Ibn Khaldun, juga Imam al Mawardi, menyatakan bahwa kekhilafahan adalah keniscayaan dan merupakan ketentuan syariah. Selama sekitar 100 tahun umat Islam hidup tanpa khalifah, setelah dihancurkan oleh mereka yang meyakini gagasan nasionalisme-sekuler. Namun, banyak orang yang mendambakan kembalinya khilafah tidak mengemukakan cara memulainya. Untuk itu, harus dipahami dulu sebab-musabab keruntuhan kekhalifahan terakhir, Daulah Utsmani pada 1924. Kalau tidak, maka yang ada adalah psikologi ketidakberdayaan seperti yang terjadi selama ini.
Muslihat
Pertama-tama harus dimengerti, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdalqadir-As Sufi dalam The Return of the Khalifate (1996), keruntuhan Daulah Utsmani bukan karena kekalahan militer, melainkan karena muslihat kapitalisme. Daulah Utsmani dihancurkan melalui jerat utang tak tertanggungkan. Dia dipaksa melakukan reformasi total setelah sekitar 50 tahun ‘digarap’, dan berakhir dengan tunduk sepenuhnya pada sistem “negara fiskal” (integrasi demokrasi-kapitalisme).
Strategi kaum kapitalis dilakukan melalui dua mata pisau: pelaksanaan proyek-proyek nasional dan penyediaan kredit oleh perbankan, terutama sejak Sultan Mahmud (1808-1839) yang silau akan Eropa. Kita mengenalnya sekarang sebagai “utang negara”. Proyek utamanya antara lain pembangunan jaringan kereta api Orient Railway yang menghubungkan Eropa-Asia; dan pembangunan Istana Dolmabahce yang megah, menggantikan Topkapi (1815).
Akibat jerat utang tiap kali otoritas di Istanbul terpaksa mengambil kredit untuk proyek baru atau menyelesaikan kredit-kredit lama. Tentu, tidak dengan cuma-cuma, tapi dengan syarat-syarat tertentu: bunga yang makin mencekik (60 persen) dan setelah dinyatakan bangkrut, harus meliberalisasi politik dan ekonominya.
Pada 1875, Sultan Abdul Aziz dipaksa memoratorium utangnya kepada perbankan sebesar 200 juta pound. Setahun kemudian, titik menentukan itu pun tiba: Istanbul dinyatakan bangkrut, dan dipaksa membentuk ‘Komisi Internasional’, yang mewakili para pemodal asing untuk memastikan pembayaran utang-utang.
Belakangan, 1908, menjelang jatuhnya Sultan Abdul Hamid II karena manuver kekuatan nasionalis liberal Turki Muda, sebuah lembaga sejenis Administration of Ottoman Public Debt kembali dibentuk. Dalam 16 tahun selanjutnya sampai kudeta oleh Kemal Attaturk, 1924 Daulah Utsmani dipimpin sultan-sultan boneka. Pada tahun 1922, kekhilafahan dipreteli. Jaringan bankir dari Prancis, Inggris, Austria, Jerman, dan Swiss dari keluarga-keluarga Rothschilds, Cassel, Barings ada di balik semua ini.
Rongrongan oleh perbankan bukan cuma di Istanbul, tapi juga di salah satu provinsi utamanya, Mesir. Ada tiga proyek besar yaitu pembangunan Terusan Suez, Dam Aswan, dan industri gula, yang disodorkan kepada Khadive Ismail, gubernur Utsmani di Kairo. Dimulailah investasi perbankan yang akhirnya menjerat Muslim Mesir dalam utang nasional sampai hari ini.
Khadive Ismail mengambil kredit kepada Cassel untuk pabrik gula itu sebesar 7 juta pound, dengan bunga tujuh persen per tahun. Pada 1873, sindikasi Bischoffseim memberikan kredit kepadanya sebesar 32 juta pound, dengan bunga sama: tujuh persen. Karena jerat utang yang makin menyulitkan, Khadive Ismail dipaksa melakukan ‘swastanisasi’, menjual saham Terusan Suez kepada Pemerintah Inggris sebesar 4 juta pound, sambil menambah kredit lagi sebesar 8 juta pound dari Anglo-Egyptian Bank.
Pemerintah Mesir, pada 1876, memiliki pendapatan nasional hanya sebesar 19 juta pound, tapi utangnya mencapai 91 juta pound. Dan kelak, sekitar dua dekade kemudian, di bawah bendera pembaruan Islam, Muhamad Abduh menghalalkan riba (1899), dan segera mengikutinya pada 1900, dengan berdirinya Post-Office Saving Bank dan, pada 1902, Agricultural Bank.
Kini bukan saja pemerintah, tapi para petani dan rakyat kebanyakan dijerat utang. Mesir ketika itu ada di bawah Gubernur Lord Cromer, aslinya Kapten Evelyn Barings kaki tangan bankir dari Keluarga Barings yang mengangkat Abduh menjadi Mufti Al Azhar, 1899. Beberapa saat kemudian dia menghalalkan riba, yang memungkinkan berdirinya dua bank tersebut.
Bermainnya para bankir ini mempercepat ‘pembusukan’ dari dalam, yang berlangsung melalui serangkaian ‘reformasi’ (tanzimat) di masa Sultan Abdul Majid I dan Abdul Azis (1839-76), sampai titik kebangkrutan di atas, dengan dalih modernisasi. Beberapa elemen terpenting dari tanzimat adalah diadopsinya doktrin persamaan hak bagi warga non-Muslim, yang berimpilkasi penghapusan segala bentuk pajak atas dasar syariah: jizyah (1839).
Selain itu, penghapusan sepenuhnya hukum dzimmi (1857), izin pemilikan tanah bagi orang asing (1867), pengenalan dan penerapan sistem peradilan sekuler, nizamiyah (1869) menggantikan peradilan syariah, dan pencetakan dan peredaran uang kertas kaime saat Istanbul dinyatakan bangkrut (1876), setelah pecobaan pertama (1839) ditolak umat. Sebelum itu semua, pada 1826, Sultan Mahmud lebih dulu dipaksa membubarkan tentara jihad, Janissari; dan memisahkan pendidikan Islam dan sekuler.
Dari tanzimat pula perlahan-lahan terbentuk suatu kelas birokrat, Memurs, menggantikan otoritas lokal otonom para amir. Kelas Memurs adalah orang-orang berpendidikan modern dan pro-sekularisasi dan westernisasi. Dengan kata lain, sejak awal reformasi dirancang dengan satu tujuan akhir: dipaksanya Istanbul untuk meninggalkan nomokrasi Islam, dan menggantikannya dengan demokrasi, membentuk ‘negara fiskal’. Kini Republik Turki adalah satu negeri ‘pariah’ di Eropa: negara berkembang, utang luar negeri besar, dan inflasi tertinggi di dunia.
Tinggalkan Kapitalisme
Dari sini kita dapat melihat kapitalisme-lah yang menghancurkan DaulahmUtsmani; satu kekuatan yang sampai hari ini juga melumpuhkan eluruh umat Islam di dunia. Karenanya, untuk kembali menegakkan Islam, proses yang sebaliknya harus dilakukan: tinggalkan kapitalisme dan kembali kepada muamalah.
Simbol dan kekuatan utama kapitalisme adalah alat pembayaran uang kertas dengan mesin perbankannya. Dengan keduanya kredit dapat diciptakan secara tak terbatas dari kehampaan, dan secara ampuh menjadi alat penindasan. Uang kertas adalah secarik kertas tanpa harga kecuali nilai legal angka nominal di atasnya yang dipaksakan oleh ketetapan hukum.
Dalam Islam, kebebasan yang sejati direpresentasikan dalam kebebasan setiap orang untuk memilih sendiri alat pembayaran. Dan, ketika kebebasan itu tersedia, semua orang memilih emas dan perak, dinar dan dirham. Kembalinya dinar dan dirham akan mengawali berakhirnya kapitalisme dan cengkeramannya terhadap dunia Islam. Dinar dan dirham memprasyaratkan kembalinya otoritas di satu sisi dan mengembalikan muamalah di sisi lain.
Tafsir atas Surat An Nisa ayat 59 (“Taatilah Allah, Rasul, dan Ulil Amri di antaramu”) dari Imam Al Qurtubi memberikan petunjuk akan keharusan menegakkan otoritas Islam: umat Islam harus mengorganisasi dirinya di bawah kepemimpinan seorang amir, dengan beberapa tugas pokok. Rasulullah SAW juga berpesan begitu: “Jika ada tiga orang Muslim atau lebih, maka satu di antaranya harus diangkat menjadi amir di antara mereka.”
Tugas seorang Amir, menurut Imam Qurtubi, adalah (1) mencetak serta menjamin kemurnian dan kebenaran timbangan dinar dan dirham; (2) menjamin dan menjaga kebenaran takaran, ukuran, dan timbangan di pasar; (3) menetapkan dan mengotorisasi dua Shalat Id (Idul Fitri dan Idul Adha) dan Shalat Jumat; (4) menunjuk petugas zakat, menarik, dan mendistribusikannya menurut ketentuan yang ada, serta; (5) menyiapkan diri untuk memimpin jihad saat diperlukan, dan mengumpulkan dan membagikan ghanimah.
Dari sini dapat dipahami dengan jelas kaitan antara otoritas Islam serta muamalah dan ibadah. Dua elemen dasarnya adalah pengembalian dinar-dirham dan penegakan rukun zakat, yang hanya dapat dijalankan di bawah suatu amirat. Zakat adalah sedekah yang harus diambil (dengan otoritas) dan bukan diserahkan secara sukarela seperti yang dipraktikkan saat ini. Zakat juga hanya bisa dibayarkan dalam emas dan perak (‘ayn)dan bukan dengan uang kertas (surat utang, dayn). Sekali otoritas berdiri, mumalah dan rukun akat akan kembali, kapitalisme dapat mulai diakhiri; dan bukan justru diasimilasi dalam ‘bank Islam’ dan ‘negara Islam’.
Zaim Saidi