Nama sebenarnya adalah Ali bin Ismail bin Ishaq (Abu Bisyr) bin Salim bin Ismail bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al Asy’ari, tapi kebanyakan orang mengenalnya dengan nama Abul Hasan Al Asy’ari. Dari silsilahnya kita mengetahui bahwa beliau adalah salah seorang keturunan shahabat Rasulullah yang mulia yang terkenal akan keilmuannya dan keindahannya dalam membaca Al Quran, Abdullah bin Qais bin Hadhdhar atau Abu Musa Al Asy’ari Al Yamani. Ali Abul Hasan Al Asy’ari dilahirkan di Bashrah wilayah Iraq pada tahun 260 Hijriyah. “Abul Hasan” sebenarnya adalah kuniyah beliau, dan julukannya adalah Nashiruddin atau Sang Pembela Agama. Julukan ini beliau dapatkan saat beliau meninggal dan orang-orang saling mengabarkan bahwa “Sang Pembela Agama” telah meninggal.
Nama beliau sangat dikenal di penjuru dunia karena dalam persoalan aqidah, banyak yang menisbatkan kelompoknya kepada beliau. Padahal hakikatnya, mereka tidak mengikuti mazhab aqidah beliau dengan benar, karena beliau mengubah mazhab aqidahnya sesuai dengan fase perjalanan pencarian kebenaran sejati yang beliau lakukan. Sedangkan kelompok yang menisbatkan diri pada beliau itu sejatinya hanya mengikuti fase kehidupan beliau yang belum terakhir. Bahkan sesungguhnya penisbatan mereka kepada beliau sebenarnya tidak tepat karena dasar mazhab beliau yang belum terakhir itu merupakan pemikiran seorang ahli kalam bernama Ibnu Kullab.
Dari sisi kepribadian, Ali Abul Hasan Al Asy’ari adalah seorang yang berbudi pekerti luhur dan terkenal dengan kejeniusannya. Pola hidupnya sederhana, selalu diiringi dengan sikap zuhud atau tidak tamak, qana’ah atau bersyukur dengan apa yang ada, ta’affuf atau jauh dari sikap meminta-minta, wara’ atau berhati-hati, dan sangat antusias dalam urusan akhirat. Di sisi lain, beliau adalah seorang yang suka humor dan tidak kaku.
Fase Hidup: Pencarian Kebenaran
Ali mengalami fase kehidupan dan pencarian kebenaran sejati yang penuh dengan liku-liku. Pada usia belia, ia hidup di bawah asuhan seorang ayah yang mencintai sunnah dan berpegang dengan prinsip-prinsipnya. Bahkan, sebelum ia wafat, ia berwasiat agar Ali kecil dibimbing oleh Al Hafizh Abu Yahya Zakariya bin Yahya As Saji, seorang ulama fikih dan hadits yang berpegang teguh pada prinsip ahlus sunnah.
Setelah sang ayah meninggal, ibundanya menikah dengan seorang lelaki yang bernama Abu Ali Al Jubba’i, seorang tokoh Mu’tazilah. Dari sinilah ia tumbuh dan berkembang dengan asuhan ayah tirinya itu hingga senantiasa didoktrin dengan paham-paham Mu’tazilah. Ali pun menjadi ahli waris ilmu ayah tirinya hingga ia juga menjadi seorang tokoh muda Mu’tazilah yang disegani kelompoknya. Bahkan dalam banyak kesempatan ia mewakili Abu Ali Al Jubba’i dalam urusan keagamaan. Ia bahkan menulis banyak karya untuk membela Mu’tazilah dan menyerang kelompok yang berseberangan dengannya.
Pada usia empat puluh tahun, ia bertaubat dari paham Mu’tazilah yang selama ini dianutnya. Dari atas mimbar Masjid Jami’ Bashrah setelah pelaksanaan shalat Jumat, ia mengumumkan pertaubatan dirinya dan berlepas diri dari Mu’tazilah. Bahkan beliau kemudian merilis beberapa tulisan yang membantah syubhat-syubaht Mu’tazilah dan kesesatan mereka. Kisah pertaubatan beliau ini dicatat oleh Imam Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah, Siyar A’lam Nubala’, dan Wafayatul A’yan.
“Sejak beberapa malam,” tutur Ali Abul Hasan Al Asy’ari mengisahkan sebab pertaubatannya, “Di dadaku muncul (ganjalan) tentang masalah-masalah aqidah. Aku pun bangun melaksanakan shalat dua rakaat dan meminta Allah subhana wa ta’ala memberi hidayah jalan yang lurus kepadaku. Kemudian aku pun tidur. Ketika tidur, aku bermimpi melihat Rasulullah. Aku keluhkan kepada beliau sebagian masalahku. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku, ‘Wajib atasmu berpegang dengan sunnahku.’ Lalu aku terbangun.”
Beberapa saat setelah pengumuman pertaubatan itu, beliau meninggalkan Bashrah menuju Baghdad.
Pada fase ini, beliau condong pada pemahaman ulama ahlus sunnah, tapi belum berpemahaman ahlus sunnah. Saat itu beliau lebih terpengaruh kelompok Kullabiyah. Hal ini dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Al Maqrizi, dan Imam Ibnu Katsir.
Dalam Thabaqatul Fuqaha Indasy Syafi’iyah, Ibnu Katsir mengatakan, “Fase kedua (yang dialami Abul Hasan Al Asy’ari) adalah menetapkan tujuh sifat aqliyah bagi Allah subhana wa ta’ala, yaitu al hayat, al ilmu, al qudrah, al iradah, as sam’u, al bashar, dan al kalam[1]. Di sisi lain, beliau menakwilkan (memalingkan dari makna harfiahnya) sifat khabariyah, seperti wajah, kedua tangan, kaki, betis, dan yang semisalnya.”
Selain itu, beliau juga mengingkari sifat fi’liyah (perbuatan) Allah subhana wa ta’ala yang berkenaan dengan kehendak dan takdir-Nya. Jadi, saat itu pemikiran beliau berada di antara kelompok Mu’tazilah yang mengingkari semua sifat Allah dan ahlus sunnah yang menetapkan semua sifat Allah.
Setelah sekian lama berlalu, Abu Hasan Al Asy’ari semakin mendekat dengan pemahaman ulama ahlus sunnah. Pada fase ini beliau berguru kepada para ulama ahlus sunnah semisal Al Muhadits Al Musnid Abu Khalifah Al Fadhl Al Jumahi Al Bashri, Al Qadhi Abul Abbas Ahmad bin Suraij Al Baghdadi, Imam Abu Yahya Zakariya bin Yahya As Saji, dan Al Faqih Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad bin Ishaq Al Marwazi.
Ibnu Katsir mengatakan, “Fase ketiga (yang dilalui Abul Hasan Al Asy’ari adalah menetapkan semua sifat-sifat Allah subhana wa ta’ala tanpa menganalogikan dan menyamakannya dengan sesuatu pun, sebagaimana prinsip as salafush shalih. Demikianlah prinsip yang beliau torehkan dalam kitab Al Ibanah (‘an Ushulud Diyanah), karya beliau yanhg terakhir.”
Kemudian Imam Abul Hasan Al Asy’ari rahimahullah membersihkan jalan yang ditempuhnya dan mengikhlaskannya karena Allah subhana wa ta’ala dengan rujuk kembali secara total kepada jalan yang ditempuh salafush shalih.. Dan para ulama yang menyebutkan biografi beliau menyatakan bahwa Al Ibanah adalah karya tulis beliau yang terakhir. Demikian penjelasan Syaikh Muhibuddin Al Khatib mengenai Imam Al Asy’ari.
Demikianlah perjalanan pencarian kebenaran oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari. Beliau berpindah dari satu pemahaman yang sesat ke pemahaman lain yang menurutnya lebih benar hingga Allah memberinya hidayah agar beliau meniti jalan kebenaran yang sebenar-benarnya. Meskipun sebelumnya beliau berpegang teguh dalam satu jalan yang beliau yakini sedemikian lama, bahkan menjadi tokoh utama dan pembelanya, namun saat beliau menyadari kesalahannya, tanpa malu-malu dan tanpa diam-diam beliau mengumumkan pertaubatannya dari masa lalunya di hadapan seluruh umat yang mengenalnya. Dan bahkan selanjutnya beliau menjadi orang yang paling gencar dalam membongkar kesesatan jalan yang dulu pernah ditempuhnya.
Dalam perjuangannya mendakwahkan kebenaran, beliau menghembuskan napas yang terakhir pada tahun 935 almanak syamsiyah. Semoga Allah melapangkan kuburnya, mengampuni dosa-dosa beliau, dan kita dapat mengambil manfaat atas perjalanan kehidupan beliau.
[1] Belakangan, kelompok yang mengikuti pemahaman Imam Al Asy’ari di fase kedua ini menambahkan tujuh sifat Allah ini menjadi 20 sifat Allah seperti yang banyak kita kenal sekarang oleh salah seorang tokoh mereka yang bernama As Sanusi. Lantas mereka mengingkari sifat-sifat Allah lainnya yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah.