Kompilasi Hukum Islam: ‘Kitab Suci’ Beraroma Kontroversi

Di Pengadilan Agama ada istilah dengan sebutan “hukum positif”. Maksudnya ialah hukum yang sah dan berlaku dalam peradilan Islam untuk seluruh penduduk Indonesia. Dan hanya hukum positif saja yang dianggap berlaku.

Hukum positif yang dipakai di seluruh Pengadilan Agama negeri ini menggunakan undang-undang yang disebut dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI sudah menjadi semacam ‘kitab suci’ yang digunakan oleh para hakim pengadilan agama dalam menentukan hukum dan menghakimi suatu masalah.

Keuntungan

Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Namun anehnya hukum yang digunakan bukanlah hukum murni syariah Islam yang banyak dibicarakan oleh para Ulama dari madzhab Fiqih. Hukum syariah yang berlaku dinegara ini sebatas urusan perkawinan saja.

Makanya bisa dibilang untung, karena dengan adanya KHI akan menambah daftar undang-undang syariah Islam dinegara. Kandungan KHI membahas 3 aspek, yaitu:

[1] Perkawinan,

[2] Per-warisan,

[3] Per-wakafan.

Setidaknya walaupun belum semua aspek kehidupan kita punya payung hukum syariah, dengan adanya KHI maka masih ada bonus walaupun hanya sedikit.

Kerugian

Namun di balik keuntungan adanya KHI ini, ternyata juga ada kerugiannya. Dihitung-hitung dan ditimbang-timbang, agaknya kerugiannya tidak bisa dibilang kecil.

Rupanya ketika diselami lebihjauh, tidak sedikit dari kandungan KHI yang bermasalah, khususnya kalau dilihat dari tinjauan keaslian syariahnya. Isi KHI memang undang-undang positif yang konon berdasarkan syariah. Tapi menjadi tidak positif ketika kita malah menemukan banyak isi kandungannya yang justru malah menabrak-nabrak hukum syariah aslinya.

Banyak pasal-pasal KHI yang sama sekali kurang jelas asal-usulnya. Landasan agak membingungkan bagi kita yang belajar ilmu syariah yang original.

Hukum yang awalnya disusun untuk memberikan kemaslahatan kepada umat, justru malah berbalik menjadi sumber masalah bagi umat. Diperparah lagi, para penegak yang bekerja di Pengadilan Agama itu seringkali bukan pakar di bidang syariah. Agak aneh memang, bagaimana bisa hakim yang kurang paham syariah, lalu harus memutuskan perkara yang kental nilai syariahnya.

Shighat Ta’lik Talak

Dalam masalah Perkawinan yang pasal-pasalnya itu mengambil hampir 2/3 susunan KHI ini banyak menimbulkan masalah, setidaknya menjadi bahan kontroversi. Salah satunya ta’liq talak yang seolah-olah wajib dibaca oleh mempelai pria setelah melakukan akad.

Tentu jadi agak aneh, baru saja selesai menjadi suami, tiba-tiba dia diminta langsung menjatuhkan talak satu kepada istrinya yang baru saja selesai ijab qobul. Kalau benar-benar terjadi apa yang dijadikan syarat, maka talaknya jatuh.

Parahnya lagi, seringkali petugas pencatan nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) kurang mengerti esensi shighat ta’liq talak dan apa konsekuensi berikutnya dalam syariat.

Wajar bila para mempelai pria pun mau lebih tidak tahu lagi konsekuensi hukumnya. Begitu disodorkan secarik kertas dan disuruh membacanya, langsung dibaca dengan suara nyaring. Dia tidak pikir panjang lagi, bahkan malah tidak tahu apa isinya.

Talak Harus Diikrarkan di Depan Hakim Pengadilan Agama

Ada lagi pasal yang aneh bin ajaib, misalnya tentang perceraian pasal 129 hingga beberapa pasal berikutnya. Ternyata menurut KHI, talak tidak sah dilakukan suami kecuali diikrarkan di depan pengadilan di muka hakim.

Padahal semua mazhab fiqih tegas menyebutkan bahwa seorang suami yang mengatakan kata talak kepada istrinya dengan jelas, maka berarti telah resmi menjatuhkan talak. Tidak butuh saksi, tidak butuh wali dan juga tidak butuh ruang pengadilan.

Lucunya lagi, surat cerai yang diajukan suami itu belum diresmikan kecuali setelah dilakuakn pengkajian oleh pihak pengadilan selambat-lambatnya 30 HARI.

Nah loh! Bingung kan jadinya, padahal dirumahnya, sang suami telah mentalak istrinya dengan jelas.

Ahli Waris Pengganti

Masih banyak lagi pasal-pasal yang bermasalah. Termasuk yang paling heboh adalah masalah ahli waris pengganti. Pasal 185 menyebutkan adanya istilah ‘ahli waris pengganti”. Sampai sekarang, saya masih bingung, madzhab fiqih mana yang punya istilah seperti ini?

Redaksi susunan hukumnya pun terbilang agak aneh dan membingungkan. Dijelaskan: “Ahli Waris yang meninggal lebih dulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya….”

Padahal dalam pelajaran ilmu waris yang paling dasar saja kita sudah tahu bahwa kalau seseorang  sudah meninggal lebih dulu, tentu bukan ahli waris namanya. Lha ini, ahli waris kok meninggal?

Terus mau diberikan apa? Padahal jelas dalam syariah hukum dan rukun-rukun waris. Syarat utamanya itu ialah ia hidup ketika si pewaris meninggal. Dalam KHI justru semua itu malah jadi bias dan rancu, siapa pewaris dan siapa yang ahli wari mendapat warisan.

Sebenarnya masalah pasal 185 ini sudah banyak dikritik oleh para ahli dan para sarjana syariah se-Indonesia. Tapi sayangnya sampai saat ini masih belum nampak ada perbaikan. Padahal dampak negatifnyai sudah banyak terjadi. Di antaranya keributan-keributan antara keponakan dan pamannya dalam masalah pembagian waris.

Harta Gono-gini

Yang juga termasuk kntroversial adalah pembahasan harta gono-gini dalam waris. Dalam versi KHI, kalau seseorang meninggal dan punya suami atau istri, harta tersebut sebelum dibagikan kepada ahli waris, harta terlebih dahulu dibagi dua sama rata kepada suami/istri.

Ketentuan ini cukup membingungkan dan terasa aneh. Dan yang aneh lagi, bahwa dalam KHI harta hibah yang diberika orang tua itu malah terhitung sebagai waris, padahal harta hibah sama sekali tidak sama dengan hartwa waris.

***

Kalau dilihat dari sejarah penyusunan KHI, proses ternjadi antara tahun 1985 sampai akhirnya diresmikan oleh Presiden RI pada tahun 1991.

Tahun 1985, Menteri Agama resmi mengeluarkan surat putusan yang berisi perintah untuk menyusun sebuah susunan hukum syariah, yang kemudian surat itu diedarkan kepada beberapa Institut Islam Negeri (IAIN) seluruh Indonesia untuk turut serta merancang pasal-pasal dalam KHI. Lalu tahun 1989, Draf KHI resmi masuk DPR dan disidangkan. Baru diresmikan oleh Presiden tahun 1991.

Awal tahun 80-an, pergerakan dan pergolakan pemikiran Islam ketika juga sedang hangat-hangatnya. Banyak perbincangan baik resmi atau tidak resmi yang mengemuka, khususnya terkait isu ketidakadilan Islam yang digemborkan oleh para aktifis syariah ‘kiri’ dan sejenisnya.

Dan bukan rahasia lagi, kalau sejak tahun 80-an awal itu kalangan aktifis ‘kiri’ telah banyak menduduki posisi penting dalam jajaran Kementerian Agama, termasuk di berbagai universitas dan kampus Islam.

Hazairin, KHI, dan Madzhab Indonesia

Nama yang paling menonjol dalam KHI ialah Hazairin, karena banyak pasal-pasal dalam KHI yang mengadopsi dari pemikiran dan ‘Ijihad’-nya Hazairin ini. Karena memang beliau adalah seorang punya perhatian besar di bidang hukum adat Indonesia, dan banyak melahirkan karya-karya terkait hukum Indonesia.

Salah satu bukunya yang menjadi pegangan panitia penyusunan KHI ialah Hukum Kewarisan Bilateral, dan Hukum Kekeluargaan Nasional. Keduanya dan beberapa bukunya yang lain inilah yang paling banyak berpengaruh dalam penyusunan KHI, hingga memunculkan pasal rancu yang disebutkan di atas pun muncul dari buku ini.

Hazairin, lelaki dari Bengkulu kelahiran 1906 ini memang orang Islam, tapi sayangnya ia bukan lah ahli hukum syariah melainkan ahli hukum adat. Tahun 1935, beliau lulus dari Rechtkundige Hoogeschool, sekolah tinggi kalangan priyayi di bawah pemerintahan Kolonial Belanda, dalam bidang studi hukum.

Yang sangat disayangkan bahwa, karya-karya Hazairin yang banyak dipakai ketika itu yang berkaitan dengan hukum syariah, hanya berdasarkan penerawangannya semata tanpa merujuk kepada pendapat-pendapat ulama yang muktabar.

Beliau dengan enak menafsirkan beberapa ayat yang berkaitan dengan keluarga dan kemasyarakan yang memang itu bidang keahlian beliau. Tapi sayang, karyanya kosong akan rujukan ulama syariah yang muktamad.

Dan beliau lah yang memunculkan wacana madzhab Nasional yang kemudian berubah menjadi madzhab Indonesia yang ia sampaikan pada upacara pembukaan Perguruan Tinggi  Islam di Jakarta, 14 Nopember 1951, karena melihat bahwa fikih-fikih yang dipakai kebanyakan orang saat itu terlalu timur-tengah dan tidak mempunyai rasa Indonesia.

Dari sinilah kemudian bergulir, fenomena-fenomena ‘penundukkan’ syariah kepada adat budaya Indonesia. Jadi bukan budaya dan adat yang tunduk kepada aturan syariah, tapi justru syariah yang disesuaikan dengan adat.

Ayo Mulai Bergerak

Sudah saatnya kini KHI ditinjau ulang dan lebih dikritisi originalitasnya dengan sumber aslinya, yaitu syariat Islam yang baku.

Apaagi saat ini sudah banyak para ulama muda yang ilmunya sudah mumpuni. Tidak sedikit yang menimba ilmu di Timur Tengah dan menjadi ahli syariah. Sudah menjadi kewajiban para ulama yang memang mumpuni dalam syariah untuk memberitahukan umat mana informasi yang benar.

Karena seorang yang punya ilmu, pundaknya masih akan terus terbebani dengan kewajiban menyampaikan sampai informasi itu sampai kepada objek dakwah dengan baik dan benar, serta tidak asal.

Di tataran politik, sudah ada banyak partai yang mengusung dan membela syariat Islam. Tentu peran partai itu sangat besar dalam upanya mengegolkan revisi terhadap KHI ini.

Apalagi hari ini juga bermunuclan para aktifis dakwah yang punya jiwa militansi kuat dalam memperjuangkan syariah. Mereka punya peran besar juga untuk mensosialisasikan pembenahan isi kandungan KHI.

 

Ustadz Ahmad Zarkasih, Lc.