Ini kisah tentang putra sulungku. Anak yang sedang beranjak dewasa. Anak Baru Gede (ABG) demikian orang biasa menyebutnya. Usianya 14tahun. Sekarang naik kelas IX. Usia yang katanya mencari jati diri. Selalu ingin tahu dan coba-coba. Tentang segala hal, tak terkecuali tentang seks.
Sejujurnya, awalnya aku orang tua yang tabu membicarakan persoalan seks secara gamblang pada anak. Entah kenapa, perasaan risih selalu mendera bila memulai untuk berbicara masalah ini. Karenanya ketika kelas VI SD, ia kuikutkan menjadi peserta seminar seks pra remaja, yang diadakan oleh Yayasan Buah Hati, pimpinan psikolog ibu Elly Risman. Lembaga yang sangat concern menjadi pemerhati masalah seks bebas di kalangan remaja.
Aku pikir dengan begitu bekalnya sudah cukup. Hingga aku tak perlu mengulang kembali menjelaskan hal yang kuanggap tabu itu. Karena seminar itu pasti akan membuka wawasannya tentang apa dan bagaimana seks pada kehidupan remaja. Menjadikannya mawas diri untuk tidak berbuat hal yang menyimpang. Membukakan pikirannya akan akibatnya buruk seks bebas yang bisa merugikan dirinya sendiri. Karenanya aku merasa aman-aman saja. Pikirku anakku telah cukup terlindungi.
Sampai pada suatu hari, saat bersantai dikamar, ponsel anakku tergeletak begitu saja di tempat tidurku. Iseng aku membukanya. Bak disambar petir disiang bolong, betapa terkejutnya, ketika kutemukan jejak konten porno yang belum diclose setelah diakses. Entah ia lupa. Hingga bisa begitu cerobohnya meletakkan ponselnya dikamarku. Awalnya apa yang kulihat tampak samar dan kurang jelas, mengingat sebenarnya itu bukan ponsel canggih berlayar besar. Hanya ponsel sederhana berlayar kecil, namun memang ada fitur untuk browsing internet didalamnya.
Saat itu panik tak terkira. Lemas seketika. Bingung dan gelisah. Bertanya-tanya didalam hati sudah berapa jauh anakku mengenalnya. Akupun kembali mengingat prilaku anakku akhir-akhir ini. Yang kerap senang mengurung diri berlama-lama mengunci kamar bersama ponsel kesayangannya. Begitu sering mengisi pulsa senilai 5 ribu rupiah, hanya untuk browsing katanya. Prestasi dan nilai pelajaran di sekolahnya juga menurun drastis. Pantas saja pikirku.
Dari seminar ibu Elly Risman juga aku tahu bahayanya konten porno yang meracuni anak jauh lebih dahsyat dari bahaya narkoba. Kerusakan otak akibat kecanduan pornografi adalah yang paling berat, lebih berat dari kecanduan kokain, Adiktifnya berkali lipat. Pornografi mengenalkan fantasi seksual sebelum waktunya. Memapar jiwa anak-anak belia yang belum siap menerimanya.
Pornografi menimbulkan perubahan konstan pada neorotransmiter, melemahkan fungsi kontrol, juga menimbulkan gangguan memori. Ini yang membuat mereka yang sudah kecanduan tidak bisa lagi mengontrol perilakunya. Perubahan ini memang tidak instant dalam waktu singkat tapi perlahan melalui beberapa tahap yakni kecanduan yang ditandai dengan tindakan impulsif, ekskalasi kecanduan dan akhirnya penurunan perilaku. Dan yang lebih dahsyat, porngrafi dapat memperburuk kemampuan kesehatan fisik, mental, sosial dan disertai pula penurunan kemampuan intelegensia secara umum.
Sebagai anak sulung, tentu banyak harapan indah kusandarkan padanya. Klise mungkin. Menjadi anak sholeh, berbakti, dan bisa menjadi panutan bagi kedua adikknya. Ya…sederet doa dan harapan yang lazim dicita-citakan kebanyakan orang tua. Untuk itu sejak dini ku masukkan dia ke SD Islam Terpadu, sebagai upaya agar fondasi keagamaannya terpatri kuat dalam dirinya. Kupikir waktu 6 tahun cukuplah untuk menancapkan nilai moral di sekolah dasar berbasis agama. Selain itu dirumah aku mendatangkan guru les mengaji, baca dan hafal Al Qur’an. Karena, bila belajar denganku ia segan dan tak mau tertib. Berbeda bila diajar seorang guru. Aku juga tak memberinya fasilitas ponsel selama ia di Sekolah Dasar.
Ketika lulus SD, anakku diterima di SMP Negeri. Inginnya memasukkannya ke pesantren. Kupikir bila bersekolah di SMP Neheri, sayang bila hafalan-hafalan Qur’annya akan hilang menguap begitu saja. Karena selama di SDIT dia berhasil menghapal 3 juz Al Qur’an. Alhamdulillah. Dan aku tahu pasti ini tak mudah. Tapi anakku tak bersedia masuk pesantren. Hingga aku tak bisa memaksanya dan akhirnya mengijinkannya bersekolah di SMP Negeri. Selama di SMP Negeri, demi menjaga tilawah dan hafalan Qur’annya aku tetap memanggilkan guru kerumah, seminggu 3 kali. Demikian upayaku menjaga fitrahnya agar tetap hanif, lurus, dan bersih.
Namun apa lacur, semula kupikir semua yang kuproteksi dirumah, semua upayaku memberi bekal, akan mampu menjaganya dari gempuran pornografi diluar sana. Ternyata aku salah besar. Ia justru terpapar semua itu dari lingkungan sekolah yang menjadi tempatnya menimba ilmu. Dan semua paparan virus itu mengalahkan suntikan imun berlabel iman yang telah kutanamkan padanya sejak kecil. Ternyata ia tidak steril adanya. Jujur aku shock. Aku merasa sudah menjaganya bak menjaga batu pualam. Kuasuh dengan sangat hati-hati. Namun toh aku kecolongan juga. Satu lagi tantangan menjadi orang tua. Pengalaman buruk ini mengajarkanku.
Perlu waktu lama untuk merenung atas apa yang terjadi. Betapa naifnya aku selama ini. Saat itu, aku tak langsung mencari dan menginterogasi sulungku. Keterkejutan dan kesedihan yang mendalam begitu menyesakkan dadaku. Hingga aku rehat sejenak. Berdiskusi dengan ayahnya. Berkonsultasi pada guru mengajinya. Bagaimana menyelesaikan semua ini. Akhirnya diputuskan akulah yang harus bicara padanya. Karena memang dia lebih dekat padaku.
Selang kurang lebih 1 minggu, saat ada waktu lengang, aku ajak sulungku berbicara dari hati ke hati. Sebagai teman dan sahabat. Saat itu tak ada lagi kemarahan dihatiku. Aku lebih tenang menghadapinya. Setelah menyampaikan prolog, aku langsung bertanya to the point padanya tentang segala kekhawatiran akan prilakunya. Tentu saja ia kaget dan risih. Awalnya ia mengelak, dan seperti takut untuk ditanya lebih lanjut. Namun aku meyakinkannya kalau aku takkan marah bila ia jujur dan berterus terang. Begini kira-kira sekilas dialogku dengannya.
Ummi : Boleh tau ga, bang? Berapa sering Abang liat konten porno itu?
Abang : Ya…udah beberapa kali, Ummi…
Ummi : Liat konten apa aja? Video atau foto??
Abang : Hmm…2-2 nya ummi…(sambil terus menunduk)
Ummi : O…(sambil berusaha tetap tenang). Darimana Abang tau gambar dan video itu?
Abang : Dari teman, Ummi. Yang gambar dikirim lewat bluetooth, websitenya juga dikasih tau temen…waktu itu awalnya pas rame video Ariel, Ummi…
Ummi : Hmmm… (nahan nafas). Terus…kalo udah nonton, Abang mau apa?
Abang : Ya…pengen juga kayak gitu, tapi ga tau harus gimana…(makin menunduk menyembunyikan wajahnya)
Aku mau pingsan lagi mendengar pengakuan lugunya. Tapi berusaha untuk tetap tegar dihadapannya..
Sambil menahan tangis…bla bla..bla…kunasehati ia dengan sepenuh sayangku akan bahaya pornografi yang kutahu. Aku bukakan padanya situs yang menceritakan bahaya pornografi bagi seorang anak remaja sepertinya. Kusuruh ia membacanya, kemudian kami berdiskusi membahasnya. Semua kubuka saja. Tanpa tedeng aling-aling lagi. Toh aku pikir ia sudah tahu semua yang terlarang selama ini. Dengan sepenuh hati pula aku memeluknya, dan mengatakan betapa aku sayang padanya, tak ingin ia terperosok dalam keburukan. Dan minta ia berjanji memutus semua prilakunya demi masa depannya sendiri.
Abang : (kali ini sambil menangis) Maafin Abang ya, Ummi… Abang janji ga akan berbuat lagi. Abang malu sama Ummi. Malu juga sama Allah. Ini HP-nya Ummi sita aja. Abang ga mau pake HP lagi, ga internetan di warnet lagi, kalo ngenet dirumah aja, Ummi liatin aja deh. Abang janji, Abang ga mau kecewain Ummi lagi… Beneran, Ummi… Abang janji…
Tangisnya terus berurai..
Demikian sekilas dialogku dengannya. Sesaat lega karena bisa mengorek kejujuran darinya . Betapapun pahit mendengarnya, itu adalah tamparan sekaligus tantangan bagiku dalam menjalani lakon sebagai orang tua. Apa yang kuberi selama ini padanya, ternyata masih jauh dari cukup. Kejadian ini menggambarkan betapa menjadi orang tua di era ini tidaklah mudah . Orang tua perlu menjadi sahabat bagi anak. Menjadi teman yang menyenangkan untuk diajak bicara.
Sejak itu aku selalu memantau hari-harinya. Pulang sekolah tepat waktu. Akupun memfasilitasinya untuk menekuni hobinya memelihara binatang dan bermain gitar. Aku jadikan ini terapi pemulihan bagi ingatan buruknya.
Seperti saat ini ia sedang hobi memelihara hamster. Hingga hari-harinya sepulang sekolah banyak dihabiskan bermain sambil mengurus binatang peliharaannya. Hamsternya berkembang biak. Dari 2 ekor menjadi puluhan ekor. Ia tak lagi senang berlama-lama mengurung dirinya dikamar. Seperti sebelum kejadian ini. Tak lagi minta uang untuk mengisi pulsa sekedar untuk browsing. Ia juga yang meminta dibelikan ponsel yang tak ada fasilitas multi medianya. HP yang hanya bisa digunakan untuk ber-sms dan telepon. Ia menepati semua janjinya. Tentu saja aku senang dengan semua perubahannya.
Sejak itu pula, sepenuh hati kutemani hari-harinya hingga ia menjadi semakin dekat denganku. Sering ia bermanja tidur dipangkuanku, terkadang minta difacial wajahnya, karena sudah mulai berjerawat. Kini aku benar-benar sahabat baginya. Akupun leluasa dan tak canggung lagi bertanya mengenai teman-temannya dan siapa wanita yang ditaksirnya. Meski masih malu-malu bercerita, aku tetap bersyukur semua hal buruk itu berlalu. Tak henti aku berdoa, semoga Allah berkenan menghapus semua gambaran buruk itu dari pikirannya. Mengembalikan lagi ia pada fitrah sucinya.
Akhirnya, aku hanya mampu memohon pada Sang Maha Pemilik. Semoga Allah menjaga anakku selalu. Dimanapun ia berada. Tak mungkin aku mengekornya setiap saat. Tak mungkin mengawalnya 24jam. Aku hanyalah orangtua yang dititipkan. Pasti tak berdaya melawan derasnya arus informasi yang mengepung kehidupannya. Hanya mampu memberinya bekal Iman dan Taqwa. Hanya punya sejumput cinta, untuk mengantarnya menuju kehidupan esoknya yang gemilang…
Aulia Gurdi