Kasus Kepolisian New York dan Islam Amerika

Hari-hari terakhir saya di Indonesia minggu lalu dipenuhi oleh berbagai undangan wawancara, atau minimal pertanyaan-pertanyaan seputar berita yang dilangsir oleh beberapa media, termasuk Huffington Post, bahwa Kepolisian New York (NYPD) menuduh semua masjid-masjid di New York sebagai “terrorism hub” atau tempat-tempat terrorisme.

Pemberitaan ini tentunya tidak saja kembali merusak citra Amerika di mata masyarakat Islam, baik di AS sendiri, maupun di berbagai belahan dunia. Tapi juga Nampak kontras dengan ceramah-ceramah agama yang selama ini saya sampaikan di berbagai tempat di Indonesia bahwa AS, termasuk pemerintahannya, cukup toleran dalam menyikapi perkembangan Islam di negara ini.

Sesungghnya, berita ini bukan sesuatu yang baru. Associated Press (AP) beberapa waktu lalu pernah membuat laporan yang cukup menyeluruh perihal keterlibatan NPYD dalam ‘surveillance’ atau ‘monitoring’ komunitas Muslim, termasuk masjid-masjid, sekolah-sekolah termasuk organsiasi-organisasi pelajar atau Muslim Students Association, dan bahkan tempat-tempat dagang komunitas Muslim.

Bagaimana Kami Menyikapinya?

Kami menyadari bahwa peristiwa 11/9 di tahun 2001 lalu memang telah menjadikan beberapa pihak di AS, termasuk kalangan pemerintahannya, kelabakan dan panik. Maklum bahwa Amerika yang super power itu belum pernah bermimpi akan mendapatkan serangan sedahsyat itu, apalagi dari sebauh kelompok yang sangat tidak masuk perhitungan.

AS dengan segala kemampuan dan kekuatannya berupaya melakukan berbagai gebrakan, yang tidak saja merubah kehidupan Amerika sendiri, tapi juga merubah wajah dunia kita. Berbagai kebijakan domestik, khususnya dalam bidang pengamanan dalam negeri (Homeland Security), diciptakan untuk menjaga agar serangan terorisme seperti yang terjadi di bulan September 2001 itu tidak lagi terulang.

Bahkan Amerik Serikat ketika itu di bawah komando Presiden Bush melakukan berbagai kebijakan luar negeri yang sangat tidak popular, termasuk penyerangan militer terhadap Afganistan dan Irak, dengan alasan membasmi akar-akar terorisme (khususnya pergerakan Al-Qaidah) di negara-negara tersebut. Bahkan program drone atau penembakan dengan pesawat robot juga dilakukan di negara-negara berdaulat penuh, termasuk Pakistan dan Yaman, demi memburu para teroris.

Kepanikan itu tentunya tidak saja terjadi pada tataran pemerintahan pusat (Fedaral) AS. Tapi juga pada tataran pemerintahan negara bagian, termasuk kota (State and City). Tentu dalam hal ini, New York adalah negara bagian dan kota yang paling berkepentingan. Maklum New York memang adalah kota dan negara bagian yang paling bersentuhan langsung dengan persitiwa 11/9 itu.

Berbagai kebijakan, termasuk kebijakan kepolosian, tentunya menjadi semakin ketat dan bahkan boleh jadi tutup mata terhadap realita bahwa nilai dasar negara ini adalah menjaga “hak-hak sipil” masyarakatnya. Dan ini biasanya terjadi ketika mindset “state of war” (dalam keadaan darurat/perang) semakin menguat di benak para pengambil kebijakan.

Reaksi Umat Islam

Perlukah umat ini resah? Atau mungkin digeluti oleh rasa khawatir dan takut? Atau mungkin juga harus gerah dan marah?

Mungkin secara sepintas memang ada perasaan-perasaan seperti itu. Bahkan ada semacam perasaan ‘betrayal’ atau pengkhiatan kepada komunitas Muslim, karena selama ini komunitas Muslim berusaha semaksimal mungkin untuk membangun relasi dan kerjasama yang baik dengan pemerintah AS, termasuk pemerintah kota New York dan bahkan dengan NPYD.

Oleh karena itu sebagian komunitas Muslim di New York memang mengambil jalan “strict opposition” dan bahkan cendrung melakukan “boycotting” terhadap berbagai upaya pemerintah kota New York untuk membangun relasi dan kerjasama dengan komunitas Muslim. Masih teringat ajakan memboikot acara sarapan pagi bersama tokoh-tokoh agama (Clergy breakfast) di kota New York, yang merupakan tradisi akhir tahun di kota ini.

Akan tetapi kami juga selalu diingatkan hal-hal sebaliknya dari apa yang kita dengarkan, baca atau dapatkan dari sumber-sumber media massa itu. Di antara hal-hal yang perlu saya sampaikan di sini adalah bahwa tidak semua pemberitaan media itu selalu 100% akurat. Minimal ada cara penyampaian yang bersifat “berlebih-lebihan” sehingga nampak sesuatu yang menakutkan.

Kata memonitor masjid-masjid misalnya, seolah masjid-masjid semuanya sengaja dimonitor karena masjidnya. Padahal, yang benar adalah bahwa kota New York adalah kota kamera. Setiap sudut di kota ini ada kamera dan diperhatikan oleh pihak pengamanan, bahkan kantor walikota sekalipun. Namun, apakah kamera itu ditujukan oleh memonitor? Tentu tidak.

Saya sendiri menanyakan hal ini kepada kepala Kepolisian New York, Mr. Kelly, dan mengatakan bahwa kamera-kamera itu sebebenarnya menjadi program keamanan kota New York sejak 11/9 dan merupakan program umum. Tapi kalau di sebuah tempat ada laporan intelijen yang kuat akan adanya pihak/individu yang perlu diamati maka menjadi keharusan pihak keamanan untuk melakukan monitor secara dekat dan khusus.

Lebih dari itu, di lain pihak terjadi berbagai kebijakan pemerintah AS dan negara-negara bagian, termasuk New York, yang sangat mendukung perkembangan Islam. Untuk kota New York, khususnya di Kepolisian NY atau NYPD, komunitas Muslim semakin mendapatkan tempat yang setarap dengan kelompok-kelompok lainnya. Ada sekitar 1700-an anggota NYPD yang beragama Islam, termasuk polwan, dengan kebebasan menjalankan agama yang diyakininya. Polwan NYPD bebas menjalankan syariat hijab yang diyakininya.

Sejak 4 tahun terakhir, saya sendiri seringkali diajak untuk memberikan presentasi-presentasi Islam, baik kepada anggota polisi baru maupun kalangan eksekutif NYPD. Bahkan perhelatan pembekalan sehari penuh yang biasa disebut “Immersion program” NYPD, sejak 3 tahun terakhir melibatkan saya sendiri untuk pelatihan khusus Islam kepada calon-calon polisi.

Akhirnya, ada dua hal yang menjadikan saya sendiri perlu sangat berhati-hati dalam menyikapi pemberitaan itu. Satu, perlunya tetap “engaging” (merangkul dan kerjasama) untuk melanjutkan hal-hal positif yang sudah ada. Dua, bahwa momentum da’wah jangan sampai terputus hanya karena sesuatu yang memang pasti terjadi karena situasi (kepanikan) tadi. Tiga, ada kekhawatiran saya bahwa ada upaya-upaya membenturkan komunitas Muslim dengan pemerintah, sehingga menjadi justifikasi kecurigaan yang semakin tinggi.

Pengalaman mengajarkan bahwa ketika da’wah dijalankan akan tumbuh tantangan-tantangannya sendiri. Masalahnya adalah apakah kita harus menghabiskan energi dan waktu untuk khawatir, takut, gerah dan bahkan marah pada tantangan-tantangannya? Atau sebaliknya, justeru yang harus dilakukan adalah melanjutkan “karya-karya” positif yang nyata dalam upaya mengurangi kecurigaan dan kekhawatiran orang lain terhadap agama dan pengikutnya?

Saya memilih jalan yang kedua!

New York, 1 September 2013

Muhammad Shamsi Ali

Chairman masjid Al-Hikmah New York