Mengenang Sosok Mujahidah Dakwah, Ibu Yoyoh Yusroh
Ibu Yoyoh Yusroh, dilahirkan dalam keluarga yang sangat concern dengan pengamalan syariat Islam. Ayahnya bernama Abdul Somad, seorang guru mengaji, penceramah pada hari-hari besar Islam, dari surau ke surau, masjid ke masjid dan taklim ke taklim di sekitar kampung halamannya, Batuceper Tangerang. Ayahnya selalu mengajak Ibu Yoyoh untuk aktif, kemudian melatihnya pidato dengan teks terjemahan dari Arab Melayu, itu terjadi sejak beliau duduk di bangku SD. Ayahnya juga sering melatih beliau bagaimana caranya menyampaikan ceramah dengan baik, memikat, berkomunikasi dengan massa.
Waktu itu beliau belum berjilbab, masih pakai rok biasa dan kerudung. Beliau berdiri di hadapan ibu-ibu dan bapak-bapak di majelis taklim besar, banyak sekali orangnya. Kebanyakan teman beliau adalah murid-murid dan rekan-rekan Ayahnya mengaji, bahkan guru-gurunya. Ya, beliau jadi akrab dengan mereka kalangan pengajian, dan mereka mengenal beliau sebagai mubaligh cilik.
Sang Ibu, Aminah, adalah seorang guru mengaji. Ibunya selalu menekankan untuk sering-sering mengaji Al Quran. Ketika bulan Ramadhan, saat beliau ingin membantu ibunya di dapur membuat penganan. Ibunya selalu mengatakan; “Sudahlah, Nak, sana pergi saja mengaji. Bikin kue sih nanti juga bisa, gampang dipelajari.” Logikanya, kalau beliau membaca Al Quran, sang ibu juga yang akan mendapat pahalanya. Kalau bulan suci Ramadhan kita targetkan khatam lima sampai enam kali. Gemar dan cinta membaca Al Quran sejak kecil. Meskipun belum paham artinya, seperti Al Kahfi, Al Mulk, Al Waqi’ah beliau sudah hafal sejak kecil. Sang ibu menekankannya, karena itu adalah sunah Rasulullah Saw.
Peran Ibu dan Ayah sangat besar dan berpengaruh untuk perkembangan pribadi, pendidikan dan kondisi beliau hingga sekarang. Beliau berharap dapat menyempurnakan dan meningkatkan kualitas keimanan serta ketakwaan hingga akhir hayat. “Iman, amal dan ketakwaan itu tidak berlaku surut, melainkan harus terus berkembang, dan meningkat ke taraf lebih tinggi. Demikian bila kita ingin akhir hayat kita dalam khusnul khatimah.” tuturnya.
“Saya tidak hafal seluruh Al Qur’an, tapi insyaAllah, banyaklah,” ujar beliau merendah, meskipun di kalangan tarbiyah beliau dikenal sebagai hafidzoh.
Ibu Yoyoh Yusroh kecil sangat senang membaca. Ayahnya juga suka membacakan tentang kisah Nabi dan para sahabat. Waktu SD beliau ingin menjadi sejarawan sehingga beliau masuk Fakultas Adab IAIN dengan jurusan Sejarah Islam. Beliau bersekolah di sekolah-sekolah umum bukan di pesantren. SD dan SMP Negeri, lalu ke PGA pertama di Tangerang, dan ke PGA lanjutannya di Pondok Pinang, kemudian ke IAIN Ciputat.
Sejak sebelum mengenal tarbiyah, beliau sudah aktif di organisasi-organisasi Islam seperti Pelajar Islam. Beliau mempunyai banyak teman, dan tidak sedikit diantara mereka yang memintanya untuk mengajari mengaji. Beliau tidak pernah menolak permintaan teman-temannya itu, kecuali kalau memang betul-betul tidak ada waktu, atau jadwalnya bentrok. Kalau sudah begitu, biasanya beliau akan mengalihkan kepada teman-teman lain.
Ibu Yoyoh Yusroh menikah l985 dengan Bapak Budi Dharmawan. Sang suami sangat mendukung beliau dalam semua kegiatan dakwah. Waktu itu mereka sama-sama masih sarjana muda. Suami dari Fakultas Psikologi Unversitas Indonesia.
Beliau dikaruniai Allah 13 orang anak. Anak pertama laki-laki, kuliah di UGM, Fakultas Ekonomi semester 9 (23 tahun). Anak ke-2 laki-laki, awalnya kuliah di FE UGM juga, kemudian mendapat tawaran beasiswa dari televisi Turki untuk belajar pada Internasional Of University di Sarajevo, Bosnia. Sekarang belum ada jurusan, tapi dia cenderung mengambil Hubungan Internasional. Dia bisa menghemat program studi bahasa Inggris yang seharusnya 8 bulan menjadi hanya 2 bulan. Anak ke-3 perempuan, semester 5 di Fakultas Pertanian, UGM. Anak ke-4 laki-laki, diterima di program studi tingkat SMA atau Mahad, program Al Azhar di Mesir. Anak ke-5 laki-laki, di SMKN Yogyakarta. Anak ke-6 laki-laki, di pondok pesantren Gontor. Anak ke-7 perempuan, di As-Syifa Al Hairiyah, SMIT sekolah punya Qatar. Anak ke-8 laki-laki, di Al Hikmah Citayam yang belum lama ini hafidz Al Quran 30 juz. Anak ke-9 laki-laki, SDIT Al Hikmah Citayam, baru 5 juz hafal Al Quran. Anak ke-10 laki-laki, di Al Hikmah juga, ya, tiga orang sekolah di boardingschool Citayam itu. Anak ke-11 laki-laki, kelas 2 di SDIT Insan Mandiri. Anak ke-12 perempuan, kelas 1 di Jakarta Islamicshool. Si bungsu perempuan 4,5 tahun di TK Kecil. Anak laki-laki 9 anak perempuan 4 orang. Di semua tingkatan SD itu ada mulai kelas enam sampai kelas satu.
Kalau politik praktis, Ibu Yoyoh Yusroh sudah sering diajak kampanye oleh ayahnya di panggung-panggung, dulu ayahnya PPP. Ayahnya sering dipanggil pihak berwajib, bahkan keluar-masuk tahanan karena kevokalannya. Misalnya saja ketika berbicara lantang tentang Keluarga Berencana. “Walaupun Pemerintah menyuruh kita ber-KB, tapi Al Quran tidak!” Dan itu disuarakannya di taklim-taklim, dengan menerapkan langsung dalam kenyataan. Padahal masa-masa itu Pemerintah Orba sangat represif.
Ibu Yoyoh Yusroh sangat terpengaruh dengan perjuangan ayahnya. Dari kecil sudah terbayang bagaimana dunia politik itu, tapi tak pernah terbayang, kalau pada akhirnya beliau menjadi anggota DPR.
Di Partai Keadilan Sejahtera, beliau termasuk salah satu dari 50 orang Dewan Pendiri. Menurut beliau, politik adalah suatu keniscayaan sebagai seorang Muslim. Ketika kita menyerahkan pemerintahan kepada orang-orang yang tidak kuat untuk mensejahterakan rakyat, memperjuangkan keadilan, maka demikianlah kondisi negeri ini. Kita berharap kekayaan Indonesia yang begitu besar dapat dikelola dengan baik, didistribusikan secara merata. Negeri ini sudah kaya raya, tapi salah urus, sehingga kesenjangan antara si kaya dengan si miskin sangat tinggi. Sebelum menjadi anggota Dewan beliau tidak tahu dengan dalam kondisi-kondisi keumatan di Indonesia, tapi setelah tahu suka prihatin sekali melihat kondisi umat, kondisi bangsa yang tidak mendapatkan hak-haknya. Karena terhalang oleh kedzaliman orang-orang tertentu yang memperkaya diri dan kelompoknya.
Dalam parlemen yang tidak homogen, semua punya kepentingan. Kita juga tidak menafikan masih ada orang-orang yang baik di partai lain. Mereka yang bisa diajak kerjasama, tapi lebih banyak lagi (dalam banyak hal) yang tidak sependapat dengan keinginan kita. Kadang-kadang dalam posisi tertentu, umpamanya dalam pengesahan undang-undang, kita tidak sependapat tapi memberikan catatan-catatan. Misalnya tentang undang-undang sumber daya air, undang-undang APBN 2006-2007. Kita ikut kaukus antikorupsi, anggaran pendidikan 26 %, perempuan parlemen.
Kita menganggap parlemen itu bukan saja sebagai mimbar politik, melainkan juga mimbar dakwah. Kita bisa menyampaikan apa yang kita inginkan. Kita bisa belajar banyak di sana, semacam universitas. Ternyata keberadaan kita di DPR itu banyak mendengar, banyak melihat, kemudian bersama teman-teman menganalisa misalnya. Itu bisa mengasah kecerdasan intelektual dan emosional. Jabatan saya sebagai ketua komisi 8 di DPR. Di PKS sebagai anggota Majelis Syuro.
Beliau suka ”menghibur” dirinya di luar gedung DPR apabila menjumpai suatu hal yang tidak disukai, tapi harus terjadi juga. Melihat wajah-wajah yang baik di taklim-taklim, bersosialisasi dan berkumpul dengan orang-orang baik. Mereka yang satu pemahaman dan satu pemikiran dengan kita. Kalau tidak ada tugas dari partai atau sebagai anggota DPR, beliau masih aktif dakwah-dakwah di perkantoran, mengisi taklim-taklim, ceramah di lembaga-lembaga strategis, termasuk sebagai pengurus Yayasan Ibu Harapan di Depok.
Tentang manajemen waktu, beliau mengamalkan apa yang dibacanya dari buku-buku Yusuf Qordhowi, terutama tentang waktu dalam kehdupan Muslim. Yang paling efektif manakala bisa tepat waktu, dan waktu menjadi produktif. Mengikuti cara Rasulullah, bangun sebelum subuh, berinfak, solat tepat waktu, dan merencanakan rencana siang hari sejak malamnya. ”Kalau waktu itu kita rencanakan dengan baik semuanya, insya Allah akan menjadi berkah.” Paparnya.
Terkait pendidikan anak-anaknya, di rumah ada orang-orang dekat, saudara, adik-adik yang ikut mengawasi anak-anak. Untuk hal-hal yang bersifat penting, tidak diserahkan kepada khadimat. Beliau berpikir bagaimana menjadikan mereka sebagai anak-anak yang sehat, intelektual yang memadai. Kemudian, benar bahwa anak-anak itu adalah hamba Allah yang taat. Suami sangat mendukung dalam melaksanakan konsep mendidik anak. Intinya, beliau mendidik anak-anak mengikuti cara Rasulullah.
Sejak mulai hamil, mengandung, melahirkan, menyusui sampai saat anak bisa bicara, dan mengikuti apa-apa yang kita lakukan, beliau mempraktekkan nilai-nilai Islam dalam mendidik anak. Misalnya, melatih anak berpuasa, solat, beraktivitas sosial, bersedekah sejak dini. Anak usia 2,5 tahun mulai diajak untuk berpuasa, begitu usia 3,5 tahun dia sudah terbiasa melakukan shaum di bulan Ramadhan. Salah satu hal yang mengharukan bagi beliau adalah ketika salah satu anaknya yang lulus SMA, kemudian diterima di PTN favorit. Waktu itu beliau mengajak untuk makan bersama, sang anak bilang; “Gak Mi, saya lagi shaum Daud.” Ternyata bagi sang anak shaum Daud itu sudah merupakan kebutuhan dan kenikmatan. ”Semuanya bila kita ajarkan sejak kecil, sungguh sangat bermanfaat. Umpamanya dalam berjilbab, walaupun anak itu masih kecil, tapi karena telah dibiasakan berkerudung, nah kalau dia mau keluar rumah selalu berkerudung.” Lanjutnya
Ibu Yoyoh Yusroh melihat anak-anak yang mampu menghafal Al Quran, ternyata sangat cerdas secara intelektual dan emosional. Terbukti, anak-anak yang di didik menghafal Al Quran, mereka dapat lulus SPMB, sekolah di PTN favorit. Mendidik anak secara Rasulullah itu bagi beliau sangat tepat. Boleh saja kita mengambil teori-teori dari luar, tapi itu hanya sebagai pengayaan.
Tanggung jawab orang tua dalam pendidikan keimanan, mengarahkan mereka mempunyai keimanan yang kuat. Saat anak mengeluh, kita bandingkan keadaannya dengan yang lebih tak beruntung. Sehingga dia tetap bisa kembali mensyukuri nikmat-Nya. Bagaimana mencintai Allah, mencintai Nabi, bukan mengidolakan ibu-ayah yang bisa saja berbuat kekhilafan. Mencintai Al Quran dan para pejuang Islam. Kita juga mendidik anak-anak tentang makanan yang halal.
Pendidikan akhlak; akhlak kepada orang tua, kepada sesama, kepada tetangga. Beliau mendidik anak-anaknya secara secara realis. Jika ada anak yang mengatakan hal-hal jelek, misalnya, beliau tidak akan memarahinya, tapi mengusut dulu dari mana sumbernya. Intinya tidak boleh panik dalam mendidik anak. “Di rumah kami kata-kata penghakiman, hujatan, sesalan atau cemoohan diharamkan.” kata beliau.
Dalam hal keseimbangan dunia dengan ukhrowi, beliau selalu berusaha menikmati semua karunia Allah. Kapan saatnya harus menikmatinya, dan kapan pula harus menahan. Beliau memberikan pengertian kepada anak-anak, meskipun mereka anak anggota DPR, tapi tidak harus selalu pergi sekolah diantar-jemput mobil pribadi. Makan tidak harus selalu di restoran, umpamanya. Beliau sering perlihatkan isi tas; “Nah, ini amplop untuk Palestina, ini untuk infak, ini untuk yatim-piatu. Uang Umi tinggal segini. Kalau menuntut seperti keinginan kalian, mau gak kita pakai uang riba?” Akhirnya anak-anaknya pun bisa menerima kenyataan.
Misalkan, ada anak yang kepingin ponsel, ini biasanya setelah SMP. Itu juga pakai proposal; apa manfaatnya, apa mudharatnya. Ketika kecil anak-anak tidak dibiasakan menonton televisi. Nah, setelah besar, tiga anak mewakili dan bikin proposal bagaimana pentingnya televisi. Tapi itupun untuk acara-acara tententu saja, tidak yang membuang-buang waktu. “Intinya saya masih terus belajar, baik sebagai ibu, sebagai politikus, sebagai wanita solehah,” pungkasnya merendah.
***
Kini, perempuan pilihan itu telah mendahului kita semua, semoga semua kebaikan dan keikhlasannya dalam berbagi, menjadi pahala dan memudahkannya dalam perjalanan menemui Sang Khalik.
Allahummaghfirlaha warkhamha wa’afiha wakafu’anha… Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi dirihai-Nya…
Berikut kenangan ust Salim A Fillah terhadap alm. Ustadazah Yoyoh Yusroh :
“Hanya berkesempatan beberapa kali jumpa Ibu Yoyoh, saya selalu berada dalam perasaan takjub dan malu. Satu saat, sebelum sesuatu acara di mana Ibu Yoyoh dan pak Budi Dharmawan menjadi pembicara serta saya sebagai moderatornya, di belakang pangggung tersaksikan suami istri itu bergandengan tangan, saling bertatap sambil tersenyum, dan saling menyimak ulang hafalan Al Qur’an! MasyaAllah, saya bertanya, berapa juz masing-masing mereka membaca Al Qur’an setiap harinya? Kata Ibu Yoyoh, “Sangat kurang dibanding apa yang harus kami penuhi selayaknya. Hanya 3 juz.” Saya : “Bukannya pak Budi dan Ibu Yoyoh sibuk sekali, bagaimana bisa menyempatkan sebanyak itu?”; “Justru karena sibuk dan banyak menghadapi aneka persoalan serta begitu beragam manusia, maka harus memperbanyak Al Qur’an” kata Ibu Yoyoh.
Disarikan dari buku “30 Perempuan Pilihan Wanita Penulis Indonesia”, 2010, Penerbit Zikrul Hakim, Jakarta dan dari beberapa sumber lainnya