“Banyak partai politik yang mengatasnamakan agama. Perlu direnungkan lagi, apa benar dalam mengejar kemenangan-kemenangan yang sementara itu, bisa kita tinggalkan aturan-aturan yang jelas nashnya dalam agama? tentu tidak. Jika begitu, kerusakan akan jadi bagian kita. Malah menyesatkan label Agama yang kita tempelkan pada papan nama kita. Mari kita buktikan, kita bisa berpolitik untuk menegakkan yang haq, meninggikan kalimat Allah dalam tiap tindakan kita.” (Prawoto Mangkusasmito, Ketua Masyumi 1959)
Tahun 1960 panggung sejarah perpolitikan umat Islam bergetar. Masyumi dibubarkan oleh Soekarno. Sebabnya, Soekarno menuding para kader Masyumi terlibat dalam PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Meski Prawoto menegaskan bahwa Masyumi tidak pernah merestui bahkan menganggap PRRI sebagai gerakan inkonstitusional. namun Soekarno tetap memanggil pemimpin tertinggi Partai Masyumi itu dan mengatakan, “Anda harus mengutuk orang-orang Masyumi yang melanggar UUD.”
Namun tekanan Soekarno dijawab oleh Prawoto dengan bijak, “Kami ingin mengislahkan pertentangan di antara sesama muslim dan kami ingin menyedarkan mereka untuk kembali. Kalau soal mengutuk, sebelum kami mengutuk mereka, kami harus mengutuk Bapak, sebab Bapaklah yang memberi contoh untuk melanggar UUD.” Mendengar itu, Soekarno marah bukan main. 16 Januari 1962, Prawoto bersama petinggi Masyumi lainnya (Muhammad Roem, KH Isa Anshary dll) dijebloskan ke dalam penjara.
Sejak saat itu, riwayat Masyumi berakhir. Rezim Soeharto ternyata tak jauh beda dengan rezim sebelumnya. Meski sudah dilayangkan surat agar Soeharto mau menerima tokoh Masyumi untuk berperan kembali dalam perpolitikan tanah air, kenyataannya justru Parmusi yang tak lain adalah reinkarnasi Masyumi dibatalkan dan dilarang.
Telah lebih setengah abad, umat Islam tercerai-berai. reformasi 1998 yang melahirkan banyaknya partai Islam, kini di tahun 2014 mengerucut hanya 3 partai saja. nampaknya menjual sesuatu yang berbau Islam pada umat Islam sendiri kini tidak laku lagi. Umat Islam sudah tak lagi memiliki militansi sebagaimana saat hari-hari baru setelah reformasi. umat Islam kehilangan taringnya. dan kini, 3 partai Islam yang tersisa itu pun mereka buang jauh-jauh dari penglihatan, mereka kerdilkan. mungkin, kita semua menyadari bahwa itu adalah buah dari kekecewaan yang akut. tapi pernahkah sekali saja kita merenungkan, jika tidak ada lagi yang memperjuangkan Islam di tingkat legislatif dan pemerintahan, akan menjadi apa negara ini? akankah kita rela menjual bangsa ini demi kepentingan orang-orang sekuler, liberal, dan kuffar? relakah kita undang-undang gender yang melegalkan perkawinan sejenis disahkan? relah kita melihat para da’i ditangkapi, dipenjarakan atau dibunuh? dimanakah letak ‘izzah kita sebagai umat Islam?
Mengapa Harus Partai Islam?
pernahkah engkau membaca sejarah dan melihat pemimpin-pemimpin non Islam memberikan keleluasaan bagi umat Islam untuk menjalankan keyakinannya? tidak pernah ada! tetapi sebaliknya, sejarah mencatat bahwa ketika kepemimpinan di raih oleh umat Islam yang sungguh-sungguh dalam perjuangannya (bukan orang dzalim atau munafik), maka semua pemeluk agama samawi dilindungi kehormatannya, harta, dan nyawanya. Ini bukan tentang fanatisme atau radikalisme Islam. tapi memang sejatinya inilah yang harus diyakini oleh semua pemeluk Islam. Kita meyakini bahwa Islam agama yang benar, tapi kita tidak ingin menjadikan alasan keyakinan kita itu untuk menghabisi umat yang lain. Justru yang kita inginkan adalah kebahagiaan hidup berdampingan.
Pemilu 2014, tinggal menghitung hari. ditangan kitalah nasib bangsa ini ke depan. jika kita masih antipati terhadap partai Islam dan dengan congkak mengatakan bahwa tak ada satupun yang benar-benar memperjuangkan Islam. Kenapa engkau tak maju mencalonkan diri? karena sejatinya Allah mencintai orang-orang yang berjuang menegakkan AgamaNya daripada orang-orang yang hanya bisa mencibir dan mengkritik tanpa solusi.
Rafif Amir Ahnaf, 17 Mar 2014
Penulis adalah mantan aktivis KAMMI (KesatuanAksiMahasiswa Muslim Indonesia)