Perhelatan SEA GAMES XXVI memang telah resmi dinyatakan usai, namun masih menyisakan berbagai tanda tanya. Kebanyakan orang menyoroti masalah persiapan yang kurang matang dan berbagai kasus hukum yang menghantui pentas olah raga ini, namun sebagian cendekiawan Muslim memiliki keprihatinan yang mendalam tentang suatu hal yang (mungkin) tidak dilihat oleh kebanyakan orang. Masalah ini bersifat laten dan penting untuk dibahas, karena ia akan menentukan jati diri bangsa Indonesia dan posisi umat Muslim di dalamnya.
Pada upacara pembukaan SEA GAMES yang lalu, kita melihat sebuah pertunjukan kolosal yang menceritakan kisah ‘kesuksesan’ kerajaan Sriwijaya yang telah mempersatukan Nusantara. Dari pelajaran-pelajaran sejarah di sekolah, kita mengetahui bahwa Sriwijaya adalah bangsa maritim. Karena itu, kekuatan maritim itulah yang dianggap sebagai modal utama untuk mempersatukan Nusantara pada jamannya. Kebetulan atau tidak, emas pertama yang diperoleh Indonesia memang berasal dari skuad dayung, yaitu dari Eka Oktararianus pada nomor lomba canoe 1.100 meter.
Diangkatnya nama Sriwijaya adalah suatu hal ‘baru’ bagi bangsa Indonesia yang biasanya lebih membesar-besarkan nama Majapahit. Kerajaan yang memilih Budha sebagai agama resmi negaranya ini sebenarnya tidak pernah mempersatukan Nusantara, karena para sejarawan telah menyepakati bahwa wilayah kekuasaannya sebenarnya hanya membentang di wilayah Kamboja, Thailand selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa dan pesisir Kalimantan. Prasasti peninggalan Sriwijaya yang tertua yang telah ditemukan adalah Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, berasal dari abad ke-7 Masehi. Kita dapat melihat bagaimana sejarah Sriwijaya bisa dihubung-hubungkan dengan kota Palembang yang menjadi tuan rumah (bersama Jakarta) SEA GAMES.
Penerusnya, yaitu Kerajaan Majapahit, bisa dianggap ‘lebih sukses’ dalam mempersatukan Nusantara. Meski Majapahit tidak menguasai wilayah Kamboja dan Thailand seperti Sriwijaya, namun kekuasaannya konon membentang di seluruh Sumatera, Semenanjung Malaya, Jawa, Kalimantan dan sebagian Indonesia Timur, meski untuk yang terakhir ini batas-batas wilayahnya masih diperdebatkan.
Kasus Majapahit cukup menarik untuk diperbincangkan, terutama seputar klaim ‘penyatuan Nusantara’ di bawah panji kerajaan Majapahit. Rujukan dari peristiwa ini, anehnya, hanyalah Sumpah Palapa yang dikumandangkan oleh Patih Gajah Mada. Semua anak sekolah di negeri ini telah mengenal sumpah sang patih untuk mempersatukan Nusantara. Tapi, tentu saja, sumpah mempersatukan Nusantara tidaklah sama dengan mempersatukan Nusantara itu sendiri. Sejarah tidak mampu menunjukkan bukti bahwa Gajah Mada telah berhasil mewujudkan ambisinya itu. Jangankan di Indonesia Timur, di Sumatera dan Kalimantan pun Majapahit lenyap tak berbekas. Agama Hindu-Budha (yang merupakan agama mayoritas masyarakat Majapahit) tidak lagi berkembang di daerah-daerah itu, demikian pula jejak-jejak peninggalan budayanya.
Berbagai cerita legenda yang berkembang luas di wilayah-wilayah tertentu juga menolak dominasi Majapahit, meskipun statusnya tetaplah hanya sebuah legenda. Masyarakat Minangkabau, misalnya, mengenal cerita tentang adu kerbau yang dilaksanakan antara masyarakat asli di wilayah itu dengan sebuah bangsa yang datang untuk menjajah (biasanya ditafsirkan sebagai Majapahit). Dengan siasat tertentu, kerbau milik bangsa penjajah itu kalah. Maka masyarakat asli pun menggunakan nama Minangkabau, yang berasal dari kata “minang” (menang) dan “kabau” (kerbau). Sebaliknya, konon, dalam salah satu catatan sejarah Kerajaan Majapahit yang diberi judul Negarakertagama, telah tersebut nama Minangkabwa sebagai salah satu kerajaan Melayu yang telah ditaklukkannya.
Mungkin kita tidak akan pernah tahu versi mana yang benar: legenda lokal Minangkabau ataukah Negarakertagama. Akan tetapi, ada dua hal yang bisa kita sepakati bersama. Pertama, karakter asli kebudayaan Minangkabau (dan seluruh Sumatera secara umumnya) tidak terpengaruh dengan hegemoni Majapahit. Kedua, kalaupun Majapahit memang berhasil menaklukkan wilayah Minangkabau (dan wilayah-wilayah lainnya di Sumatera), maka pola interaksi yang terjadi bukanlah penyatuan, melainkan penjajahan. Jika kita tarik kesimpulan dari dua premis di atas, maka kita dapat simpulkan pula bahwa Majapahit adalah negara penjajah yang gagal total, karena ia bahkan tidak berhasil menanamkan nilai-nilai kulturalnya kepada bangsa-bangsa jajahannya, sebagaimana yang dilakukan oleh kolonialisme dan imperialisme di seluruh penjuru dunia.
Bagaimana pun, sejarah Sumpah Palapa sudah terlanjur dicekokkan ke dalam benak para pelajar, sehingga ia identik dengan persatuan dan kesatuan bangsa. Nama “Palapa” pun diberikan kepada satelit kebanggaan Indonesia, seolah-olah ia merepresentasikan Indonesia, padahal sesungguhnya Sumpah Palapa (atau Majapahit) hanya berhasil menguasai sebagian saja wilayah Indonesia dan Semenanjung Malaya, itu pun dengan modus penjajahan, bukan persatuan.
Puluhan tahun lamanya bangsa Indonesia mengidentifikasi dirinya sebagai pewaris Kerajaan Majapahit. Segala hal yang berbau Majapahit (dan Jawa) digunakan sebagai identitas bangsa. Gedung-gedung, perusahaan-perusahaan, bahkan satuan prajurit pengawal kepresidenan pun menggunakan nama Sansekerta, meskipun sebenarnya bahasa itu sudah lama mati dan tak dipergunakan lagi. Majapahit sudah lama runtuh dan tidak meninggalkan apa-apa bagi bangsa Indonesia kecuali beberapa reruntuhan batu saja, namun masyarakat negeri ini terus-menerus mengidentifikasi dirinya dengan imej Majapahit.
Kini, dengan pertunjukan kolosal dalam upacara pembukaan SEA GAMES, pemerintah berusaha menunjukkan penggalian sejarah ke arah yang sedikit berbeda, yaitu dengan membesar-besarkan nama Sriwijaya. Kita pun patut bertanya, apakah memang bangsa Indonesia layak mengidentifikasi dirinya dengan imej Sriwijaya? Andaikan pertanyaan ini hendak dibatasi pada propinsi Sumatera Selatan, apakah memang masyarakat Sumatera Selatan mengidentifikasi dirinya dari Sriwijaya? Selain nama, beberapa prasasti dan reruntuhan candi, apa warisan konkret Sriwijaya bagi masyarakat Indonesia – khususnya Sumatera Selatan – di masa kini?
Dalam makalahnya yang dibagikan dalam Seminar Internasional bertajuk Sejarah dan Peranan Islam dalam Pembangunan dan Kesatuan Bangsa, DR. Adian Husaini, cendekiawan Muslim asal Indonesia, mengutip sebuah artikel yang dimuat di Majalah Media Hindu edisi Oktober 2011 sebagai berikut:
..mustahil suatu bangsa menjadi maju apabila mayoritas rakyatnya masih menganut agama yang faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa. Oleh karena itu harus kembali ke agama yang dapat memelihara dan mengembangkan budaya bangsa, sebagai syarat mutlak untuk menjadi Negara Adidaya. Satu-satunya agama yang dapat menumbuhkembangkan budaya bangsa adalah Hindu, karena memang sejak dahulu bangsa ini beragama Hindu, yang kemudian menimbulkan budaya bangsa yang adiluhung ini.
Implisit atau tidak, tulisan di atas pada hakikatnya sama saja dengan menunjuk hidung Islam sebagai biang kerok dari kemunduran bangsa Indonesia. Sebab, mayoritas masyarakat Indonesia telah memeluk agama Islam dan sedikit banyaknya Islam telah memberikan pengaruh pada kultur masyarakat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Di sisi lain, artikel di atas juga bisa dipandang sebagai sebuah pengakuan bahwa agama Hindu – yang mencapai kejayaan melalui kolonialisme Majapahit dahulu – tidak lagi mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Jika kini kita saksikan berbagai ritual yang merupakan sinkretisasi dari ajaran Hindu dan Islam, maka sesungguhnya hal itu dilakukan oleh masyarakat Muslim yang tidak menyadari (atau mengakui) akan adanya sinkretisasi tersebut. Jelaslah bahwa Islam telah menghapus dominasi Hindu (dan juga Budha) dari Nusantara, dan, meskipun ada banyak usaha untuk melakukan ‘Majapahitisasi’ dan ‘Sriwijayaisasi’, Islam telah menjadi identitas bangsa Indonesia. Tentunya pendapat ini pun tidak mengesampingkan terjadinya sinkretisasi sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas dan inkonsistensi dari sebagian masyarakat Muslim yang tidak kaaffaah dalam menjalankan ajaran agamanya.
DR. Adian Husaini melanjutkan penelaahannya dengan melihat bahwa selain adanya usaha-usaha untuk membesar-besarkan sejarah Majapahit, ada pula usaha-usaha untuk menyingkirkan Islam dari lembaran sejarah. Tokoh Kristen seperti TB. Simatupang, misalnya, pernah menggarisbawahi bahwa belum pernah ada kerajaan Islam yang berhasil mempersatukan Nusantara. Demikian pula Nengah Bawa Atmadja dalam bukunya, Genealogi Keruntuhan Majapahit, mengutip pandangan masyarakat Kejawen yang menyatakan bahwa Majapahit telah runtuh karena serangan tikus, tawon dan setan (demit). Menurut Nengah, ungkapan “tikus, tawon dan setan” ini memiliki makna konotatif. Adapun yang dimaksudkan sebenarnya adalah Kerajaan Demak. Demak-lah yang telah menyerang Majapahit secara tiba-tiba saat Majapahit lengah dan dalam keadaan ‘sakit keras’. Dengan penarikan kesimpulan yang demikian, menurut Adian, muncul kesan bahwa Islam datang untuk menghancurkan kejayaan Indonesia (yang diidentikkan dengan Majapahit). Maka, jika ingin mengalami kejayaan, Islam harus disingkirkan. Para cendekiawan Muslim sejak dahulu sudah menolak tuduhan tanpa bukti ini, karena memang Islam tidak datang ke Indonesia dengan kekuatan militer, melainkan dengan kekuatan dakwah dan pemikiran. Akan tetapi, diskriminasi terus dilakukan, dan sebagian umat Muslim justru terlibat secara aktif dalam proyek besar ini. Dengan demikian, penuturan sejarah bangsa ini pun terus dikembalikan kepada jaman Majapahit dan Sriwijaya.
Efek bola salju yang ditimbulkan dari kekeliruan sejarah ini tidaklah kecil. Dalam artikelnya yang berjudul “Islamisasi Kurikulum Sejarah SMA”, Tiar Anwar Bachtiar, Ketua Umum PP Pemuda Persis, menjelaskan bahwa sejarah nasional Indonesia senantiasa bersikap ambigu terhadap Islam. Meskipun mayoritas masyarakatnya beragama Islam dan kemerdekaan Republik Indonesia direbut dengan semangat jihad, namun negara masih kurang mengapresiasi Islam sebagai elemen penting di negeri ini. Segala sesuatu tentang Islam senantiasa dicurigai; bicara syari’at dianggap hendak mendiskriminasi umat lain, Piagam Jakarta dianggap radikal, Demak dianggap sebagai ‘musuh dalam selimut’ bagi Majapahit, identitas keulamaan Jenderal Soedirman dan Pangeran Diponegoro diabaikan begitu saja, Budi Utomo yang elitis dan kesukuan diutamakan daripada Syarikat Islam, R.A. Kartini ‘mengalahkan’ Cut Nyak Dhien (dan perempuan-perempuan perkasa lainnya) sebagai simbol perempuan Indonesia, sedangkan para ulama-negarawan baru mendapatkan gelar Pahlawan Nasional bertahun-tahun setelah wafatnya (Moh. Natsir 15 tahun, Syafruddin Prawiranegara 22 tahun, Buya Hamka 30 tahun), dan sekarang, Sriwijaya menjadi identitas Sumatera Selatan dan Indonesia.
Marilah kita berkaca dan menjawab dengan jujur: apakah Indonesia memang pantas untuk diidentifikasi dengan imej Sriwijaya dan Majapahit?