Saat berbuka puasa adalah saat bahagia. Saking bahagianya, orang sering lupa bahwa kendali diri masih harus dijaga. Main comot aneka makanan sebetulnya sah-sah saja. Masalahnya, bukankah akan lebih baik jika sekalian bisa “mencuri” berkah darinya ?
Dari Salman bin Amir al-Dhabiy, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda, “Jika salah seorang dari kalian berbuka puasa, maka hendaklah dengan kurma, karena di dalamnya terdapat keberkahan. Kalau tidak mendapatkan kurma, hendaklah dengan air, karena ia menyucikan.” (HR. Bukhari Muslim).
Perut kosong dan tubuh lemas tentunya kangen dengan makanan mudah cerna, serta sanggup mengembalikan kekuatan yang hilang gara-gara aktivitas seharian. Kurma sangat cocok untuk situasi demikian. Selain gampang dicerna, buah ini pun memiliki energi yang tinggi, hingga bisa diandalkan untuk itu.
Akan tetapi masalah yang berkaitan dengan makanan saat puasa bukan cuma terletak pada urusan berbuka saja. Dalam kacamata awam, acap pula terpikir “makanan apa yang mesti dikonsumsi saat sahur kepepet agar lapar tidak segera terasa ?”
Terutama selewat separuh masa puasa, pertanyaan yang sebetulnya biasa-biasa saja ini bisa jadi lumayan bermakna karena orang mulai suka dihinggapi “penyakit telat bangun”, hingga tak sempat menyantap aneka hidangan sahur bermutu yang lezat bergizi sebagaimana mestinya, yang sanggup membantu menunda munculnya lapar.
Roti, Apel, dan Mie
Roti tampaknya merupakan pilihan pertama yang tepat untuk dikonsumsi saat sahur kepepet. Disamping “pengundang” berkah –dalam buku ”Berpuasa seperti Rasulullah”, karangan Saliem Al-Hilali dan Ali Hasan Ali Abdulhamied, tertulis, dari Sulaiman ra, katanya, Rasulullah Saw bersabda : “Keberkahan terdapat dalam tiga : Dalam kebersamaan (jama’ah), makan roti campur sop dan dalam makan sahur”. (Shahih At-Targhib wat Tarhaib, hadits no. 1057)– roti terbilang makanan yang praktis, serta memiliki kandungan kalori yang bisa diandalkan: kalori yang dihasilkan 2 iris roti putih (white bread), dengan berat 80 gr, setara dengan kalori yang dihasilkan 100 gr nasi, 200 gr mi basah, atau 50 gr mi kering. Lebih dari itu, penganan yang gampang ditemui ini memiliki protein, vitamin, dan mineral dalam jumlah cukup lumayan. Masalahnya, sudah bukan rahasia lagi, banyak diantara kita yang suka merasa belum makan jika hanya mengonsumsi roti.
Selain berkait dengan urusan kebiasaan, faktor satiety index (SI) kemungkinan berpengaruh pula. SI merupakan indeks untuk mengukur seberapa efektif sebuah makanan dapat membuat kenyang seseorang. Semakin tinggi nilai SI, semakin cepat makanan tersebut memupus lapar.
Dari tabel hasil penelitian Holt dan koleganya, sebagaimana pernah dimuat dalam European Journal of Clinical Nutrition, September 1995, diketahui bahwa roti putih memiliki nilai SI = 100%, sementara nasi merah 132%, dan nasi putih 138%. Itu sebabnya nasi lebih mengenyangkan ketimbang roti. Namun situasi sebaliknya akan terjadi jika roti yang dikonsumsi adalah roti wholemeal (wholemeal bread) atau sering disebut “roti cokelat”, karena warnanya yang kecokelatan.
Roti yang menggunakan tepung keseluruhan (wholemeal flour) sebagai bahan dasarnya ini, disamping lebih sarat serat, makmur antioksidan, fitoestrogen, vitamin dan mineral, juga memiliki nilai SI = 157%, hingga menjadikan pengonsumsinya lebih cepat merasa kenyang.
Keuntungan lain dari makanan sarat serat, rupanya juga berhubungan dengan perlambatan munculnya lapar. Sebuah studi yang dilakukan para ahli dari University of Sydney, Australia, memperlihatkan, partisipan yang diberi menu sarapan dengan makanan sarat serat, yang dalam penelitian menggunakan semangkuk sereal, terbukti mampu membebaskan rasa laparnya hingga saat makan siang, manakala partisipan lain yang diberi menu sebaliknya, perutnya keroncongan.
Makanan lain yang juga bisa diandalkan, dari golongan buah-buahan, adalah apel. Selain nilai SI-nya tinggi (197%), buah ini juga kaya pektin, merupakan serat berbentuk gel, serta memiliki indeks glikemik (IG) yang rendah (36 – 40) (Rimbawan dan Siagian, 2004).
IG secara sederhana berarti urutan makanan berdasarkan efek langsung terhadap kadar glukosa darah. Semakin tinggi nilai IG suatu makanan, semakin cepat kadar glukosa darah pengonsumsinya naik, tapi semakin cepat membuat lapar kembali karena kadarnya bisa segera turun, gara-gara karbohidrat yang dikandungnya cepat habis. Sebaliknya pada makanan dengan IG rendah, yang tak bikin glukosa darah ujug-ujug ngebut, karena glukosanya dilepas perlahan dan karbohidratnya lebih awet bertahan, yang otomatis pula membuat perasaan kenyang lebih lama.
Namun, apabila “kehangatan” yang diinginkan, mengonsumsi mi instan, yang membutuhkan waktu maksimal 5 menit untuk memasaknya, tampaknya bisa dijadikan pilihan.
Hasil penelitian di Poliklinik Metabolik Endokrinologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Jakarta, terhadap 3 produk makanan instan : mi, bihun dan bubur ayam, diketahui bahwa mi memiliki nilai Indeks glikemik paling rendah, yang berarti juga paling pas dijadikan andalan untuk santapan sahur saat kepepet, sedangkan bubur ayam memiliki indeks glikemik paling tinggi.
Akan tetapi, andai saja mau sedikit mengakali, sebetulnya ada rahasia yang bisa diandalkan untuk lebih merendahkan nilai glikemik suatu hidangan, sekaligus juga mendongkrak nilai gizinya. Caranya cukup sederhana, yaitu dengan menambahkan makanan sumber serat, semisal sayur, serta sumber protein dan lemak, seperti telur, kedalamnya.
Dengan demikian, kalau sahur kepepet, supaya hidangan mi instan Anda lebih kaya gizi, tidak bikin cepat lapar, badan lemas bin letoy–perloyo, masaklah mi dengan menambahi telur dan sayuran kedalamnya.
Yang tak boleh dilupakan, sajian-sajian ini cukup dikonsumsi saat benar-benar kepepet saja. Bagaimana pun, menu yang lengkap, tetaplah lebih baik.