Bebererapa waktu lalu seorang kawan melontarkan kalimat diatas. Fenomena diatas memang nyata adanya. Ini memang sebuah fenomena yang sepertinya harus kita cermati dengan baik dan pandangan yang bijak. Fenomenan ‘Jodoh di Tangan Guru Ngaji’ ini seolah sudah menjadi tradisi yang mebuat beberapa perempuan ‘manja’ dan sekelompok laki-laki ‘ngambek’ karena katanya ini membuat ribet urusan.
Kenapa disebut beberapa perempuan itu manja? Sebab sering ditemukan bahwa ada banyak perempuan yang menggantungkan hal ini kepada guru ngajinya saja. Pokoknya madep mantep nunggu dari sang guru. Menutup pintu-pintu yang lain. Padahal di waktu yang sama ada beberapa orang lain yang juga menggantungkan diri dengan sang guru. Sang guru sendiri di waktu yang sama juga mempunyai amanah lain yang tidak kalah penting. Ada keluarga yang harus di harus diperhatikan, pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan, dan lain sebagainya. Seandainya hingga target tertentu tidak kunjung ada panggilan dari sang guru, yang terjadi adalah si murid bingung kelimpungan dan akhirnya menerima siapapun yang datang.
Sedangkan tentang sekelompok laki-laki yang ‘ngambek’, kasusnya berbeda. Ribetnya sistem dengan guru ngaji membuat mereka memilih menggunakan cara sendiri. Sebagian yang masih ahsan memilih untuk dicarikan orang lain bukan guru ngaji. Hal ini bisa ditoleransi. Tidak baiknya ada sebagian yang lebih memilih untuk mendekati orang yang diinginkan dengan cara pribadi. Akibatnya, terjadi hubungan yang tidak ahsan. Tidak mau disebut pacaran namun pada kenyatannya sering berhubungan. Hingga muncullah istilah nantikan di batas waktu.
Hal-hal diatas sejatinya cukup membuat kita harus kembali mengevaluasi diri. Bagian mana yang harus diperbaiki. Agar semuanya baik dan tidak menimbulkan fitnah. Fenomena ‘Jodoh di Tangan Guru Ngaji’ tidak seharusnya terjadi bila fungsi ini bisa dikembalikan ke rumah masing-masing. Artinya orang tua yang menjadi pemilik amanah anak perempuan mempunyai kemampuan yang mumpuni untuk menjalan fungsi mencarikan jodoh untuk anaknya. Sehingga para anak perempuan bisa dengan tenang mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Ini adalah hal ideal yang diharapkan.
Hal ideal semacam ini masih jarang kita temui dalam kehidupan nyata. Masih banyak orang tua yang belum cukup faham poin-poin penting apa yang harus diperhatikan saat mencarikan pasangan untuk anak perempuannya. Tidak jarang orang tua yang lebih mementingkan urusan materi, dibandingkan dengan kefahaman agama dari laki-laki yang datang meminang anak perempuannya.
Kembali kepada fenomena ‘Jodoh di Tangan Guru Ngaji’. Fenomena ini ada salah satunya karena ada banyak perempuan baik yang tidak menemukan fungsi ‘mencarikan pasangan yang baik’ dalam keluarganya. Akhirnya memilih guru ngaji sebagai salah satu perantara untuk melakukan fungsi tersebut. Artinya ini bukan suatu hal yang saklek harus dilakukan. Apabila keluarga punya kemampuan untuk menjalankan fungsi itu dengan baik, maka akan lebih baik melalui keluarga. Sebab bagaimana pun orang tua lah yang punya kewajibab untuk itu. Keluargalah yang mempunyai kewajiban untuk saling menjaga dari keburukan yang dapat membawa ke api neraka.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, penjaganya malaikat yang kasar, keras, lagi tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.(At-Tahrim: 6)
Maka sejak saat ini, baik yang sudah berkeluarga atau belum, mari saling berjanji untuk menjadi keluarga dan orang tua yang amanah. Menjalankan fungsi sesuai perannya. Agar nyala-nyala dakwah kembali menyala dari tiap-tiap lentera.