Banyak dari kaum Muslimin yang memberi peluang kepada perasaan (baca: simpati) mereka untuk menghukumi berbagai perkara, tokoh, organisasi, dan negara. Mereka tidak meneliti apa yang ada di balik itu semua, tidak membaca apa yang tertulis dalam buku-buku, dan tidak menelusuri asal-usulnya. Hal ini menjerumuskan mereka dalam berbagai kekeliruan dan salah persepsi yang berakibat fatal, yang baru disadari setelah musibah dan bencana yang diakibatkannya terjadi… dan ketika itu, penyesalan mungkin tiada berguna lagi.
Benang merah panjang yang mengawali lahirnya Hizbullah Syi’ah telah dibahas dalam ‘Inilah Syi’ah Hizbullah bag. 1′. Di sana telah kami paparkan tentang Lebanon, dan kali ini akan kami lanjutkan. Saya (penulis) percaya bahwa saya sedang menelusuri jalan penuh duri. Usaha saya untuk memberikan gambaran yang benar bagi kaum Muslimin ini, pasti menghadapkan saya kepada gelombang penolakan dan kritikan dari kaum Muslimin yang bersimpati kepada tokoh mana saja yang dianggap sukses di masa-masa yang sensitif dalam tarikh umat ini; meskipun tokoh tersebut adalah pengikut Syi’ah yang bobrok, yang meyakini kebebasan berpendapat dalam mengritik, mencela, menentang dan bahkan menjatuhkan para sahabat yang mulia.
Saya yakin bahwa saya akan menghadapi perlawanan buas dari pihak Syi’ah sendiri, yang mendorong media-media massa Sunni agar menyerukan supaya ‘file ini’ ditutup dan jangan dibicarakan sama sekali, sembari memalingkan mereka kepada Zionis Israel dan Amerika saja. Padahal di saat yang sama Syi’ah terus melanjutkan skenario mereka dengan mantap. Kaum Muslimin baru akan bangun dari tidurnya, saat Syi’ah berhasil mendirikan sebuah Daulah besar, yang setara dengan Daulah Buwaihiyyah tempo dulu, atau lebih besar lagi!!
Perpecahan Harakah AMAL Pasca Ash Shadr
Setibanya Musa Ash Shadr dari Qum (Iran) dan Najaf (Irak), ia berusaha merekrut orang-orang Syi’ah Lebanon menjadi sebuah eksistensi yang saling melengkapi, yang bisa diajak mendirikan sebuah daulah (negara) di masa depan. Ia begitu perhatian dengan sisi religius dan madzhabiyah kelompok ini, hingga pada tahun 1969, ia mendirikan Majelis Tinggi Syi’ah. Ia juga perhatian dengan sisi militer mereka, hingga mendirikan Harakah AMAL, yang merupakan singkata dari Afwaajul Muqaawamah Al Lubnaaniyyah (Gelombang Perlawanan Lebanon). Ia juga menjalin hubungan erat dengan pihak Nasrani Maronit, demikian pula dengan Amerika Serikat dan Suriah, di samping tentunya dengan pihak-pihak yang mengirimkannya ke Lebanon, yang tokoh dari itu semua adalah Khumaini, yang saat itu masih berada di Irak.
Abdul Amir Qublan
Musa Ash Shadr meninggalkan kekosongan besar, dan kaum Syi’ah berusaha menertibkan kembali administrasi mereka, hingga jabatan Majelis Tinggi Syi’ah akhirnya diambil alih oleh Abdul Amir Qublan, yang tadinya adalah wakil Musa Ash Shadr, terus menjabat sebagai wakil ketua Majelis, padahal jabatan ketua sampai kini masing vakum! Sedangkan tokoh-tokoh Syi’ah di Lebanon merujuk kepada salah seorang syaikh mereka, yaitu Husein Fazhlullah, dan si saat yang sama kondisi sayap militer Syi’ah yang terkenal sebagai Harakah AMAL makin ricuh, hingga anggota-anggotanya terpecah menjadi dua kelompok:
Kelompok pertama, ialah Syi’ah Sekuler yang ingin mengatur jalannya permainan tanpa merujuk ke kaidah-kaidah madzhab Itsna Asyariyah. Mereka tidak ingin terikat dengan tokoh-tokoh rujukan agama di luar Lebanon, alias ingin menempuh jalur nasionalisme. Kelompok ini dipimpin oleh Nabieh Barrie, salah satu pemimpin Lebanon terkenal. Sedangkan kelompok kedua, ialah mereka yang ingin melanjutkan khittah Musa Ash Shadr, alias ingin mendirikan Negara bermadzhab Syi’ah yang menetapkan seluruh keyakinan dan kesesatan kaum Syi’ah dengan kekuatan senjata, sekaligus melebarkan kekuasaan mereka sekuat kemampuan. Kelompok ini bekerja sama dengan tokoh-tokoh revolusi Iran yang merencanakan kudeta di Iran, akan tetapi kelompok ini masih membutuhkan seorang pemimpin yang mengarahkan mereka.
Al Musawi, Nasrallah, dan Strategi Iran
Di masa-masa yang sulit tadi, ada dua orang yang datang dari Najaf, Irak. Keduanya telah mendalami akidah Syi’ah di sana, dan keduanya yang paling berpengaruh dalam mempertahankan eksistensi khittah madzhabiyyah-nya Musa Ash Shadr. Kedua orang tersebut adalah: Abbas Al Musawi dan Hasan Nasrallah.
Mereka berdua menyusup dengan cepat ke barisan Harakah AMAL, dan dapat menduduki pusat-pusat kepemimpinan di sana, padahal umur Hasan Nasrallah kala itu baru 18 tahun!
Pada tahun 1979, tercetuslah revolusi Iran dan Shah berhasil digulingkan. Khumaini pun kembali dari Paris (setelah diusir dari Irak tahun 1978) dan memegang tampuk kekuasaan di Teheran. Ia mulai ‘menertibkan keadaan’ di sana, dan menyingkirkan pesaing-pesaingnya. Ia berbalik kepada pihak-pihak yang dahulu mendukungnya dari ormas-ormas Iran lainnya. Khumaini berhasil memantapkan dirinya dengan sempurna dan tidak bergerak ke kota suci Qumm seperti yang diramalkan banyak orang, namun justeru menetap di ibukota Teheran.
Setelah pulihnya berbagai masalahnya di Iran, Khumaini mulaimemperhatikan Lebanon dan Irak. Keduanya merupakan kantong-kantong yang memiliki massa Syiah cukup besar, dan di saat yang sama, keduanya merupakan bagian dari skenario Syi’ah untuk mendirikan Negara Syi’ah Raya di wilayah tersebut.
Kondisi di Irak saat itu masih sangat sulit. Saddam Husain konon menerapkan tangan besi dalam memerintah. Khumaini sendiri merasakan hal tersebut, sebab ia pernah tinggal selama 14 tahun penuh di Irak, yang berakhir dengan melarikan diri secara terpaksa ke Paris. Dari sini, Khumaini tahu persis bahwa Organisasi Syi’ah di Irak tidak mampu menggulingkan pemerintahan Saddam Husain. Sebab itulah Khumaini memilih solusi militer, dan segera memulai perang total terhadap pemerintah Irak pada tahun 1980, sebelum revolusi genap berumur satu tahun! Ini semua karena ambisinya untuk menjatuhkan pemerintahan Irak dan menyerahkan roda pemerintahan kepada Syi’ah, yang dengan begitu, Irak akan tergabung dalam Negara Syi’ah Raya yang diimpikan Khoemini.
Adapun di Lebanon yang jauh, yang sarat dengan berbagai kelompok dan sekte agama, di sana masih perlu persiapan dan sejumlah tokoh dengan loyalitas penuh kepada Khumaini dan pemerintahannya. Sebab itulah, Khumaini terus mengontak kedua orang tadi, yang notabene bermadzhab Syi’ah Itsna Asyariyah, yang keduanya beriman dengan ajaran Wilayatul Faqih[1], yang berhasil menghantarkan Khumaini ke kursi pemerintahan. Kedua orang tersebut adalah Abbas Al Musawi dan Hasan Nasrallah, dan dari sinilah Iran mulai memberi dukungan langsung kepada mereka, meski kepemimpinan Harakah AMAL masih di tangan Nabieh Barrie yang berpaham sekuler.
Pada tahun 1981, diadakan muktamar Harakah AMAL yang keempat untuk memberikan solusi atas perselisihan internal mereka, yang masing-masing selama ini berusaha menguasai daerah selatan. Muktamar tersebut berakhir dengan tetap dipilihnya Nabieh Barrie sebagai pemimpin Harakah AMAL, dan Abbas Al Musawi menjadi wakilnya. Ini merupakan langkah penting untuk mengendalikan kondisi di selatan Lebanon.
Invasi Israel dan Sikap Syi’ah
Akan tetapi pada tahun 1982, tepatnya tanggal 6 Juni tahun itu, terjadilah peristiwa yang mengacaukan semua skenario mereka. Mereka semua dikejutkan oleh invasi Zionis Israel atas seluruh Lebanon Selatan, bahkan Israel sempat mengepung Beirut untuk mengusir Yasir Arafat beserta segenap pemimpin Fatah dan milisi-milisi Palestina agar keluar dari selatan Lebanon. Jelaslah bahwa kesepakatan antara militer Israel dan pihak Nasrani Maronit telah terjadi dalam rangka mengusir orang-orang Palestina yang telah menjadi suatu kekuatan penekan dalam masyarakat Lebanon. Terjadilah berbagai pembataian atas warga Palestina, dan yang paling besar di antaranya adalah Pembantaian Shabra dan Shatila, yang menewaskan 3000 orang Palestina, dan Zionis Israel –atas bantuan Nasrani Maronit- pun berhasil mengusir orang-orang Palestina dari selatan Lebanon dan Beirut.
Peristiwa ini mulanya selaras dengan keinginan Syi’ah. Sebab mereka sejak dahulu menuntut agar orang-orang Palestina dikeluarkan dari selatan Lebanon, sebagai langkah awal pendirian negara mereka di sana. Akan tetapi pihak Zionis tidak lantas kembali ke markas mereka setelah mengusir orang-orang Palestina, namun tetap bercokol di Lebanon dan melakukan pendudukan militer atas seluruh wilayah selatan.
Kejadian ini mengkandaskan seluruh impian kaum Syi’ah untuk mendirikan negara mereka. Lebih-lebih mengingat bahwa mereka kala itu masih terpecah menjadi kelompok sekuler dan konservatif (agamis). Maka kelompok konservatif akhirnya memutuskan untuk memisahkan diri dari Harakah AMAL, dan melanjutkan kontak mereka dengan para pemimpin di Iran untuk mendapat dukungan mereka. Mereka lantas membentuk sebuah lajnah yang terdiri dari 9 orang untuk berangkat ke Teheran dan berjumpa dengan Khumaini. Mereka menyatakan keimanan mereka terhadap ajaran Wilayatul Faqih, yang konsekuensinya mengimani kekuasaan Khumaini sebagai ‘faqieh’ yang dimaksud, yang akan mengurus masalah kaum Syi’ah di Lebanon. Khumaini menyetujui lajnah tersebut dan mereka kembali lagi ke Lebanon untuk berpisah total dengan Harakah AMAL, dan membentuk harakah baru yang dikenal saat itu dengan nama Harakah AMAL al Islamiyyah, dibawah kepemimpinan Abbas Al Musawi.
Iran memiliki campur tangan kuat dalam berdirinya harakah baru ini. Bahkan Iran sempat mengirim 1500 orang dari tentara revolusinya ke Suriah, lalu dari Suriah ke lembah Bikkaa di Lebanon. Mereka semua dikirim untuk melatih Harakah AMAL al Islamiyyah secara militer,dan memberikan bantuan finansial dan militer yang cukup kepada mereka. Dengan demikian, harakah yang baru ini telah mendapat dukungan dari dua negara besar di kawasan tersebut, yaitu Iran dan Suriah, dan di saat yang sama Suriah tetap mendukung Harakah AMAL yang nasionalis.
Berdirinya Hizbullah dan Penguasaan atas Wilayah Selatan
Perang saudara masih berkecamuk di Lebanon, dan kekuatan Harakah AMAL al Islamiyyah terus bertambah hingga Abbas Al Musawi mengumumkan berdirinya Hizbullah pada bulan Februari tahun 1985, sebagai ganti dari Harakah AMAL al Islamiyyah. Selang tiga bulan kemudian, tepatnya bulan Mei 1985, Harakah AMAL yang dipimpin oleh Nabieh Barrie melakukan pembantaian terhadap warga Palestina yang menewaskan ratusan orang, dalam rangka membersihkan sisa-sisa orang Palestina yang masih ada di selatan Lebanon dan Bikkaa. Dari situ, mulailah terjadi perselisihan di antara harakah AMAL dan Hizbullah, yang berakhir dengan perang besar di antara mereka, dan Hizbullah berhasil menumpas Harakah AMAL tahun 1988. Hasilnya, 90% anggota Harakah AMAL beralih ke Hizbullah yang dibawah kendali Iran, sesuai dengan aturan Wilayatul Faqih dan didukung dengan kekuatan Suriah. Bersamaan dengan itu, Harakah AMAL keluar dari sayap militer, dan hanya menjadi gerakan politik saja.
Meski medan telah dikuasai oleh Hizbullah semata, hanya saja ia mendapati bahwa markaz kekuatan pusatnya –yang berada di selatan Lebanon- masih dikuasai oleh Yahudi. Inilah yang mendorong Hizbullah untuk menguasai sebagian wilayah di Beirut, agar memiliki markaz sebagai titik tolak setiap gerakan. Hizbullah tidak bergerak ke Beirut timur tempat komunitas Nasrani, akan tetapi ke Beirut barat, terutama bagian selatannya. Hizbullah mulai menduduki tempat-tempat tersebut dengan kekuatan senjata, dan seluruh tempat itu adalah kantong-kantong Ahlus Sunnah.
Hizbullah kadang membangun fasilitas-fasilitasnya di tempat umum, dan kadang di tanah milik Ahlus Sunnah, akan tetapi Pemerintah Lebanon hanya berpangku tangan melihat itu semua, sampai wilayah selatan Beirut menjadi Syi’ah tulen, dan dikuasai sepenuhnya oleh Hizbullah.
Pada tahun 1989, Khumaini wafat, dan menyerahkan jabatan pimpinan revolusi kepada Ali Khamenei. Kondisi Hizbullah sendiri tidak mengalami perubahan, sebab ia masih terikat dengan aturan Wilayatul Faqih yang baru, yaitu Ali Khamenei. Pada tahun yang sama, pihak-pihak yang bertikai di Lebanon atas perantara Saudi bertemu di Thaif, untuk membikin kesepakatan dalam rangka menghentikan perang saudara di Lebanon. Di tahun yang sama pula, terjadi pembunuhan terhadap tokoh Sunni terbesar di Lebanon, yaitu Syaikh Hasan Khalid rahimahullah, selaku mufti Lebanon dari kalangan Sunni sejak tahun 1966. Ini dimaksudkan agar Ahlus Sunnah kehilangan kepemimpinan mereka, dan di waktu yang sama, Hizbullah muncul sebagai markas Islam di Lebanon.
Perang Melawan Yahudi dan Berubah Sikap Terhadap Ahlus Sunnah
Hizbullah mulai menyiapkan rencana untuk menggempur Yahudi demi membebaskan wilayah-wilayah mereka yang diduduki, dan direncanakan sebagai tempat berdirinya Negara Syi’ah Raya. Kucuran dana pun mengalir deras dari Iran untuk tujuan tersebut, di samping bantuan dari Suriah. Hal ini mengkhawatirkan Israel hingga mereka melakukan pembunuhan terhadap Abbas Al Musawi yang menjadi Sekjen Hizbullah pada tahun 1992. Jabatan Sekjen akhirnya diambil alih oleh Hasan Nasrallah.
Di tahun yang sama, muncullah tokoh Sunni baru, dan Ahlus Sunnah Lebanon pun mulai berkumpul di sekitarnya. Dialah Rafiq Al Hariri yang menjabat sebagai PM Lebanon tahun 1992 hingga 1996. Ia mulai membangun kembali Lebanon, dan mendapat dukungan dari banyak warga Lebanon.
Pada tahun 1996, Zionis Israel melakukan agresi brutal atas Lebanon, yang dikenal dengan operasi ‘Grapes of Wrath’ (Anggur Kemarahan). Sejak itu, jiwa patriotisme warga Lebanon mulai berkobar untuk melepaskan diri dari penjajahan Israel. Hizbullah pun mengumumkan pembentukan pasukan-pasukan Lebanon untuk melawan musuh Zionis. Pasukan tersebut adalah gabungan dari berbagai kelompok Lebanon yang bermacam-macam, akan tetapi mayoritas anggotanya adalah dari Ahlus Sunnah yang mencapai 38%, sedangkan Syi’ah 25%, lalu Druz 20% dan Nasrani 17%.
Serangan-serangan pasukan Lebanon mengakibatkan ditarik mundurnya pasukan Zionis dari sebagian besar wilayah selatan Lebanon pada tahun 2000, kecuali daerah pertanian Shebaa. Hizbullah akhirnya menduduki seluruh wilayah tersebut, dan menolak keinginan Tentara Nasional Lebanon untuk menyebarkan pasukannya di wilayah tersebut. Bahkan Hizbullah mulai merampas fasilitas-fasilitas milik Ahlus Sunnah di wilayah selatan dan di pegunungan Lebanon. Tidak sampai di situ, Hizbullah juga berani mengganggu sejumlah masjid, seperti Masjid Nabi Yunus, dan tanah-tanah wakaf milik masjid tersebut yang terdapat di daerah Al Jeyah.
Rafiq Al Hariri dan Gerakan Syi’ah
Di tahun yang sama dengan keluarnya Yahudi dari Lebanon, Rafiq Al Hariri dilantik kembali menjadi PM Lebanon. Ini merupakan kesempatan baginya untuk menampakkan diri dan keluarganya, dan menjadi simbol Sunni terkenal yang menjadi pesaing kuat sesungguhnya bagi gerakan Syi’ah di Lebanon.
Kekuatan Hizbullah terus bertambah, dan ia masih mencari kesempatan untuk mendirikan Negara Syi’ah Raya yang didukung oleh Iran dan Suriah. Akan tetapi meningginya pamor Rafiq Al Hariri menjadikan masalahnya sama kuat di mata rakyat Lebanon.
Pada tahun 2004, Al Hariri mengundurkan diri dari jabatan PM akibat perselisihan antara dia dengan orang-orang Suriah yang jumlahnya cukup banyak di tubuh tentara Lebanon. Kemudian terjadilah kejutan berdarah pada 14 Februari 2005 dengan terbunuhnya Rafiq Al Hariri ketika berada dalam kendaraannya di Beirut, di tengah tersebarnya berbagai agen intelijen internasional yang beroperasi di Lebanon, seperti CIA, Perancis, Suriah, Iran dan Lebanon sendiri. Dengan demikian, Ahlus Sunnah Lebanon kembali kehilangan salah satu tokoh besar mereka.
Lebanon goncang pasca terbunuhnya Rafiq Al Hariri, dan jari-jari tuduhan internasional mengarah kepada Suriah. Lalu dari situ masyarakat internasional menuntut agar Suriah menarik diri dari Lebanon. Maka Hizbullah melakukan demonstrasi besar-besaran pada 8 Maret 2005 untuk mempertahankan keberadaan Suriah di Lebanon. Hal ini mendapat respon balik dari gerakan Al Mustaqbal (Future Movement), yang merupakan gerakan keluarga Al Hariri di bawah pimpinan Sa’ad Al Hariri. Ia mendapat dukungan dari Democratic Gathering Block pimpinan seorang Druz: Walid Jumblat, dan Hizbul Quwwah Al Lubnaniyyah yang mewakili kaum Maronit pimpinan Sameer Ja’ja’. Ketiganya melakukan demonstrasi besar pada tanggal 14 Maret 2005 dengan tuntutan keluarnya Suriah dari Lebanon. Sebab itulah demonstrasi tersebut disebut demonstrasi 14 Maret, dan berhasil mengeluarkan Suriah dari Lebanon di bulan yang sama.
Dilema Hizbullah dan Perang tahun 2006
Pasca keluarnya Suriah, Hizbullah menghadapi dilema di Lebanon, lebih-lebih dengan makin kuatnya persaingan antar golongan pasca terbunuhnya Al Hariri. Sebab itulah Hizbullah memilih untuk beraliansi secara politik bersama kekuatan-kekuatan lain untuk ikut serta dalam pemilu parlemen Lebanon bulan Mei 2005. Ia bergabung dengan ketiga kelompok lain yaitu: Gerakan Al Mustaqbal yang Sunni, Gerakan Jumblat yang Druz –meski sangat memusuhi kedua gerakan ini-, di samping juga bergabung dengan Gerakan politik Harakah AMAL. Aliansi ini dikenal dengan aliansi kwartet, dan secara keseluruhan mereka berhasil meraih 72 kursi di Parlemen dari total 128 kursi. Dengan demikian, mereka menjadi mayoritas di parlemen, yang akhirnya menjadi bagian dari pemerintah Lebanon yang dipimpin oleh Fuad Seniora.
Hizbullah telah menekan dirinya sendiri, dan beraliansi dengan kelompok Sunni meski mereka berseberangan. Ini semua demi menampakkan bahwa Hizbullah ikut serta dalam kepentingan Nasional. Padahal Hasan Nasrallah sendiri tidak pernah hadir dalam sidang-sidang parlemen maupun muktamar umum mereka. Ia hanya mengirim utusannya dan bersikap kepada semua pihak sebagai atasan, sebagai persiapan untuk menjadi pemimpin masa depan atas mereka semuanya.
Bukti paling besar atas asumsi ini ialah terlibatnya Hizbullah pada tanggal 12 Juli 2006 dalam melakukan operasi militer melawan Zionis Israel. Hizbullah berhasil menawan dua tentara Israel dan menewaskan delapan lainnya. Semua itu ia lakukan tanpa konsultasi sedikit pun dengan negara yang ia menjadi bagian dalam pemerintahannya; dan juga tidak berkonsultasi dengan faksi-faksi lain yang menjadi sekutunya dalam parlemen. Padahal operasi militer inilah yang menyeret negara seluruhnya –dan bukan hanya Hizbullah- dalam perang melawan Israel.
Serangan Israel dalam Perang Lebanon 2006
Akhirnya meledaklah perang besar yang terkenal pada bulan Juli 2006. Israel menggempur Lebanon terus-menerus selama 33 hari penuh, dengan target menghancurkan bungker-bungker Hizbullah sekaligus Lebanon. Hizbullah melakukan serangan balik kepada Israel dengan menembakkan roket-roket, dan banyak korban yang tewas dari rakyat Lebanon dalam perang ini.
Pihak Israel tidak berhasil menghentikan serangan roket Hizbullah, dan ini dianggap sebagai ‘kemenangan besar’ untuk Hizbullah, sebab Yahudi telah menghentikan serangan udara mereka tanpa berhasil melumpuhkan sistem kekuatan roket Hizbullah, maupun membebaskan dua orang pasukannya yang ditawan Hizbullah.
Perang pun berakhir seiring dengan kehancuran besar yang dialami oleh rakyat Lebanon atas negerinya. Kehancuran tersebut merata di setiap daerah di Lebanon. Di samping itu, rakyat Lebanon merasakan eksistensi Syi’ah yang semakin kuat, yang tercermin melalui Hizbullah yang tetap memegang senjata canggih produk Iran-nya, dan didukung penuh oleh Suriah. Hal ini sengaja diciptakan agar semua orang merasa bahwa negara mereka sedang mengarah ke seorang tokoh Syi’ah tertentu, seiring dengan banyaknya simpati dari umat Islam secara umum atas Hizbullah dalam melawan Israel.
Menurut Anda, apakah yang terjadi di Lebanon setelah itu? Apakah langkah-langkah yang ditempuh oleh Syi’ah dalam skenario mereka? Bagaimana visi Hasan Nasrallah tentang masa depan Lebanon? Mengapa Hizbullah kalah dalam pemilu parlemen bulan Juni 2009 padahal ia semakin kuat? Dan apakah yang seharusnya dilakukan oleh segenap umat Islam dalam menyikapi ini semua?
Inilah sederet pertanyaan yang perlu penjelasan dan perincian, dan inilah yang menjadi topik artikel kita berikutnya insya Allah, semoga Allah memuliakan Islam dan kaum Muslimin…
Prof. DR. dr. Raghib As Sirjani
[1] Yaitu ajaran yang dicetuskan Khumaini untuk merubah sikap kaum Syi’ah yang semula tidak meyakini adanya perang sebelum munculnya Imam Mahdi mereka (yakni Imam ke-12 yang diyakini masih ghaib sejak 12 abad lalu). Dengan wilayatul faqih, Khumaini mengatakan bahwa posisi Imam Mahdi untuk sementara diambil alih oleh seorang faqih (ahli agama) -yang dalam hal ini adalah dirinya-, untuk memimpin kaum Syi’ah. Nah, dengan jabatan tersebut Khumaini bertindak layaknya Imam Mahdi dan berhasil merubah kaum Syi’ah menjadi kaum radikal dan revolusioner hingga mau berperang demi ambisi pribadinya.