Karena sudah terbukti ber-keleus-keleus, maka ketika melihat para orang sepertinya hebat di Facebook, saya tidak langsung merasa bahwa semua dari mereka hebat di kenyataannya. Termasuk hebat menulis, hebat menasehati, hebat menyindir, hebat mendata dan seterusnya.
Pernah waktu masih menjadi mahasiswa, di depan rumah, saya ngobrol dengan sahabat saya seorang pengusaha buku. Moga beliau makin sukses. Saya teringat se-keleus perkataan beliau, “Saya ga bakal menilai satu individu Facebook lebih tepat, sampai saya ketemu langsung orangnya.”
Perkataan itu terbawa sampai sekarang. Hukum status tidak 100% adalah hukum zahir. Lebih baik ketemu langsung kalau mau menelusuri. Atau minimal tahu apa kata temannya tentangnya kalau mau tahu tentangnya.
Kita membaca karya ulama, tapi apa perlu kita bertemu mereka? Tidak perlu. Tapi kita sepakat sama-sama, para ulama itu mereka pintar beneran. Bukan cuma pintar di tulisan. Tapi insya Allah pintar beneran. Ulama kontemporer, bisa kita lihat malah video ceramahnya. Itu hukum zahir. Jelas.
Benar-benar kita akan menemukan banyak hal kalau bertemu dengan orangnya langsung. Yang tadinya kita kira buruk, rupanya ia lebih buruk. Yang tadinya kita kira baik, rupanya ia lebih baik.
Yang tadinya status-statusnya cetar membahana, ternyata pas kita temui, ia bukan apa-apa.
Yang tadinya statusnya anteng dan biasa, pas kita temui, ternyata ilmunya luar biasa.
Di Facebook, kita bisa menjelekkan siapapun. Why? Karena tidak ketemu. Biasanya kalau di kenyataan, aura orang berilmu itu beda. Tatapan matanya beda. Lidahnya beda.
Saya melihat beberapa dari kita sudah terlanjur menjelekkan seorang ustadz yang senior saya di kampus. Menjelekkannya ya sudah jelas dia. Kalau di al-Qur’an, Allah Ta’ala tidak menyebut kejelekan individu langsung dengan nama mereka kecuali segelintir nama. Biasanya cukup menyebut sifat-sifat saja. Kalau di Facebook, sudah jelas siapa dimaksud. Bahkan ada yang secara straight bilang di kotak komentar bahwa ustadz ini bukan “Ahlus Sunnah”.
Syukurlah saya pribadi sudah bertemu dan tahu benar kadar keilmuan beliau, serta sedikit pemetaan antropologi sosialnya. Memang kadang tidak suka dengan statusnya, tapi saya tahu itu pemancingan untuk pembelajaran. Di Facebook itu, golongan yang paling sensitif adalah Salafi. Dikit-dikit langsung membukit. Ada bagusnya. Namun ada jeleknya. Jeleknya: jadi mudah dimainkan. Mudah disetir ke arus tertentu. Mudah tersinggung kalau bicara manhaj dan bid’ah.
Rekan yang bisa mencap seperti di atas, kita sendiri tidak tahu bagaimana dia di kenyataan dan sudah menghadapi apa. Dan dia pun tidak tahu sang ustadz bagaimana sebenarnya.
Ustadz yang dimaksud, ya yang pernah mengatakan buat anak-anak lulusan kampus Syariah: “Jangan mau disetir oleh individu tertentu.”
Teman-teman yang hebat di Facebook, bisa jadi saat kita temukan: lebih hebat, atau hilang kehebatannya. Yang model kedua ini, kadang berupa ahli diskusi di Facebook, ahli tajrih, atau ahli (you name it by yourself).
Jangan mau hanya terlihat pintar.