Suatu Ahad. Pagi-pagi sekali saya diminta ibu untuk memetik beberapa helai daun Sukun yang pohonnya ada di sebuah masjid tempat saya biasa menunaikan shalat berjama’ah. Saya sudah familiar dengan masjid tersebut beserta jajaran pengurusnya, karena memang saya aktif di masjid tersebut sebagai salah satu pengurus yang bertanggung jawab pada beberapa program. Jadi cukup familiar dengan keadaan di sana, termasuk tahu apa yang harus dilakukan bila ada keperluan mendadak. Mungkin hal itu pula yang menjadi alasan ibu memilih saya untuk disuruhnya memetik beberapa helai daun Sukun di halaman masjid. Setidaknya karena saya lebih mengerti harus bagaimana teknisnya bila sudah ada di masjid, juga tak sungkan untuk menggunakan beberapa peralatan yang ada di sana.
Tanpa banyak berpikir, saya pun mengiyakan permintaan ibu. Setelah ganti celana, langsung pergi ke masjid. Segera menghampiri pohon Sukun dan memilih daun mana yang akan dipetik. Ibu berpesan untuk mengambil daun yang masih muda, berarti daun-daun yang warnanya masih mudalah yang diincar. Tentunya tak lupa, pilih daun yang kualitasnya bagus. Benarlah demikian adanya mengapa saya yang diminta ibu untuk memetik daun Sukun di sana. Pohon Sukun yang sudah tinggi besar membuat daunnya jadi lebih sulit dijangkau, terlebih lagi yang kualitasnya mulus bagus. Perlu bangku untuk bisa menjangkaunya. Berhubung saya tahu di mana tempat menyimpan bangku, itu sangat memudahkan pekerjaan.
Beberapa saat setelah mengincar daun mana yang hendak dipetik, datanglah seorang bapak berusia cukup tua. Sosok yang sudah sangat familiar, marbot di masjid ini. Dengan gayanya yang khas, beliau menyapa “Mau ngapain A’ Adit?” Saya terus terang saja pada beliau, “Ini, mau minta daun Sukun. Yah, 3 lembar lah.”
“Buat apa?” Tanyanya.
“Ibu minta, katanya buat obat diabetes.”
“Oh, iya. Sok (silahkan, bahasa Sunda -red) aja ngambil. Ibu-ibu ama bapak-bapak juga suka ada yang minta buat obat, kok.” Jelasnya.
“Oh, gitu? Kirain cuma bapak-bapak DKM aja minta buahnya.”
“Nggak lah, bukan cuma bapak-bapak DKM. Banyak yang minta daunnya buat obat.”
Ternyata demikian adanya, tak seperti dugaan saya. Tadinya saya mengira hanya bapak-bapak DKM saja yang kerap memetik manfaat dari salah satu pohon yang ada di masjid ini. Pada pagi yang nyantai itu pun beliau sedikit bercerita tentang rencana penebangan pohon-pohon di bagian Utara halaman masjid, dan salah satunya adalah pohon yang daunnya hendak saya petik ini. Alasannya karena beberapa pohon tersebut dianggap kurang indah dan mengganggu display spanduk yang dipasang. Sekalian beberapa pohon yang “mengganggu” tersebut ditebang, pohon Sukun pun rencananya akan turut ditebang.
Siapa yang akan menebang? Tentu saja beliau yang diamanati sebagai marbot. Namun beliau tak setuju dengan rencana kecil yang diusulkan oleh seorang anggota dewan syuro masjid. Meski itu hanya sebuah rencana kecil, sepintas tak akan ada masalah. Namun segudang pengalaman sebagai marbot membuat beliau mengajukan pendapat lain. Pak Marbot ini tahu betul seperti apa cerita tentang masjid ini setiap harinya, termasuk pohon Sukun yang satu ini. Beliau menuturkan bahwa banyak warga yang memetik manfaat dari pohon Sukun tersebut. Bukan hanya buahnya, tapi juga daun-daunnya. Terutama untuk dijadikan obat. “Banyak orang yang butuh pohon ini. Makanya jangan sampai ditebang.”
Memahami cara berpikir Pak Marbot ini, benar pula adanya. Amat disayangkan bila ditebang sehingga banyak warga yang kehilangan. Mungkin salah satunya adalah ibu saya yang membutuhkan suplemen untuk pengobatan diabetes. Pasti akan lebih sulit bagi kami untuk mencari bahan-bahan suplemen macam begitu. Selebihnya, orang-orang mesti minta sana-sini pada orang yang di tempatnya ada pohon Sukun. Keberadaan pohon tersebut memudahkan orang untuk mendapatkan jalan menuju pengobatan, sehingga keberadaannya bisa dibilang menjadi kebaikan bagi umat. Saya tak tahu siapa yang dulu menanam pohon tersebut, tapi yang jelas pohon tersebut memang semestinya dipertahankan dan dirawat.
Mengingat banyaknya orang yang telah mendapatkan manfaat dari pohon ini, sepertinya sebuah rencana kecil yang digagas oleh salah seorang anggota dewan syuro itu bisa berdampak cukup besar. Mungkin Pak Marbot bukanlah siapa-siapa dibanding seseorang dari jajaran anggota dewan syuro masjid, namun pendapatnya untuk menolak penebangan tersebut telah menyelamatkan keberadaan pohon “sejuta manfaat” bagi warga sekitar. Dalam hal ini, ternyata seorang marbot lebih mengerti keadaan dibanding seorang anggota dewan syuro. Padahal secara hierarkis dan keilmuan jelas beda tingkatan. Pak Marbot tahu bagaimana warga di sekitar sini kerap membutuhkan bagian dari pohon Sukun tersebut, sedangkan anggota syuro tersebut tidak.
Ada pembagian peran, dan tiap bagian sama-sama punya peran penting. Marbot dan pemuda seperti saya berperan menjalankan roda organisasi dari segi teknis, sedangkan bapak-bapak yang di dewan syuro bertanggung jawab untuk pengarahan yang bersifat strategis. Dalam menghadapi pelik permasalahan ummat, ternyata hal-hal kecil pun bisa berdampak besar. Jangankan hal-hal strategis yang dibahas dalam syuro, hal kecil yang sekedar gagasan spontan (seperti penebangan pohon) pun bisa saja banyak yang kena imbasnya. Keputusan marbot seperti beliau pun bisa jadi dampak atau manfaatnya dirasakan oleh orang banyak.
Meski hanya tamatan sekolah lanjutan, bukan berarti menjadi sosok yang tak bisa menebar manfaat. Dengan keterbatasan ilmu yang beliau miliki pun, bisa jadi ada banyak kebaikan yang ditebarkannya, dan banyak sumber manfaat yang berhasil dipertahankannya. Seperti “perjuangan” kecil mempertahankan keberadaan pohon Sukun ini. Meski hanya sebuah pohon, banyak orang yang memetik manfaat.
Ternyata, secuil ilmu bisa jadi sarat manfaat, bergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Menjadi orang kecilan bisa jadi banyak manfaat, bergantung dari bagaimana kita mengupayakannya. Hal kecil dan sederhana bisa jadi kaya manfaat, bergantung dari cerdasnya kita merekayasanya. Begitulah beliau, Pak Marbot.