Bapak, bukankah engkau telah berjihad bersama Nabi, bersama Abu Bakar, bersama Umar, dan usiamu sekarang sudah tua, sudah renta, sekarang giliran kamilah anak anak Bapak ini yang akan ke medan jihad, antum sudah ada udzur syar’i.”
Karena sudah tua, ada udzur syar’i untuk tidak pergi berjihad. Jawaban Abu Ayyub ini ndalil, sang Bapak berdalil, “Anak anakku, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman infiruu khifaafan wa tsiqoolan, berangkatlah kalian khifaf (dalam keadaan ringan) wa tsiqoolan (atau dalam keadaan berat).”
Ketika Allah memerintahkan kita infiruu, kan tidak membedakan siapa muda siapa tua, tidak membedakan yang sangunya akeh (banyak) atau yang tidak punya sangu. Jadi kalian berangkatlah, Bapak juga berangkat. Saat itu umur beliau 86 tahun. Semangatnya tidak surut.
Ketika kunjungan ke Turki, di dinding Ayya Shafia tertulis hadits disampaikan Nabi pada saat Perang Khandaq, ketika menggali Parit, “Romawi akan kalah dan seterusnya, saat itu Nabi mengatakan: Latuftahannal Qusthantiniyyah (Konstantinopel pasti akan ditaklukkan) falani’mal amiru amiruuha (maka sebaik baik pemimpin adalah yang menaklukkan Konstantinopel), wala ni’mal jaisu dzalikal jais (dan sebaik baik tentara, ya tentara yang waktu itu menaklukkan Konstantinopel).”
Nabi mengatakan ini tahun 627, namun baru terbukti pada tahun 1453. Sekian abad setelahnya. Apa kaitannya dengan Abu Ayyub? Begitu Nabi mengatakan hadits ini, hampir seluruh para sahabat saat mendengar Nabi menyiapkan bala tentara untuk menyerang Romawi semua ikut. Tujuannya apa? Cek katut (agar termasuk) dalam hadits ini, berharap Romawi takluk dan pada saat itu mereka masuk dalam pasukan tersebut. Kalau tidak sebagai pemimpin pasukan (amir) ya sebagai pasukan (jais). Dan ini dijamin masuk surga.
Nabi wafat Konstantin belum takluk, tentara Usamah tidak sampai kesana. Zaman Abu Bakar menyiapkan tentara lagi, semua sahabat daftar belum berhasil menaklukkan Konstantinopel, Di zaman Umar menyerang lagi, tapi juga belum berhasil. Semua khalifah di semua abad pasti menyiapkan bala tentara untuk menaklukkan Konstantinopel. Namun seluruhnya belum berhasil.
Semua sahabat ikut dengan semangat sama, cek katut (agar termasuk) dalam hadits ini. Nah salah satu nya adalah sahabat Abu Ayyub al Anshari ini, beliau juga ikut dalam semua pertempuran dan kalau yang sudah pernah ke Istambul. Bagi yang sudah berkunjung ke istambul, makam/kuburannya sahabat Abu Ayyub Al Anshari tidak jauh/hampir berdekatan dengan dinding/tembok Konstantinopel. Di sebelahnya ada masjid Sulthan Ayyub.
Jadi kalau ada pertanyaan siapakah sahabat Nabi yang kuburannya di Eropa? Jawabannya Abu Ayub Al Anshari. Memang pada zaman beliau wafat belum berhasil menaklukkan Konstantinopel, meskipun sudah menyerang benteng dan berada di dekatnya.
Ada satu peristiwa di mana saat benteng itu di kepung berhari hari, ada usulan salah satunya : “Kita akan bisa masuk ke benteng itu dengan senjata manjaniq (alat pelontar), namun pelurunya jangan peluru mati, harus manusia, sehingga saat sudah terlontarkan masuk, bisa mendobrak pintu benteng, dan pasukan bisa masuk. Hanya itu cara agar kita bisa masuk. Hanya masalahnya sopo wonge (siapa orangnya) yang mau dipakai sebagai peluru hidup.”
Saat itulah Abu Ayyub ngacung (unjuk jari) sayalah orangnya. Para sahabat yang lain mengingatkan bab usia beliau, apa kata beliau, “Setidak tidaknya kalaupun nanti saya dilempar dan tidak sampai kesana, setidak tidaknya saya sudah memberi contoh kepada anak anak muda inilah jihad itu.”
Kelak pada saat penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad Al Fatih dan sempat mengalami kebuntuan maka Sosok Abu Ayyub Al Anshary ini menjadi penggugah Semangat sehingga muncullah strategi Luar Biasa yang kemudian mengantarkan pada kemenangan Spectakuler. Bahwa yang tua tidak akan pernah surut dalam jihad ini, Dadi sing tuwo iki minimal ngekek’i conto.
Jadi kalau kita bicara tentang tarbiyatul aulad, itu ya tarbiyah kita dulu bagaimana. Kenek diconto opo ora (bisa dicontoh atau tidak?). Tarbiyah bapaknya, tarbiyah ibunya diperbaiki dulu, baru kemudian itu bisa dijadikan contoh. Sumber inspirasi bagi anak anak kita untuk aktif di dalam tarbiyah ini.
Minimal kita ini menampakkan wajah nikmatnya berdakwah ini di depan anak anak kita. Itu minimal. Artinya ketika kita pulang liqa’ usahakan wajah kita ketika dilihat anak itu nyenengno (menyenangkan). Berarti anak anak kita dapat inspirasi tarbiyah itu menyenangkan. Liqa’ itu menyenangkan. Yang tidak baik itu ketika pulang liqa’ dalam kondisi payah, pulang dauroah dalam kondisi wajah masam, awut awutan. Anak anak dapat inspirasi : tibake melu bapak iku gak enak (ternyata ikut Bapak itu tidak enak). Capek. Itu tampilan kita pribadi.
Sistem di sekolah kita, saat anak anak merasakan sekolah di sekolah internal kita, mereka merasakan beginilah sekolah yang sesungguhnya. Kembali kita mendapat inspirasi dari Abu Ayyub al Anshari minimalnya kita yang sudah tua tua ini memberikan contoh kepada yang muda muda bahwa semangat jihad ini tidak boleh luntur.
Perintah Menjaga diri dan Keluarga
Yaa ayyuhal ladziina ‘aamanu quu anfusakum wa ahliikum naaro. ‘Wahai orang orang beriman jaga dirimu dan keluargamu dari neraka.’
Ini manhaj tarbiyah kita.. Artinya jangan sampai anak anak kita masuk neraka (na’udzubillah), istri atau suami kita masuk neraka (na’udzubillah) gara gara kita lalai menjaganya. Kan berarti yang diamanati oleh Allah untuk menjadi penjaga, menjadi pengawal adalah kita, terutama di ayat ini secara langsung adalah suami.
Bagaimana kita menterjemahkan menjaga itu? Kalau kita lengah, abai dan kemudian terperosok ke dalam neraka. Harus ada upaya untuk menutup. Jaga makanan/minuman anak yang halal. Memastikan yang dikonsumsi anak anak itu halal. Itu menjaga. Melindungi, menjaga dan menjauhkan dari lingkungan yang tidak baik, yangberpengaruh negatif kepada keluarga kita. Itu bagian dari menjaga.
Menempatkan anak anak kita di tempat/sekolah/perumahan/tempat tinggal yang kondusif bagi akhlaqnya, ibadahnya terjaga hal ini juga bagian dari menjaga dari api neraka. Sehingga yang ditanya oleh Allah di akhirat nanti tentang anak anak kita itu bukan kepala sekolah SIT, bukan murobbi murobbiyahnya, tapi kita. Karena ayat ini kepada kita. Sing ditakoni mene nok akhirat itu orang tua. Mau menyalahkan siapa? Quu anfusakum (jaga dirimu) wa ahliikum (dan keluarga, khususnya anak anak) dari neraka.
Apalagi dengan hadits ini, “Maa min mauludin, illa yuwladu ‘alal fithrah. Fa’abawahu, yuhawidanihi, au yunashironihi, au yumajisaanihi” setiap bayi yang terlahir itu, semuanya lahir dalam keadaan fitrah. Fa’abawaahu (Bapak Ibunyalah), yuwahidaanihi (yang akan bertanggung jawab di dunia dan akhirat, kalau nanti anaknya yang fitrah itu menjadi Yahudi), au yunashironihi (atau menjadi nashrani), au yumajisaanihi (atau menjadi majusi). Itu penyebab utamanya adalah abawaahu (bapak ibunya).
Jangan menyalahkan siapa siapa. Bapak ibunya kemana selama ini. Makanya kaitannya dengan ayat tadi, bayi ini lahir dalam keadaan fitrah, Bapak Ibunya wajib menjaga tetap fitrah, Insya Allah tidak mungkin menjadi seperti yahudi, nasrani atau majusi. Tidak berarti hal ini pindah agama semata, namun perilakunya tidak ada beda dengan mereka. Tidak ada beda perilaku anak muslim dengan anak yahudi. Jadi fungsi penjagaan ini ada pada fa’abawaahu (Bapak Ibu).
Ayah Atau Ibu?
Tanggung jawab ada di pundak kedua orang tuanya. Terus kalau kita detilkan lagi, di Bapaknya atau ibunya? Kalau jawaban bapak bapak biasanya ya ibunya lah. Sebaliknya kalo jawaban ummahat ya bapak bapaknya lah yang bertanggung jawab. Saya tidak bermaksud membela siapa siapa. Tetapi kalau kita perhatikan, dialog dalam Al Qur’an yang melibatkan orang tua dan anak, semua dengan Bapaknya. Tidak ada yang dengan ibunya. Setuju ndak setuju ayatnya begitu. Ini bukan persoalan cocok atau tidak cocok.
Tidak ada satupun ayat yang menyebutkan ibu dengan anaknya dalam hal dialog kependidikan. Mesti bapaknya. Coba lihat percakapan: Ibrahim dengan Ismail, diskusi panjang. Antara bapak dan anak. Memang ada kisah Hajar dan Sarah namun tidak berdialoq dengan Ismail. Yang ada percakapan bapak anak. Waktu mau menyembelih ada dialog, waktu membangun Ka’bah juga bapak anak. Luqman dan anaknya kan tidak ada percakapan ibunya. Istrinya Lukman tidak disebutkan. Namun nasihat Lukman pada anaknya panjang, hampir sehalaman penuh. Dalam surat Lukman.
Siapa lagi? Imran. Bapak bapak juga kan? Kalau ini diambil sebagai sebuah pelajaran maka pelajaran itu justru Al Qur’an mengingatkan dengan berbagai contoh bahwa Bapak bapak harus memperbanyak contoh dan dialog. Memang ada masanya orang tua menjadi teman. Kalau kita ambil pendidikan anak yang diambil dari buku Pendidikan Nabi, 0-7 tahun anak dianggap sebagai raja, semua dituruti, 7-14 tahun anak sebagai tawanan perang semua harus diatur, mulai dikenalkan disiplin dan 14-21 tahun anak menjadi kawan, dan semua perlu didampingi. Jadi sekali lagi yang bertanggung jawab dan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat terkait perilaku anak adalah kedua orang tuanya.
Pelajaran dari Ummu Sulaim saat menitipkan Anas bin Malik
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anh berkata:
Ketika Rasulullah datang di Madinah Ummu Sulaim membawaku kepada Rasulullah Saw, kemudian dia memberiku salah satu dari pakaiannya lalu (Ummu Sulaim) datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata “Wahai Rasulullah ini Anas dia anak yang Rajin dan pekerja keras yang akan membantumu, Nabi bersabda, “ Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, berkahilah ia dalam semua yang Engkau berikan kepadanya.” (HR Bukhari)
Hadits ini memberikan sebuah gambaran kepada kita tentang orang tua yang karena kesadaran akan pentingnya Tarbiyah untuk anaknya hadir menitipkan putranya untuk ditarbiyah, orang tua membangun komunikasi yang baik dengan Murabbi putra/putrinya, demikian juga sebaliknya Murabbi juga dengan suka cita menerima binaannya menyambut dengan doa yang demikian Luar biasa.
Ustadz Farid Dhafir, Lc.