Di antara tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah hazan (kesedihan hati atau duka cita). Tapi ini bukan merupakan tempat persinggahan yang dituntut atau diperintahkan untuk disinggahi, sekalipun mungkin orang yang sedang mengadakan perjalanan harus menyinggahinya. Sebab di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan kata hazan, melainkan sesuatu yang dilarang atau pun dinafikan. Yang dilarang seperti firman Allah,
“Dan, janganlah kalian bersikap lemah dan jangan (pula) kalian bersedih hati. “(Ali Imran: 139).
Sedangkan yang dinafikan seperti firman Allah,
“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, nicaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al- Baqarah: 38).
Pasalnya, kesedihan hati merupakan tempat pemberhentian dan bukan pendorong untuk mengadakan perjalanan serta tidak ada kemaslahatannya bagi hati. Di samping itu, yang paling disukai syetan ialah membuat hati hamba bersedih, lalu dia tidak mau melanjutkan perjalanannya dan mendorongnya untuk berhenti, sebagaimana firman-Nya,
“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari syetan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita.” (Al-Mujadilah: 10).
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga melarang tiga orang yang sedang berkumpul, sementara dua orang saling berbisik-bisik, karena yang demikian itu membuat orang yang ketiga bersedih hati.
Kesedihan hati bukan sesuatu yang dituntut, tidak ada tujuan dan manfaatnya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berlindung dari kesedihan hati, sebagaimana dalam doa beliau, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekhawatiran dan kesedihan.”
Tapi dari segi kenyataan hidup, memang tempat persinggahan ini tidak bisa dihindari. Karena itu para penghuni surga berucap saat mereka memasukinya,
“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan hati dari kami.” (Fathir:34).
Hal ini menunjukkan bahwa dahulunya mereka pernah mengalami kesedihan hati, selagi masih di dunia, sebagaimana mereka ditimpa musibah-musibah lain tanpa menghendakinya. Sementara Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadits shahih,
“Tidaklah seorang Mukmin ditimpa kekhawatiran, keletihan dan kesedihan hati, melainkan Allah mengampuni sebagian dari kesalahan-kesalahannya.”
Ini menunjukkan bahwa itu semua merupakan musibah yang ditimpakan Allah kepada hamba, agar dengan begitu Allah mengampuni kesalahan- kesalahannya, bukan karena menunjukkan kedudukan kesedihan hati ini yang merupakan tuntutan.
Sedangkan hadits Hindun bin Abu Halah yang berkata mensifati Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Bahwa beliau selalu tampak bersedih hati”, ini hadits yang sama sekali tidak kuat dan di dalam isnadnya ada seseorang yang tidak diketahui. Di samping itu, bagaimana mungkin beliau senantiasa bersedih hati, padahal beliau telah dijaga Allah agar tidak bersedih hati karena tidak mendapatkan dunia dan sebab-sebabnya, dilarang bersedih hati dalam menghadapi orang-orang kafir, dan dosadosa beliau yang lampau maupun yang akan datang sudah diampuni? Lalu apa yang membuat beliau harus senantiasa bersedih hati? Beliau adalah orang yang senantiasa banyak senyum dan manis muka. Begitu pula riwayat yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah mencintai setiap hati yang banyak bersedih.” Isnad riwayat ini tidak diketahui, begitu pula siapa yang meriwayatkannya. Taruklah bahwa ada hadits yang shahih dan ada ayat yang menggambarkan kesedihan, maka maksudnya adalah musibah yang ditimpakan kepada hamba.
Yang pasti para ulama telah sepakat bahwa kesedihan hati di dunia bukan sesuatu yang terpuji, kecuali Abu Utsman Al-Hiry. Dia berkata, “Menampakkan kesedihan di hadapan setiap orang adalah kemuliaan dan tambahan pahala bagi orang Mukmin, selagi kesedihan itu bukan karena musibah yang menimpanya.”