Keluarga bahagia adalah keluarga yang sibuknya menyelesaikan masalah besar, bukan sebaliknya. Masalah besar adalah tegak atau tidaknya tauhid di dalam rumah tangga. Tegak atau tidaknya hukum Allah di dalam keluarga, sehingga sebagian besar waktu aktivitas anggota keluarga dicurahkan untuk dakwah dan ibadah, bukan untuk yang lainnya. Itulah keluarga bahagia Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan beliau, walau rumahnya kecil dan sederhana, dgn bangga berkata, “Baiti janatii. Rumahku surgaku.”
Sebaliknya saat ini, banyak keluarga yg justru sibuknya dgn masalah kecil. Mereka bahkan mudah bercerai hanya gara-gara masalah kecil yang tak ada hubungannya dengan tauhid. Misalnya, bercerai karena masalah ekonomi, karakter, cara komunikasi, nafkah lahiriah, dan lain yang kecil-kecil. Padahal syariat Islam mempermudah pernikahan dan mempersulit perceraian. Amirul Mukminin Umar bin Khatab pernah marah kepada sahabatnya yang minta cerai hanya gara-gara tidak lagi mencintai pasangannya. Karena bagi Umar itu masalah kecil. Yang besar itu masalah TAUHID. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pulang dan di rumahnya tidak ada makanan, beliau dengan mudah memaafkan istrinya. Karena bagi Rasulullah yang besar itu masalah TAUHID. Ketika nabi Yaqub alaihis salan sakaratul maut, yg dikuatirkan untuk anak-anaknya bukan masalah materi, tapi masalah tauhid (lihat Al Quran ayat 133). Karena bagi Yaqub alaihis salam yg besar itu masalah TAUHID.
Ciri lainnya dari keluarga yang sibuk dgn masalah kecil adalah mereka lebih sibuk mencari uang atau aktualisasi keduniaan lainnya daripada aktivitas dakwah dan ibadah. Sedih dan bahagianya keluarga bukan karena tegak atau tidaknya tauhid, tapi karena yang lainnya. Pikiran, waktu, tenaga, dan perasaan anggota keluarga habis tercurah untuk berbagai pernik dunia. Pantas jika penghuninya tidak berani mengklaim keluarganya sebagai “baiti jannati”, tapi mungkin malah “baiti naarii ” (keluargaku nerakaku). Alhasil, berkah menjadi jauh dan duka menjadi dekat.
Ustadz Satria Hadi Lubis, MM