Produk pembiayaan Murabahah diciptakan untuk memenuhi kebutuhan nasabah akan barang. Adapun untuk memenuhi kebutuhan nasabah akan jasa, seperti; pendidikan, pelayanan kesehatan dan ibadah umrah maka Lembaga Keuangan Syariah memiliki produk yang dinamakan dengan Pembiayaan Multijasa.
Pembiayaan Multijasa adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berupa transaksi multijasa dengan menggunakan akad ijarah berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan nasabah pembiayaan yang mewajibkan nasabah pembiayaan untuk melunasi hutang/kewajibannya sesuai dengan akad.
Fitur dan mekanisme Pembiayaan Multijasa atas dasar akad Ijarah adalah ;
- Bank bertindak sebagai penyedia dana dalam kegiatan transaksi Ijarah dengan nasabah;
- Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan objek sewa yang dipesan nasabah;
- Pengembalian atas penyediaan dana bank dengan cara cicilan.
Untuk lebih jelasnya, 2 ilustrasi berikut ini dapat membantu untuk memahami akad yang terjadi dalam pembiayaan Multijasa:
A terkena penyakit dan datang ke rumah sakit untuk berobat. Setelah diberi resep, A mengambil obat kemudian membayarnya, beserta semua biaya jasa lain dari rumah sakit itu. Karena biayanya besar dan A tidak memiliki uang tunai maka A meminjam uang B. Lalu kwitansi pembayaran itu ia simpan. Esoknya Ad atang ke bank syariah dan meminta pembiayaan untuk mengganti pinjaman B, sedangkan A sendiri akan membayar kepada bank secara cicilan sampai lunas. Karena pembiayaan itu dari bank, tentu saja bank tidak bisa memberikannya tanpa ada pertambahan. Maka fee pun dihitung dan ditambahkan kepada nilai nominal pembayaran jasa itu.
AB mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri. Karena AB tidak memiliki dana yang cukup untuk melunasi biaya, ia mengajukan pembiayaan Multijasa ke salah satu Lembaga Keuangan Syariah. Setelah menyetujui pembiayaan LKS mewakilkan kepada AB untuk menyewa jasa pendidikan atas nama dan untuk LKS. Kemudian LKS menyewakan jasa pendidikan tersebut kepada AB dengan pembayaran tidak tunai (angsuran) dengan ditambah fee.
Landasan hukum produk ini adalah fatwa DSN No.44/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang PEMBIAYAAN MULTIJASA. Yang berbunyi:
Ketentuan Umum
- Pembiayaan Multijasa hukumnya boleh (jaiz) dengan menggunakan akad Ijarah atau Kafalah.
- Dalam hal LKS menggunakan akad ijarah, maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam Fatwa Ijarah.
- Dalam kedua pembiayaan multijasa tersebut, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee.
Tinjauan FIkih Terhadap Pembiayaan Multijasa
Akad yang terjadi dalam pembiayaan multijasa adalah Ijarah al Musta’jir (Penyewa menyewakan kembali jasa yang telah ia sewa).
Dimana LKS bertindak sebagai penyewa pertama dari pemilik barang/jasa kemudian LKS menyewakan jasa kepada penyewa kedua (nasabah). Dan LKS mendapat keuntungan dari selisih upah sewa nasabah yang lebih tinggi dari upah sewa LKS kepada pemilik barang/jasa, karena nasabah membayarnya dengan cara angsuran.
Dalam hal ini ada 3 pembahasan fikih yang akan dirincikan untuk mengetahui tentang hakikat akad produk ini. Pembahasan ini termasuk yang diperselisihkan ulama, yaitu; tentang hukum Ijarah al Musta’jir bolehkan atau tidak?
Bolehkah penyewa menyewakan dengan upah sewa yang lebih tinggi? Bolehkah penyewa menyewakan barang/jasa sebelum diterima? Apakah praktik Ijarah al Musta’jirdi Lembaga Keuangan Syariah telah sesuai dengan konsep fikih yang dijelaskan oleh para ulama?
Untuk menjawab pertanyaan pertanyaan ini akan penulis bahas dalam setiap pembahasan.
Hukum Ijarah al Musta’jir
Berbeda halnya dengan jualbeli yang sepakat para ulama tentang hukum boleh pembeli menjual barang yang dibelinya kepada pihak lain bila terpenuhi persyaratan jualbeli. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Ijarah al Musta’jir (penyewa menyewakan kembali manfaat yang telah dimilikinya kepada pihak lain).
Pendapat pertama: penyewa tidak boleh menyewakan kembali barang yang telah di sewanya, ini merupakan salah satu riwayat dalam mazhab Imam Ahmad. (Ibnu Qudamah, Al Mughni , jilid. V, hal. 354)
Dalil pendapat ini hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak halal keuntungan barang yang tidak dalam jaminanmu”. (HR. Abu Daud. Menurut Al-Albani derajat hadis ini hasan shahih).
Dalam akad ijarah al Musta’jir penyewa tidak menanggung risiko sama sekali, karena risiko ditanggung oleh pemilik barang. Maka ini termasuk meraih keuntungan tanpa menanggung risiko. Maka tidak dibolehkan. Berdasarkan hadis di atas.
Tanggapan : dalil ini tidak kuat karena penyewa yang menyewakan kembali tetap ada risiko, yaitu apabila barang yang disewakan ternyata tidak layak untuk disewakan atau barang tidak berfungsi maka dia bertanggung jawab kepada penyewa kedua.
Pendapat kedua: penyewa boleh menyewakan kembali jasa yang telah dikuasainya dengan diterimanya barang. Pendapat ini merupakan pendapat seluruh para ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali.
Dalil pendapat ini adalah qiyas, bahwa menjual barang yang telah dibeli dengan akad dan telah diterima hukumnya dibolehkan syariat maka menyewakan kembali manfaat barang yang telah disewa dengan akad dan telah diterima barangnya hukmnya boleh, karena akad sewa menyewa merupakan bentuk lain dari jualbeli. Yaitu jualbeli jasa/manfaat.
Wallahu a’lam, pendapat yang membolehkan menyewakan kembali barang yang telah disewa hukumnya boleh, karena kuatnya dalil pendapat tersebut. Namun apakah boleh dia menyewakan dengan harga yang lebih mahal dari harga yang dia sewa?
Hukum Laba dari Menyewakan Kembali Barang yang Disewa
Apabila penyewa menyewakan kembali barang yang telah disewanya dengan uang tunai kepada pemilik barang dengan cara tidak tunai yang harganya lebih mahal maka ini termasuk ‘Inah yang diharamkan.
Hal ini dinyatakan keharamannya oleh AAOIFI dalam mikyar Ijarah pasal 3.4, yang berbunyi, “Penyewa boleh menyewakan barang yang telah disewanya kepada pemilik barang dengan harga lebih murah atau dengan harga yang sama atau lebih mahal apabila kedua akad sewa-menyewa tersebut berlangsung tunai. Tidak boleh hal tersebut apabila mengakibatkan akad jual beli ‘Inah : karena berubahnya harga sewa atau sewa-menyewa dengan pembayaran tunda. Contoh: sewa-menyewa pertama dengan harga 1oo dinar tunai kemudian penyewa menyewakan kembali kepada pemilik barang dengan harga 110 dinar dengan tidak tunai, atau sewa-menyewa pertama dengan 110 dinar dengan tidak tunai kemudian sewa-menyewa kedua dengan 100 dinar tunai, atau kedua akad sewa-menyewa tersebut dengan harga yang sama akan tetapi akad sewa-menyewa yang pertama dengan pembayaran penundaan 1 bulan dan pada yang kedua dengan penundaan dalam masa 2 bulan.”
Apabila penyewa kedua bukan pemilik barang dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat:
Pendapat pertama: tidak boleh penyewa menyewakan kembali barang yang telah disewanya kepada pihak ketiga dengan harga yang lebih tinggi, pendapat ini merupakan mazhab Hanafi. Bila itu telah terjadi dia wajib mensedekahkan keuntungannya tersebut.
Dalilpendapat ini bahwa penyewapertama mendapat keuntungan dari barang yang risiko ditanggung oleh pemilik barang. Dan ini termasuk dalam larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallammengambil keuntungan dari barang yang risiko bukan ditangannya.
Tanggapan: dalil ini tidak kuat, karena pe nyewa pertama tetap menanggung risiko kepada penyewa kedua.
Pendapat kedua: penyewa boleh menyewakan kembali barang yang telah disewanya kepada pihak ketiga dengan harga yang lebih mahal. Ini merupakan pendapat seluruh ulama mazhab Maliki, Syafii dan Hanbali dan disetujui oleh AAOIFI dalam mikyar Ijarah pasal 3.3, yang berbunyi, “Orang yang menyewa suatu barang boleh menyewakannya kepada orang lain (bukan sipemilik barang) dengan harga yang sama atau lebih murah atau lebih mahal baik dengan cara tunai ataupun tidak, (ini yang dinamakan dengan التأجیر من الباطن )dengan syarat pemilik barang tidak melarang untuk disewakan kepada orang lain atau harus atas kesepakatan pemilik barang”
Dalil dari pendapat ini bahwa barang yang telah dibeli dengan akad dan telah diterima boleh dijualkan kembali, demikian juga halnya dengan menyewakan kembali jasa yang telah disewa dengan akad dan telah dikuasai manfaatnya.
Wallahu a’lam, pendapat yang terkuat dalam hal ini boleh penyewa mendapat laba dari menyewakan kembali jasa/manfaat yang telah dikuasainya. Karena pada dasarnya muamalat dibolehkan selagi tidak ada larangan dari syariat.
Hukum Menyewakan Kembali Barang Sebelum Dikuasai
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa haram hukumnya menyewakan barang yang belum menjadi miliknya atau menyewakan jasa yang belum dikuasainya, karena akad sewa sama dengan akad jual-beli, sebagaimana tidak boleh menjual barang yang bukan miliknya begitu juga tidak boleh menyewakan barang/jasa yang bukan miliknya.
Hal ini yang ditegaskan oleh AAOIFI, dalam mikyar ijarah, pasal 3.1. yang berbunyi, “Disyaratkan untuk keabsahan akad sewa menyewa atas suatu barang tertentu bahwa barang tersebut atau manfaatnya sudah dimiliki oleh pihak yang menyewakan. Maka apabila barang tersebut atau manfaatnya sudah menjadi hak milik Lembaga Keuangan Syariah maka baru lah boleh dilangsungkan akad sewa-menyewa ketika kedua belah pihak telah sepakat. Adapun apabila barang tersebut baru akan dimiliki oleh Lembaga Keuangan Syariah dengan cara membeli… Maka sewa-menyewa tidak boleh dilangsungkan akadnya kecuali setelah Lembaga Keuangan Syariah memiliki barang tersebut… Dasar larangan menyewakan barang tertentu yang belum dimiliki oleh pihak yang menyewakan adalah larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam terhadap seseorang menjual barang yang belum menjadi miliknya”
Namun, apabila barang/atau jasa sudah dilakukan akad dan belum diserahterimakan apakah boleh bagi pembeli/penyewa untuk menyewakan kembali barang/jasa tersebut?
Dalam hal ini sebagian para ulama mazhab Hanafi menukil kesepakatan para ulama bahwa hal tersebut hukumnya tidak boleh (haram).
Mula Khasru (wafat: 885H) berkata, “Menyewakan barang sebelum diterima hukumnya tidak boleh. Tidak ada perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini”
As Syilby (wafat 1021H) juga berkata, “Jika seseorang menyewa suatu barang kemudian dia menyewakan kembali barang tersebut sebelum diterimanya hukumnya tidak boleh. Tidak ada perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini”
Namun, setelah diteliti ternyata ulama mazhab Maliki dan sebagian ulama mazhab Syafii membolehkannya.
Zakariya Al Anshary (wafat: 926H) berkata, “Apabila seseorang menyewa rumah, dia boleh menyewakan kembali rumah itu ke pihak lain sebelum rumah diterimanya, karena objek akad ijarah (sewa) adalah manfaat dan manfaat tidak dapat diserahterimakan.”
Akan tetapi, pendapat ini lemah, karena Imam Syafii sendiri menyatakan bahwa akad sewa sama dengan akad jualbeli.
Sebagaimana jualbeli tidak boleh sebelum barang diterima pembeli pertama, begitu juga halnya dengan penyewa tidak boleh menyewakan barang/jasa yang disewanya sebelum diterima.
Pendapat yang melarang menyewakan kembali barang/jasa sebelum diterima merupakan pendapat mayoritas para ulama dari berbagai mazhab berdasarkan hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana diriwayatkan dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya seringmelakukanjual-beli, apa jual-beli yang halal dan yang haram?”
Nabi bersabda,”Wahai anak saudaraku! Bila engkau membeli sebuah barang janganlah engkaujual sebelum barang tersebut engkau terima”. (HR. Ahmad. Imam Nawawi menyatakan derajat hadis ini hasan).
Kesimpulan
Setelah menjelaskan beberapa permasalahan fikih dalam akad Ijarah Musta’jir, maka hukum produk Pembiayaan Multijasa yang diluncurkan oleh LKS nasional melalui 2 ilustrasi yang disebutkan sebelumnya bahwa:
-Bentuk yang pertama dimana nasabah mengajukan pembiayaan setelah mendapat pelayanan kesehatan dan setelah dia membayar upah jasanya, lalu membawa kwitansi ke LKS dan disetujui, ini bukanlah akad Ijarah Musta’jir. Karena tidak terpenuhi syarat yang terpenting dalam hal ini, yaitu pihak yang menyewakan (LKS) tidak memiliki jasa yang disewakannya kepada nasabah.
Hakikat dari akad ini adalah qardh (pinjaman) oleh LKS kepada nasabah. Dan karena yang dibayar kembali oleh nasabah ke LKS dengan cara cicilan adalah nominal yang lebih besar dari nominal yang dipinjamnya, maka hukum akad ini sejatinya qardh jarra manfa’atan wa huwa riba(pinjaman yang mendatangkan manfaat bagi pemberi pinjaman dan hukumnya adalah riba).
-Bentuk yang kedua dimana nasabah mengajukan pembiayaan sebelum melakukan akad ijarah jasa pendidikan dengan salah satu perguruan tinggi dan LKS menyetujuinya. Lalu pihak LKS mewakilkan kepada nasabah untuk melakukan akad ijarah atas nama dan untuk LKS dan membawa kwitansinya kepada LKS, namun akad Pembiayaan Multijasa ditandatangani oleh kedua belah pihak sebelum akad ijarah antara nasabah dengan perguruan tinggi dilaksanakan maka ini termasuk menyewakan jasa yang belum dimiliki LKS dan sebelum diterimanya juga.
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ketika ditanya kenapa Nabi melarang menjual barang sebelum diterima, dia menjawab, “Karena dirham ditukar dengan dirham sedangkan bahan makanan ditangguhkan(riba)”. (HR. Bukhari).
Karena yang terjadi sesungguhnya dalam skema ini LKS memberikan sejumlah uang kemudian nasabah mengembalikan dengan nominal berlebih dan tidak tunai (riba).
Himbauan
Dalam kesempatan ini, penulis menghimbau setiap penggiat perbankan syariah mulai dari DSN hingga para praktisi untuk membuat solusi yang halal dan bukan sekedar pengelabuan riba. Untuk produk Multijasa dengan sangat mudah LKS membeli atau menyewa dahulu jasa/barang yang akan disewakannya dan setelah dikuasai, lalu LKS dapat melakukan akad Ijarah Musta’jir (menyewakan kembali barang/jasa yang telah disewa dan diterima) dengan harga yang lebih mahal dan dengan pelunasan secara angsuran.
Sebagaimana skema produk Pembiayaan Multijasayang diputuskan oleh AAOIFI, mikyar ijarah, pasal 3.7. yang berbunyi, “Lembaga Keuangan Syariah boleh mewakilkan kepada nasabah atas biaya dan tanggung jawab Lembaga Keuangan Syariah untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah seperti peralatan kerja dan yang semisalnya dari barang-barang yang bisa ditentukan sifat-sifat dan harganya. Dengan syarat lembaga keuangan baru boleh menyewakan barang-barang tersebut kepada nasabah setelah memilikinya dan menerimanya baik secara hakikat maupun hukmi. Namun, jika memungkinkan sebaiknya wakil untuk membeli barang tersebut bukanlah nasabah … Hal ini untuk menghindari bahwa ini hanya sekedar pengelabuan akad riba dan agar jelas peran Lembaga Keuangan Syariah dalam transaksi tersebut.” (Al Ma’ayir as Syar’iyyah, hal. 113)
Ustadz DR. Erwandi Tarmizi, MA