Insya Allah, saya menulis sebuah kisah nyata dari ikhwan yang saya kenal secara langsung, dan saya telah mendapatkan izin dari yang bersangkutan langsung untuk ditulis di media sosial sebagai hikmah dan pelajaran. Saya mohon jika ada dari teman-teman lain yang mengetahui kisah ini untuk tidak berkomentar yang menjurus kepada sang pelaku peristiwa agar aib dan kerahasiaan pribadinya bisa terjaga.
Beliau masih kuliah disebuah perguruan tinggi X. Namun qadarullah, di saat kuliahnya belum selesai ada musibah ekonomi yang menimpa keluarganya. Akhirnya untuk membiayai kuliahnya beliau mengalami kesulitan, bahkan harus juga membantu keuangan keluarga orang tuanya. Beliau telah berjuang keras kuliah sambil bekerja untuk bisa mengatasi semua permasalahannya.
Namun apa daya, masalah semakin sulit dan akhirnya beliau memutuskan untuk berhutang kepada teman-temannya. Orang bilang, gali lubang tutup lubang, walau kenyataannya semakin banyak lubang yang telah tergali dari pada lubang yang telah tertutupi.
Keadaan sulit seperti ini secara alamiah membuat orang kadang tidak bisa berfikir jernih. Beliau bukanlah tukang tilep hutang, yang artinya hutang yang beliau tanggung senantiasa menjadi beban pikiran. Tapi sekali lagi apa daya, kebutuhan dan ujian semakin besar.
Hingga suatu ketika datang sebuah solusi yang sebenarnya tanpa beliau sadari ini adalah awal dari musibah dan fitnah yang jauh lebih besar.
Berawal dari interaksi dengan seorang akhwat di Facebook. Keakraban di komentar dan jempol-jempol like fiktif itu beralih lebih privasi dilanjutkan di inbox. Mulailah tanya-tanya atau diskusi masalah agama, kemudian berlanjut saling curhat.
Sebagai orang yang mengalami musibah, sangat wajar jika beliau ingin berbagi agar beban terasa lebih ringan.
Sang akhwat pun mendengarkan curhatnya dengan seksama. Bahkan kemudian sang akhwat menawarkan bantuan untuk membantu melunasi hutang ke teman-temannya. Untuk membicarakan hal sedetail dan sepenting itu, berlanjutlah terjadi kopi darat. Lanjut lagi makan bersama. Di saat seperti itupun beliau sebenarnya sadar bahwa hal ini salah (khalwat dengan lawan jenis-red). Tapi bagaimana lagi, karena semua ini bagian dari solusi keuangan yang menimpanya.
Sang akhwatpun menawarkan bantuan agar hutangnya lunas dan beliau bisa fokus menyelesaikan kuliah. Bagai sebuah oase di gurun pasir, tawaran itupun beliau terima.
Dan seterusnya dan seterusnya….
Karena untuk menghindari fitnah, beliau memutuskan untuk menikahi akhwat tersebut. Dengan kesanggupan uang seadanya akhirnya pernikahan itupun dilaksanakan di rumah keluarga sang akhwat.
Dan dari situlah mulai muncul keganjilan-keganjilan. Mulai dari malam pertama hingga hari-hari berikutnya beliau merasa ada sesuatu yang aneh dengan sang akhwat. Banyak kebohongan-kebohongan dan ketidakcocokan omongan sang akhwat dengan kenyataan.
Jika dinasehati, sang akhwat menangis seakan-akan benar-benar bertaubat. Tapi kemudian kebohongannya berlanjut lagi.
Ikhwan itu sempat bilang kepada saya, “Pemenang Piala Oscar saja kalah akting dengan akhwat ini…”
Salah satu kebohongannya adalah tempat dia bekerja. Malam itu sang akhwat bilang mau pulang jam 9 malam karena ada lembur di sekolah tempat beliau mengajar.
Ternyata setelah ditunggu sampai jam 2 pagi, sang akhwat tidak kunjung pulang. Beliau akhirnya menjemput istrinya di sekolah tempat dia mengajar.
Dan kenyataan mengagetkan terjadi, ternyata tidak ada nama istrinya tercatat sebagai pengajar di sekolah tersebut.
Beliau akhirnya menyelidiki kampus tempat sang istri mengaku kuliah di sana. Ternyata juga tidak ada alumni tahun lulus istrinya ada namanya di situ. Dicarinya para alumni, dan tidak ada juga nama istrinya di sana.
Selain itu, ternyata banyak orang yang menagih hutang kepada istrinya tersebut. Jadi asumsi awal bahwa uang yang katanya gaji mengajar itu sebenarnya adalah uang hasil menipu hutang ke teman-temannya. Betapa marahnya ikhwan itu kepada istrinya.
Puncak kemarahannya adalah ketika suatu ketika di rumah keluarganya ada seorang anak kecil. Dari dulu diklaim anak tersebut adalah keponakannya, dan ternyata walau sang istri mencoba menutup-nutupi terbongkar pula bahwa anak itu adalah anaknya!
Saya sempat percaya tidak percaya dengan apa yang beliau kisahkan. Sampai saya bertanya kepada beliau pertanyaan sensitif tentang malam pertamanya, “Bagaimana beliau tidak tahu istrinya perawan atau tidak?”
“Ya itu Mas Aris… Saya bilang pemenang Oscar pun kalah…” ujarnya.
Ia menceritakan, di malam pertama itu sang wanita tidak mau memperlihatkan farji-nya. Dan ketika (maaf) awal ‘bertemu’ dia langsung menjerit kesakitan.
Istrinya pun segera beranjak ke kamar mandi dan kembali dengan menunjukkan bekas merah di celana dalamnya.
“Saya yang bodoh gak ngerti apa-apa percaya saja. Padahal bisa saja itu dari obat merah (sejenis betadine-red).”
Keanehan lain adalah sang istri sering menceritakan kisah temannya yang diperkosa sekawanan pemuda. Ceritanya sangat detail sekali sampai-sampai beliau berfikir, “Kok begitu jelasnya istriku tahu kronologi kejadiannya.”
Analisa ikhwan itu, jangan-jangan sang istrilah korban sebenarnya dari kasus pemerkosaan itu. Dan anak kecil tadi adalah anak hasil dari kejahatan pemerkosaan tersebut.
Tidak lama kemudian ikhwan itu menceraikan istrinya.
Sampai saat inipun beliau masih ‘trauma’ dengan musibah yang beliau alami.
Diakhir kisah itu, beliau menyampaikan kepada saya, “Inilah ketika fitnah dan syahwat berkumpul Mas Aris. Fitnah kefakiran, fitnah hutang, fitnah wanita, fitnah inbox (media sosial), dan fitnah-fitnah lainnya berkumpul jadi satu. Saya sampai berpikir, apakah kejahatan seksual di masa lalu bisa membuat orang ‘gila’ seperti itu.”
Semoga kisah ini bisa menjadi pelajaran bersama.