Bila ada kenalan yang butuh pinjaman uang dan saya pas tidak memilikinya, dengan mudah saya merekomendasikan teman yang lain. Atau paling tidak saya meminjam ke teman tersebut untuk dijadikan piutang terhadap teman yang meminjam. Namun, kasus meminta tolong akan bikin pening manakala si kenalan butuh bantuan dicarikan teman hidup alias jodoh.
Meski saya bukan biro jodoh, entah mengapa ada saja yang meminta bantuan pada saya dan istri untuk soal masa depan ini. Pernah kenalan kami, dan terhitung dekat dengan istri, begitu ingin menikah. Ia blak-blakan ingin pendamping hidup lantaran faktor usia. Usia si pemohon sebenarnya masih empat tahuan untuk sampai ke kepala tiga. Namun, kesadaran dan juga ingin menggenapkan separuh agama lewat pernikahan, menghempaskan rasa malunya selama ini untuk diganti bicara apa adanya.
Pada perempuan itu, ia tengah menghadapi gulana. Bukan sekadar gelisah akibat tren menikah di usia muda yang dilakukan teman-teman kuliahnya. Melainkan, sebuah kebutuhan yang memang tidak bisa ditepiskan. Ini tak ada kaitan dengan mitos lama bahwa perempuan di umur dua puluhan masih selektif dan pelit membuka calon pelamar.
Bila perempuan pertama berhajat karena butuh, lain dengan perempuan berikutnya, sebut saja Navila. Meski umur melewati kepala tiga, ia bergeming untuk menerima setiap lelaki yang datang. Dari yang tampan, saleh, cerdas, kaya, hingga satu etnis, semua belum menggoyahkan harapannya pada sang calon terdamba. Berkali-kali jawaban: maaf tidak bisa bersanding dengan Anda, dilontarkannya.
Telah berkali-kali pula teman-temannya angkat tangan. Navila seperti perempuan ‘angker’ dengan demikian terbangun kewibawaan—yang entah betul-betul kokoh ataukah semata sebuah imajinasi teman-temannya. Seorang teman lebih seniornya menuturkan, rupanya si perempuan salehah di umur tiga puluh tiga tahun ini masih terkesan dengan seorang lelaki.
Lelaki itu pernah dijumpainya dan dikaguminya sekitar empat tahun lalu. Dalam pertemuan sepintas tapi kemudian berubah jadi simpati mendalam. Meski tak seetnis, sebagaimana lazim berlaku dikalangkan keluarga besarnya, Navila menerima lelaki itu. Lelaki yang diekspektasi dan di imajinasi ideal itu merupakan jodohnya. Jodoh yang entah kebutuhan ataukah keinginannya.
Sayangnya, rasa mendalam di hatinya tak sempat diutarakan pada lelaki itu. ia hanya berharap pada penantian datangnya lelaki itu.
Maka, setiap ada lelaki (lain) yang datang, Navila ‘menopengi’ dengan beragam jawaban. Dia masih teringat dan terkenang pada harapannya. Tak salah, memang, sebagaimana Fatimah putri Rasulullah pernah menolaki lelaki saleh semacam Abu Bakar, Umar, dan Utsman,tetapi menerima Ali—lelaki yang pernah diimpikannya. Meski berbeda konteks dan perwujudannya, entah sepertinya kisah Fatimah yang setiap mencari yang pas (baca: sesuai impian) sepertinya memiliki kesamaan dengan Navila.
Meski sama-sama mengejar perintah yang sama—menggenapi separuh agama—tapi ketika pengalaman dan harapan bersenyawa maka bisa lahir dua fenomena berbeda. Pada teman yang lebih muda (perempuan pertama), ia tak rewel memilih. Ia melakukannya karena butuh. Adapun perempuan kedua, meski usianya menjelang pertengahan kepala tiga, ia masih selektif. Menyesuaikan harapan lelaki yang ada untuk disinkronkan dengan keinginannya di masa lalu.
Teman, antara butuh dan ingin memang beda. Jumlah karakter boleh sama, tapi muara dan pencapaiannya amat jauh berbeda.
Oleh: Yusuf Maulana, Yogyakarta